Powered by Blogger.
RSS

Misteri Sepasang Kembar





Judul Buku                :  Brisbane – Pesan Cinta Terhalang
Penulis                        :  Leyla Hana
Penerbit                      :  DAR! Mizan
Terbit                         :  Cetakan I, Oktober 2014
Tebal Buku                :  212 halaman
ISBN                           :  978-602-242-492-5

Blurb:
Sejak kecil, Raka tak pernah bisa lepas dari Anggia, adik kembarnya. Dia selalu ingin bersamaAnggia, kemana pun mereka pergi. Bagaimana bila Anggia melanjutkan kuliah di Brisbane? Raka akan berpisah dengan Anggia untuk waktu yang tak sebentar.

Raka dan Anggia memang bersaudara kembar, tetapi mereka merasa aneh mengapa orang-orang selalu meragukan bahwa keduanya bersaudara? Raka juga heran dengan dirinya yang begitu menyayangi Anggia, dan menjadi sangat bergantung. Begitu juga Anggia. Secara tak sadar, dia tak ingin Raka berhubungan dengan gadis mana pun. Namun untuk berpikir bahwa mereka punya rasa selain kasih sayang kakak beradik, sungguh tak mungkin.

Review:
Apa yang terpikir setelah membaca blurb di atas? Apakah membayangkan bahwa Raka dan Anggia memang bukan kakak beradik dan mereka saling jatuh cinta? Yup! Dilanjut aja baca review ini ya.. :)

Saya suka dengan prolog novel ini. Lalu membayangkan prolog ini menjadi semacam clue yang akan menapasi isi cerita. Tapi rupanya, dari prolog tersebut sudah langsung terkuak di bab awal, bahwa Anggia adalah anak pungut. Anggia dan Raka lahir pada waktu yang sama di rumah sakit bersalin yang sama. Karena ibu Anggia raib, dilatari rasa iba, Lidya dan Rahman (orangtua Raka) membawa serta bayi itu pulang bersama bayinya sendiri. Keduanya ditahbiskan kepada khalayak sebagai bayi kembar.  Jadi ketika mulanya saya berpikir akan penasaran benarkah Raka dan Anggia bukan saudara kembar, maka rasa penasarannya diubah menjadi bagaimana nanti pada akhirnya mereka akan tahu jati diri mereka yang sesungguhnya.

Kisah novel ini sangat membumi, tidak mengada-ada. Tokoh ibu seperti Lidya, memang banyak yang demikian. Termasuk saya sendiri, ngerasa Lidya kok saya banget.. hehe.. yang memanjakan dan protective sama anak. Lalu iri-nya Anggia kepada Raka, mirip banget seperti putri semata wayang saya yang iri kepada adik bungsunya. Saya jadi berpikir, oh.. mungkin seperti ini ya, yang dirasakan oleh putri saya itu.

Mbak Leyla dengan jam terbang yang tinggi di dunia novel, memang pandai meramu kisah sederhana menjadi cerita yang manis. Dengan mengusung genre remaja, cerita dan gaya bahasanya memang pas buat remaja. Dan dalam novel ini, tampak Mbak Leyla mengalami kemajuan yang signifikan.. halah! sapa guee.. :P *toyor pala sendiri

Karakter tokohnya nggak neko-neko. Saya bisa dengan mudah menginterpretasikan bagaimana rupa dan karakter tokoh melalui deskripsi yang easy understanding. Alur mundur yang kerap muncul, tidak membuat capek pembaca. Semua mengalir enak, nggak susah dicerna.

Setting Brisbane, deskripsinya cukup detil dan rapi. Salut untuk Mbak Leyla yang berani mengambil setting luar meski belum pernah menginjakkan kaki di sana. Mbak Leyla tampak mengerahkan segenap kemampuannya, agar pembaca benar-benar dapat berada di Brisbane. Sehingga kadang ada terasa deskripsi setting ini agak terlalu show, dan bukan disiasati ke dalam dialog atau masuk ke dalam adegan.

Konfliknya pun sederhana, seputar Raka-Anggia. Tidak terlalu digambarkan bagaimana konflik di sekolah dengan teman-teman, hanya sekilas tentang cewek-cewek penggemar Raka. Sedangkan tentang status Anggia sebagai anak pungut, tidak dimunculkan konflik berarti. Meski ada kejutan tak terduga juga tentang siapa orangtua kandungnya.

