Powered by Blogger.
RSS

Semangat Ukhuwah di Negeri Orang



 Judul Buku: The Dream In Taipei City
Penulis: Mell shaliha
Penerbit: Indiva
Terbit: Februari 2014
ISBN: 978-602-1614-16-7
Tebal: 360 hal

Memulai hidup di negeri orang tanpa pengalaman sebelumnya, tentu menimbulkan perasaan gimir dan khawatir. Terutama bagi muslimah berjilbab, yang menjadi minoritas. Apalagi tidak adanya kawan dari tanah air, akan membuat perasaan takut lebih mendominasi.

Ella Tan, tokoh utama dalam novel “The Dream in Taipei City”, mengalami nasib seperti itu. Ia seorang diri melangkah ke Taiwan, mengikuti ayah kandungnya yang asli warga negara sana. Sejak perceraian kedua orangtuanya di masa kecil, Ella hidup bersama ibunya, kembali ke Pulau Jawa. Namun menginjak usia 17 tahun, Ella harus tinggal bersama ayahnya di Taipei. Demikian bunyi kesepakatan antara ayah dan ibu Ella.

Meski tidak persis pada usia 17 tahun, karena menyelesaikan dulu sekolah dan kuliah diploma tiga di Indonesia, Ella menemui ayahnya pada usia 22 tahun. Dengan usia yang cukup dewasa, Ella tetap merasa asing di tanah kelahirannya. Apalagi keluarga ayahnya bersikap dingin, sama sekali tidak bersahabat. Istri baru ayahnya dan kedua saudara tirinya tidak menganggap Ella sebagai keluarga. Sedangkan ayahnya sendiri pun sangat pendiam.

Beruntung Ella berjumpa dengan kawan-kawan sesama orang Indonesia yang sangat ramah dan menerimanya penuh kekeluargaan. Selain itu, ada juga teman baiknya, mahasiswa asal Korea bernama Kim Hae Yo, seorang drummer. Berbagai kesulitan yang dihadapi Ella, banyak dibantu oleh teman-temannya.

Kegundahan dialami Ella saat ia menyadari telah jatuh hati kepada dosen mudanya yang tampan bernama Marcell Yo. Namun ia berusaha menepis dan mengingatkan diri untuk serius kuliah tanpa terganggu oleh hal-hal beraroma asmara. Akhirnya Ella mengetahui bahwa Marcell Yo menjalin cinta dengan Miss Wang. Sementara itu, Kim Hae Yo rupanya menaruh hati kepada Miss Wang yang merupakan lawan mainnya dalam kolaborasi pagelaran musik, di mana Miss Wang adalah seorang pemain musik tradisional, guzheng.

Selanjutnya kisah mengalir dengan dinamis. Perjuangan Ella berjibaku dengan kondisi di Taipei yang serba baru, interaksi dengan lingkungan kampus Universitas Nasional Taiwan, proses adaptasi yang tidak mudah, serta letupan-letupan asmara yang harus dikendalikan.

The Dream in Taipei City, memperlihatkan manisnya persahabatan sesama kawan sebangsa setanah air. Sikap bersahabat pada diri Adrian, senior Ella di kampus, patut diacungi jempol. Ia memperkenalkan Ella pada komunitas mahasiswa asal Indonesia. Dalam kondisi jauh dari keluarga di tanah air, maka kawan-kawan sesama Indonesia adalah keluarga terdekat yang menjadi tumpuan. Setelah beberapa jam mengobrol dengan teman-teman Adrian yang saat itu sudah menjadi teman Ella juga, Ella merasa mereka sangat ramah dan memanusiakannya. (halaman 51)

Dalam situasi apa pun, Ella tidak pernah meninggalkan kewajiban shalat lima waktu. Sikap religiusnya itu tanpa disadari menjadi syi’ar dakwah. Sahabatnya, Kim Hae Yo, tergugah oleh ketaatan dan kekhidmatan Ella dalam beribadah. Terima kasih atas kebiasaan-kebiasaanmu yang kau perkenalkan kepadaku. Terutama kebiasaanmu menjalankan ibadah, menyembah Tuhanmu. Dari situ, aku berpikir bahwa peran Tuhan sangat penting untuk kehidupan kita. (halaman 278). Nyatalah bahwa teladan dalam bersikap, lebih efektif mempengaruhi seseorang ketimbang ceramah berpanjang kata.