Ada yang menjadi pertanyaan tentang status anak adopsi. Apakah memang perlu keterusterangan saat mendaftar sekolah di SD, SMP, SMA? Karena saya cuma pernah menjadi kepsek TK, jadi saya tidak paham untuk jenjang pendidikan lanjutan. Sementara di TK, keterangan seperti itu tidak perlu disampaikan resmi.  Lalu Bapak Kepsek SMA tempat Anggia sekolah, kok segala cerita-cerita sama anaknya, ya? Padahal itu cukup riskan mengingat anaknya adalah teman dekat Anggia.

Oh iya, ada satu lagi tentang IMD (Inisiasi Menyusui Dini). Saat Lidya melahirkan Raka, suster menyodorkan Raka setelah 3 jam pasca persalinan, dan disebut sebagai IMD. Bukannya IMD itu, bayi langsung diserahkan kepada ibunya sesaat setelah lahir, tanpa dibungkus kain atau atau selimut (skin to skin)? Hehe.. asli saya lupa lagi.. maklum sudah ssangat lampau mengalaminya.

Anyway, novel ini bagus dengan pesan moral yang dapat tertangkap dengan jelas. Selain tentang bagaimana pola pengasuhan yang baik dan benar, juga menyiratkan motivasi kepada generasi muda untuk berjuang meraih mimpi. Dibutuhkan kemandirian dan keteguhan agar sukses melangkah menuju gerbang cita-cita. Dan, kesadaran untuk berdamai dengan masa lalu, menjadi kunci untuk mengukir masa depan yang lebih baik.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ketika Cinta Membuat Gila




Judul                          :  I Love My Boss
Penulis                        :  Alberthiene Endah
Penerbit                      :  Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku                :  344 halaman
Terbit                         : 2006
ISBN                           :  979-22-1941-2
Blurb:
Salahkah bila sekretaris naksir bosnya sendiri? Semua orang menyikapi itu dengan pandangan menghina. Tapi apa salahnya, jika keadaan itu ditinjau dari cinta sepasang manusia (tanpa embel-embel bos dan sekretaris)?
Setahun bekerja di perusahaan event organizer, Karina Dewi tak bisa mengelak dari pesona bosnya, Rene Natalegawa. Pria muda yang sukses, cerdas, tampan, karismatik.. dan sedang dalam proses perceraian dengan istri yang selama ini menjadi ‘hantu’ baginya.
Celakanya, sang istri, Mariska, mendadak menelepon Karina dan memintanya menjadi ‘mata-mata’ untuk meneropong tingkah polah Rene, dan membantu Mariska mendekatkan lagi hubungannya dengan Rene. Mana cinta yang akan keluar jadi pemenang? Cinta tulus sekretaris atau cinta posesif istri?

Review:
Ini novel lawas, terbitan 2006. Tapi membacanya di tahun 2014, tetap asyik dan nggak terasa out of date. Saya beli novel ini di acara Gramedia Fair. Novel karya penulis kondang dengan harga miring, gimana nggak ngiler..? hehe.. Secara saya belom pernah baca novel karya Mbak AE.

Ternyata emang nggak nyesel beli novel ini. Asyik banget. Saya betul-betul nggak bisa berhenti dari halaman awal hingga akhir, bahkan sampe menerobos jam tidur. Bela-belain deh, abis ini novel membuat saya terkerangkeng dan nggak bisa lepas.

Ini novel ringan yang menyenangkan. Bahasanya segar, ngalir, nggak ribet, nggak main diksi yang susah-susah. Dengan latar Jakarta, bahasanya terasa ngepop dan khas anak Jakarta. Saya jadi teringat temen saya, Mugniar, yang pernah mengeluhkan model bahasa beraroma ibukota. Katanya, kan pembaca tuh tersebar dari Sabang sampai Merauke, nggak semuanya bisa ngerti. Engh.. saya nggak tahu deh kalo dikaitkan sama segmen pembaca yang beragam. Yang jelas, buat saya mah nge-klik banget model yang kayak begini. Ifa Avianty juga suka-suka bercirikan khas bahasa anak Jakarta, kan? Dan novelnya asyik toh?

Jangan berpikir bahasanya yang bahasa model prokem. Tapi maksud saya, gaya becanda dan humor-humornya itu lho. Misal, ada bagian ketika perusahaan EO itu mau bikin acara dengan mengundang artis KD, Ruth Sahanaya, dan diva-diva lainnya. Terus, gagal karena budget yang kritis. Muncullah dialog: Dapet salam dari KD, Uthe, Anggun, sama artis mancanegara! (halaman 131). Nah, itu kan ungkapan kekesalan, bukan dalam arti sebenarnya.

Settingnya juga Jakarta, bangsanya Sogo, Plaza Senayan, Mangga Dua, dan sejenisnya. Nggak ada deskripsi detilnya, dianggap tahu aja kali ya.. Termasuk ketika menyebut-nyebut PS, nggak dijelasin kalau itu Plaza Senayan dan bukannya Play Station.. hihi..

Ok, sekarang kita masuk ke isi cerita, ya. Seperti yang disebutkan di blurb, ini kisah seorang sekretaris cantik yang tak berdaya oleh pesona bosnya sendiri. Namanya Karina Dewi. Tapi dia harus menutup rapat perasaan itu karena statusnya sebagai sekretaris. Bahkan sahabat-sahabatnya sesama sekretaris, Diandra dan Lucia, tak mencium gelagat sama sekali.

Sesungguhnya Karin tersiksa dengan situasi seperti itu. Memendam perasaan dalam-dalam sambil dihantui perasaan bersalah. Bahwa sekretaris dilarang jatuh cinta sama bos sendiri. Tapi Karin nggak bisa berhenti mencintai Rene, dengan segala keganjilan perilakunya.

Penulis novel ini, Alberthiene Endah, seorang pencerita ulung. Saya seakan merasuk ke dalam cerita. Bisa merasakan bagaimana Karin tertekan, oleh perasaannya sendiri, oleh perangai Rene yang membingungkan, oleh tuntutan kerja, oleh teror keluh kesah Mariska-istri Rene, juga oleh sekitarnya. Tapi Karin tidak bisa membaginya kepada siapapun.

Novel ini membuat saya tersenyum, terbahak, tersebal-sebal, bahkan rasanya ikut terhipnotis oleh pesona Rene. Di bagian yang mengharu biru, hati saya ikut nelangsa. Dan di bagian yang bikin gemes, saya jadi gregetan sendiri. Mbak AE ini pinter banget mengaduk emosi.

Sebagaimana novel romance, kisah cinta Karin dibuat dalam plot yang meliuk-liuk. Tapi nggak berasa bertele-tele. Ada banyak hal yang tak terduga. Karena saya membaca novel ini nggak berusaha menebak-nebak, tapi ikut meleburkan diri dalam alur cerita. Jadi ketika Karin tertipu, ya saya ikutan tertipu juga.. haha..

Selain menghibur, novel ini membuat saya merenung. Kehidupan ibukota yang penuh tekanan bisa memunculkan suatu gaya hidup yang bikin geleng-geleng kepala. Bos-bos muda, para eksekutif keren dengan segala pesonanya, sibuk dengan irama kerja yang menyedot waktu. Di sela kesibukan itu, ada celah-celah yang mereka ciptakan untuk sebuah kesenangan semu. Di sisi lain, istri-istri mereka tak kalah sibuk dengan gempita gaya borju yang terus menghembus di dalam komunitasnya. Lalu untuk membunuh sepi yang tercipta dalam hati, para istri itu tidak sedikit yang sama gilanya dengan kelakuan suami mereka. Cowok-cowok berondong sasarannya. Dan menurut salah seorang endorser yang berprofesi sebagai psikolog, realita yang dikhayalkan novel ini cukup banyak mewarnai ruang konsultasi psikolog di kota besar.

Tentang pekerjaan sekretaris, deskripsinya cukup menarik. Sebab, pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan kesetiaan, ketekunan, dan keteguhan. Sekretaris bukan show manager yang selalu dihidupkan gempita pekerjaannya yang kreatif. Bukan pula stylist yang selalu bergairah mereka-reka ide. Pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan penjaga. Ritme kerjanya menjemukan. Di seluruh dunia, pekerjaan sekretaris sama. Pekerjaan ribet yang tak mendatangkn pencapaian apa-apa kecuali surat-menyurat lancar, bos puas, semua urusan beres, laporan mulus. Satu-satunya kesempatan memilih adalah memilih jenis perusahaan yang ia cintai. Sehingga ia bisa bekerja dengan penuh komitmen (halaman 23).