Pertemanan Ella pun terjalin dengan sesama muslimah dari negara lain, India, Malaysia, dan lainnya. Walau berbeda bangsa dan berlainan tingkat serta jurusan kuliah, namun ikatan ukhuwah demikian erat sehingga silaturahmi di antara mereka mengukuhkan hubungan persaudaraan sesama muslim. Bagian ini menyiratkan pesan bahwa di belahan bumi mana pun kita berpijak, perjumpaan dengan saudara seiman seyogianya meningkatkan ukhuwah Islamiyah dengan baik.

Kekuatan lain dari novel ini adalah pemaparan deskripsi setting yang detil dan menarik. Suasana Taipei benar-benar seperti dihadirkan di depan mata pembaca. Bagian ini pun menjadi informasi yang membuka wawasan. Bagaimana situasi kampus, mesjid, pertokoan, moda transportasi, apartemen, kuliner, budaya masyarakat, kondisi cuaca dan alam, semua disampaikan rinci namun tidak bertele-tele. Ia menyatu dengan cerita, sehingga tidak terkesan sebagai information dump.

Di luar kehidupan kampus, ada sisi lain yang menyentuh, yaitu kisah Ella dan Papanya. Terpisah sekian lama, karena perceraian akibat keluarga Papa Ella yang tidak menyetujui pernikahan dengan Mama Ella yang TKI, membuat hubungan ayah-anak itu menjadi kaku. Terlebih lagi pembawaan Papa Ella yang pendiam, menjadikan ikatan mereka tidak hangat sebagaimana orangtua dengan anak. Namun, dalam diamnya, Papa Ella menunjukkan tanggung jawab dan perhatian yang sungguh tidak disangka Ella. Hal itu memberi kekuatann baginya. Ia pun lantas menyadari betapa ayahnya itu sangat menyayanginya, dan Ella bisa merasakan kalau ayahnya masih juga sayang dan merindu pada ibunya.

Secara keseluruhan, novel ini sangat layak direkomendasikan untuk dibaca kalangan muda. Kerja keras yang ditunjukkan para mahasiswa  dalam meraih impiannya, patut diteladani. Dalam keceriaannya, mereka berjuang dengan kesadaran untuk tidak mengecewakan harapan orangtuanya. Kesungguhan mereka dalam memperjuangkan masa depan yang baik, merupakan cerminan sikap positif yang harus dimiliki generasi muda.

#Resensi ini dimuat di media edakwah pada hari Minggu, 18 Mei 2014

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

8 comments:

D. Indah Nurma said...

Akhir-akhir ini saya belum membaca buku dengan teman yang seperti itu lagi. Yang namanya membaca novel selalu menarik buat saya, karena membuka perspektif baru terhadap suatu permasalahan dari sudut pandang yang tergambar dalam masing-masing tokoh.

Linda Satibi said...

Mak Indah lagi asik travelling kali ya.. jadi baca novelnya agak2 nggak sempet. Betul, di novel kita bisa belajar banyak hal.

D. Indah Nurma said...

Saya lagi mabok Tugas Akhir sih mak, hehe... Tapi saya suka baca buku termasuk novel. Cuma yang bertema ukhuwah itu saya yg belum baca lagi. Salah satu novel terjemahan soal Islam yg saya suka itu If I Should Speak.

Linda Satibi said...

Ini novel islami yang ringan, cocok dibaca saat refreshing setelah mabok sama Tugas Akhir, Mak Indah.. :)

Pipit Widya said...

Semangat untuk TA-nya ya :)
*kangen kuliah

Nian Astiningrum said...

Penulisan resensinya bagus mak.. jadi kebayang indahnya si novel :)
*salam kenal

Linda Satibi said...

Mbak pi23tz.. hehe.. susah namanya..
Makasiii dah mampir.. :)

Linda Satibi said...

Mbak Nian, salam kenal juga.. :)
Makasiii apresiasinya..

Post a Comment