“Hubungan kerja yang sangat dekat antara pimpinan dan sekretarisnya, kerap menyisakan ruang-ruang yang menyentuh perasaan pribadi. Ruang itu bisa berisi rasa simpati, pengertian, rasa persamaan, dan banyak lagi. Pendeknya ada sisi-sisi pribadi yang akhirnya tergali dan tumbuh subur di luar pekerjaan resmi yang mengikat keduanya. Sesuatu yang sangat manusiawi. Contohnya gue. Irshad itu bos gila. Edan. Psikopat. Gue rasa, di luar gue, semua sekretaris bisa sakit lever kalau kerja buat Irshad.” Lucia tersenyum kecil .“ Tapi waktu akhirnya mengajarkan gue siapa diri Irshad yang sebenarnya (halaman 159).

Buat yang penasaran sama novel ini, kayaknya nggak bisa lagi dapetin di tobuk manapun, mengingat tahun terbitnya yang delapan tahun lalu. Pada tahun terbitnya, 2006, novel ini mengalami cetak ulang dalam waktu empat bulan. Terbukti, memang novel ini disukai. Begitu pun saya, yang baru membacanya pada tahun 2014.

Oh ya, endingnya rada-rada ngegantung. Bagaimana nasib Rene, Mariska, Artha, Wieke...? hmm.. pembaca dipersilakan menyimpulkan sendiri. Yang jelas, Karin telah mengalami pendewasaan sikap. Kayaknya itu yang lebih penting yang ingin disampaikan Mbak AE.



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinta dan Skizofrenia



 Judul                          :  Bulan Nararya
Penulis                        :  Sinta Yudisia
Penerbit                      :  Indiva Media Kreasi
Tebal Buku                :  256 halaman
Terbit                         : September 2014
ISBN                           :  978-602-1614-33-4

Cinta, rasanya tak mungkin tak ada dalam sebuah hubungan suami istri. Ia senantiasa harus ada dan dirawat agar tidak layu, bahkan mati. Namun, cukupkah hanya cinta?

Novel “Bulan Nararya” membidik pertanyaan itu. Pasangan Rara dan Angga saling mencintai. Namun mengapa setelah 10 tahun bersama, pernikahan mereka kandas? Ada juga Diana dan Yudhistira yang sama-sama saling cinta, tapi tidak bisa mengelak dari keretakan rumah tangga.

Angga yang tampan dan populer , menjatuhkan hatinya kepada Rara. Namun sebetapa besar cintanya, Angga tetap tak kuasa menepis isyarat cinta yang bertubi-tubi dari para pengagumnya. Rara harus menyaksikan wanita-wanita itu menggelepar oleh pesona Angga. Tahun demi tahun Rara memendam gulana. Angga berulang kali meminta maaf untuk kesalahan yang menurutnya tak dia lakukan. Menurut Angga, bukan salahnya bila para wanita itu jatuh cinta kepadanya.

Di tengah masa kritis Rara-Angga, sahabat Rara menjadi sepasang telinga, mendengarkan kemelut pernikahan versi Rara dan versi Angga. Namanya Moza, sesama terapis di klinik rehabilitasi mental. Namun lama kelamaan Moza dan Angga menjalin hubungan melebihi sahabat.

Novel ini meraih penghargaan sebagai Juara ketiga Kategori Novel  dalam ajang bergengsi, Kompetisi Tulis Nusantara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam novel ini tergambar setting tempat di Indonesia yang mencerminkan keindahan nusantara.  Ada kota Palu dengan keelokan Pantai Talise, ada kemegahan Jembatan Suramadu, juga beberapa kuliner khas nusantara.  Selain itu, ditonjolkan pula wacana penyembuhan penderita skizophrenia melalui pendekatan budaya.

Namun novel ini terasa lebih kuat sebagai novel psikologi. Pembaca disuguhi beragam konflik dengan pendekatan latar psikologi. Hal ini sangat menarik karena membuka wawasan pembaca dengan analisis yang tersampaikan melalui narasi, deskripsi, dan dialog yang apik. Bagaimana situasi sebuah mental health center terpetakan sangat baik. Penulis yang tengah menyelesaikan Magister Psikologi Profesi di Untag Surabaya ini, sukses meramu aneka konflik psikologi ke dalam sebuah fiksi yang cantik.

Masalah yang timbul saat ini, tidak terlepas dari rangkaian masa lalu. Angga yang tampak ‘menikmati’ sanjungan dan pujian dari para wanita, memang tidak pernah mendapatkan itu sejak kecil, akibat kepergian ibunya dengan lelaki lain. Angga hidup dengan ayahnya yang terluka parah oleh cinta. Kemudian Yudhistira, mendapat kasih sayang serta materi melimpah dari ibu tunggal dan kakak-kakak perempuannya, namun terpenjara ekspresi dan minatnya. Perlindungan dan aturan yang ketat membuat Yudhis selalu menuruti keinginan keluarga dan sulit menentukan sikapnya sendiri. Kehadiran Diana, istri yang sangat dicintainya, ternyata malah memperumit keadaan. Yudhis kemudian menderita skizophrenia, dengan penggambaran bahwa ia selalu membawa desinfektan semprot dan membersihkan segala sesuatu yang akan dipegangnya dengan menggunakan cairan tersebut.

Ada juga Sania, korban kekerasan oleh orangtua. Ia tiba di klinik setelah ditemukan dinas sosial di terminal dengan koreng besar di kaki kiri, gigi depan yang patah, dan bilur-bilur memar di punggung. Lalu, Pak Bulan, lelaki tua penghuni penjara dan diserahkan oleh sipir penjara ke klinik bagai membuang kucing buduk. Konon Pak Bulan sering membuat keonaran akibat ‘ketidakwarasannya’.
Rara sendiri tidak luput dari mengalami gejala-gejala psikotik. Ia kerap mengalami halusinasi. Dan halusinasi inilah yang membuat novel ini terasa menegangkan. Rasanya seperti menonton film thriller Hollywood.

Dari beragam konflik yang ada, terlihat bahwa semua bermuara dari cinta. Cinta yang harus diiringi dengan pengertian. Kesadaran dan kemampuan saling memahami pasangan maupun anggota keluarga menjadi hal mutlak, setelah tumbuhnya cinta. Jika saja Angga lebih memahami perasaan Rara, sebaliknya bila Rara pun lebih berdamai dengan masa lalu Angga, sangat boleh jadi tidak akan sampai terjadi perceraian. Demikian juga keluarga Yudhis dan Diana, bila saling bahu membahu dalam cinta yang sepaket dengan pengertian, mungkin dapat menghindarkan Yudhis dari cengkeraman skizophrenia.

Wacana penyembuhan yang diluncurkan Rara dengan metode transpersonal, lebih mendekatkan penderita skizophrenia dengan apa yang mereka butuhkan. Mereka butuh didengarkan, ditemani, diajak bicara. Pengobatan farmakologi dihindarkan. Konsekuensinya, jangka waktu keberhasilan metode ini bisa cukup panjang, sekitar 10-15 tahun. Tapi hitungan angka bukan bersifat permanen. Dengan ketulusan cinta dan daya memahami yang tinggi, bukan tidak mungkin penderita skizophrenia akan lebih cepat kembali ke kehidupan normal.

Ada banyak hikmah dan pengetahuan baru yang bisa didapat dari novel ini. Tentang sabar, misalnya. Mempertahankan yang diyakini benar membutuhkan ego strenght berkali lipat. Dan dengan sadar kita akan menggunakan energi kesabaran hingga terkuras tanpa sisa. Diana harus menggunakan kesabaran ekstra. Kesabaran pikiran, kesabaran tenaga, kesabaran waktu. Hanya bila dia memiliki tujuan yang fokus, energi kesabaran itu dapat cepat diperbaharui (halaman 210).

Bagaimana Rara menghadapi seorang penderita skizophrenia, dapat juga diterapkan pada kehidupan biasa. Untuk menenangkan emosi seseorang, kita harus coba menangkap apa yang sedang dirasakan. Membantu menggambarkan perasaan seperti marah dan sedih,  akan membantu secara jujur menemukan inti permasalahan. Perasaan buruk tak harus disangkal. Mengakuinya jauh lebih baik untuk mulai memperbaiki apa yang masih bisa diluruskan (halaman 44).

Begitu pun kritik sosial terhadap masyarakat. Penderita skizophrenia atau gangguan lemah mental lainnya banyak mengalami kekalahan dalam banyak hal. Stigma, sudah pasti. Pelecehan seksual apalagi. Suatu saat pernah ada seorang skizophrenia dibawa ke klinik dalam keadaan hamil tua. Konon, dia digagahi orang yang tak bertanggung jawab di terminal. Manakah yang lebih gila, orang yang memang rusak sarafnya atau yang mengeksploitasi penderita skizophrenia? (halaman 189)

Novel ini layak direkomendasikan bagi pembaca yang menyukai novel berlatar cinta namun dengan aroma tidak biasa. Pemilihan judul pun terlihat unik. Nama Nararya, yang merupakan nama lengkap Rara, bukan nama yang umum. Diambil dari bahasa Sansekerta yang artinya mulia. Terkesan aneh, sulit diucapkan, namun memikat. Selamat membaca!

#Resensi ini dimuat di media smartmomways.com tanggal 24 November 2014

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

NEGERI TANPA NAMA



 Judul Buku                  :  Negeri Tanpa Nama
Penulis                         :  Maduretna Menali, Shabrina WS, dkk
Penerbit                       :  Ladang Pustaka
Terbit                           :  2013
Tebal Buku                  :  vi + 217 halaman
ISBN                           :  978-602-18231-7-0

Ini adalah antologi cerpen 20 penulis. Dengan didominasi warna hitam dan judul “Negeri Tanpa Nama”, covernya sudah berbicara. Terendus sesuatu yang berbeda dari kumpulan cerpen ini. Sesuatu yang bukan cerita biasa. Ditambah dengan endorsment dari tokoh-tokoh penulis ternama, semakin mengukuhkan bahwa buku ini menawarkan keindahan dari sebuah karya tulis.

Ke-20 penulis buku ini adalah: Maduretna Menali, Nong Djesse, Muhammad Rois Rinaldi, Robby Anugerah, Muhammad Qhadafi, Ahmad Ijazi H, Reni Heriani, Putra F.D Bali Mula, Ratna Mega Sari, Fathorroz,i Imam Solikhi, Ni Putu Fatmaha Lindawati, Miftah Aliya Fauziah, M. Arif Budiman, Elfa Nurul Annisa, DG. Kumarsana, Arinny Fharahma, Shabrina WS, Dudi Irawan, Hendra Saputra.

Diawali dengan kata pengantar yang panjang oleh Ian Sancin, berupa ulasan mengenai isi buku. Kalimat yang tersaji dalam kata pengantar tersebut menggunakan bahasa puitis. Cerpen demi cerpen diulas dengan menampilkan paragraf-paragraf pilihan dari setiap cerita. Kata pengantar ini menjadi serupa pula dengan sebuah resensi.

Cerpen pertama dibuka oleh karya Maduretna Menali bertajuk “Mereguk Rahim Ibunda”. Seorang Maysaroh bertutur tentang sejarah hidupnya kepada bayi yang masih ada di dalam rahimnya.  Pada malam terakhir hubungan mereka sebagai ibu dan anak, Maysaroh membisikkan kisahnya ke telinga sang janin. Nanti setelah lahir, sang bayi akan berkumpul dengan ayah dan istri ayahnya yang tak kunjung hamil setelah berpuluh tahun usia pernikahan mereka.  Maysaroh hanya menampung si jabang bayi di rahimnya sampai melahirkannya. Tugas Maysaroh akan selesai hingga di situ.

Kisah Maysaroh penuh misteri dengan unsur klenik yang kental. Ada makhluk tak kasat mata yang bikin merinding. Ada ibunda Maysaroh yang mengundang tanda tanya. Sosok Ibu yang misterius. Dan kehidupan penuh kegetiran yang dialami Maysaroh. Dalam kelelahan, setiap malam aku hanya menangis dalam kamar kecil di pojok rumah belakang, mencampurkan doa-doa dan harapan dalam deraian air hujan, karena aku tak ingin seorang pun tahu akan kepedihanku saat itu (halaman 18).

Hingga ujung cerita, pembaca dibebaskan untuk mencerna maksud cerita sesuai imajinasinya. Tidak tersirat secara eksplisit bagaimana kesudahan kisah ini. Sebuah ending yang mendebarkan.

Bagaimana dengan cerpen “Negeri Tanpa Nama”? Cerpen ini ditulis oleh Muhammad Qadhafi, yang  meneriakkan kritik sosial tentang kondisi sebuah negeri. Sang tokoh utama nekat berkunjung ke sebuah pulau yang dalam peta hanya berupa noktah kecil tanpa penjelasan. Dan tempat itu bernama ‘Tanpa Nama’.

Setelah mengalami kesulitan untuk tiba di sana, karena orang-orang yang ditemui dalam perjalanan tidak ada yang mengerti keberadaan tempat itu, akhirnya seorang pendayung yang aneh berhasil mengantarkannya ke negeri tersebut. Negeri yang juga aneh. Rumah-rumah di sini terlihat janggal dan saling berjauhan. Berbentuk limas-limas tak berjendela. Berpintu segitiga. Dan bercat debu-debu yang cukup tebal. Tak satu pun terlihat pintu yang dibuka.  Sepertinya akan butuh banyak keberuntungan untuk mendapatkan tempat menginap di sini (halaman 59).

Perjumpaan dengan seorang penduduk, mengabarkan bagaimana rupa  buruk kondisi negeri itu. Mereka melepaskan diri, membentuk negeri sendiri, memproklamirkan kemerdekaan dengan harapan akan mewujud menjadi negeri yang sejahtera. Namun kenyataan, jauh panggang dari api. Dan tentu saja anak istrinya selama itu hanya bisa makan dengan cara menyumpalkan kain basah ke dalam mulut mereka, mengalirkan air mata ke sana, dan mengisap-isap asinnya (halaman 61).

Tokoh utama yang tanpa nama itu pun disuguhkan pemandangan lain yang lebih mengerikan tentang negeri itu. Sebuah perumpamaan tragis yang menggambarkan penderitaan rakyat di bawah kekejaman penguasa.

Cerpen lain yang membidik potret sosial sebuah fenomena nyata di sebuah wilayah di timur Pulau Jawa, ditulis Shabrina Ws dengan judul “Titipan”. Penduduk desa dengan tingkat kemiskinan akut, didera kondisi gizi buruk. Warganya banyak yang mengalami keterbelakangan mental. Tidak hanya keluargaku. Di desaku ini, lebih dari lima puluh orang mengalami hal yang sama. Ada yang sejak kecil, ada yang umur puluhan tahun, ada yang begitu menikah menjadi tidak waras, ada juga yang mengalami ketika sudah tua. Benar-benar penyakit menakutkan, tidak bisa diperkirakan kapan datangnya. Sebagian orang percaya ini adalah kutukan. Tapi ada orang pendatang mengatakan sebab perkawinan sedarah. Ada juga yang mengatakan karena kurang gizi. Aku tak tahu mana yang benar (halaman 176).

Kondisi memprihatinkan ini dikemas dalam cerita yang menyentuh dan menggugah kesadaran tentang betapa kompleksnya permasalahan di negeri tercinta ini. Apa yang sudah dilakukan pemerintah dan pihak terkait lain dalam menanganinya? Apakah para petinggi mengetahui persis kondisi tersebut? Sungguh, bila tidak membaca cerpen ini, saya pun tidak tahu bahwa hal demikian terjadi di tanah air kita.

Kumpulan cerpen ini memuat cerpen-cerpen dengan tingkat diksi yang tinggi. Majas yang elok. Metaphora yang tajam. Kadang dibutuhkan waktu untuk mencernanya. Meski tema yang diusung tak ubahnya cerpen yang ada selama ini, namun pengolahan kalimat dengan bumbu kata yang terpilih, menjadikan cerpen-cerpen ini bukan cerpen sambil lalu. Dan keragaman tema menjadikan buku ini kaya makna.

Bukan berarti pembaca akan mengerutkan kening sepanjang membaca cerpen-cerpen ini. Sebaliknya, ada rasa keindahan yang menelusup, ada amuk marah yang terbebat dalam halusnya kalimat, ada geli yang menggelitik, ada senyum yang seketika tersungging, juga rindu yang mengharu biru. Maka, bersiaplah tenggelam dalam keindahannya. Selamat menikmati.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS