Powered by Blogger.
RSS

Move On Nggak Pake Lama




Judul      : On For Teens – Move On Nggak Pake Lama
Penulis   : Dhian Motiva Teens
Penerbit : Mizania – PT Mizan Pustaka
Cetakan : Oktober 2014
Tebal     : 239 Halaman
ISBN     : 978-602-1337-27-1

Tahun Baru menyimpan harapan baru. Bila pada tahun sebelumnya, masih banyak hal yang belum tercapai, maka terbuka kesempatan untuk meraihnya di tahun yang baru ini. Semua tergantung pada usaha yang dilakukan. Akankah segera bangkit atau terus terpuruk meratapi nasib.

Buku “On For Teens” mengajak pembaca untuk menyusun strategi demi meraih hidup yang sukses dan mulia. Diawali dengan ‘formula rahasia’, bahwa Tak seorang pun bisa mengubah hidup kita, kecuali kita sendiri (halaman 13). Kekuatan ada di tangan kita. Tuhan sudah menganugerahkan modal dan potensi yang sama. Tinggal bagaimana kita memanfaatkannya dengan baik.

Namun di tengah perjuangan untuk menjadi lebih baik, bisa saja tiba-tiba kehilangan semangat dan antusiasme. Motivasi menguap. Akhirnya kembali pada kebiasaan-kebiasaan lama yang tidak sehat. Menyiasati hal ini, perlu ditanamkan pemahaman tentang komitmen. Berdasarkan kalkulasi matematika, cuma ada 5% orang sukses di muka bumi. Orang-orang ini menetapkan dan menepati komitmen untuk sukses (halaman 34).

Sebaliknya, yang 95% orang biasa-biasa saja. Mereka hanya berharap ingin sukses. Mereka hanya melakukan tindakan-tindakan yang membuat nyaman. Tidak mau keluar dari zona nyaman. Mereka punya banyak alasan untuk tidak melakukan sesuatu (halaman 35).

Komitmen akan menjadi kekuatan awal dalam membangun perubahan. Di dalamnya pasti ada banyak tantangan dan ujian. Bahkan binatang pun harus melewati ujian dan tantangan berat. Seperti ulat yang hendak berubah menjadi kupu-kupu. Ia harus berpuasa 3 bulan non-stop. Demikian juga burung elang. Ia harus mengalami masa sakit yang panjang ketika mencabuti bulu-bulu sayapnya satu per satu, mencabut kuku-kuku kakinya, serta menghancurkan paruhnya. Tapi perjuangan berat itu kemudian membuat elang menjelma menjadi raja dari segala jenis burung dengan usia hidup yang sangat panjang (halaman 43).

Setelah memantapkan diri untuk teguh pada komitmen, selanjutnya perlu menetapkan visi. Dengan visi, tujuan akan menjadi jelas. Seorang yang punya visi untuk menjadi pengusaha dunia, tentu tidak akan mengambil kuliah jurusan kedokteran. Bagaimana cara menetapkan visi, dipaparkan jelas dengan contoh-contoh kisah orang-orang sukses di dunia. Ada cuplikan kisah Adam Khoo yang semula prestasinya hancur saat SD dan SMP, kemudian melejit bisa masuk ke SMA terbaik, hingga menjadi salah satu miliarder termuda di negaranya, Singapura. Lalu ada kisah heroik Muhammad AlFatih yang spektakuler, seorang panglima muda berusia 21 tahun yang berhasil menaklukkan Konstantinopel. Kemudian Robert T.Kiyosaki yang berjuang keras menerbitkan bukunya hingga akhirnya terjual 22 juta eksemplar di lebih dari 100 negara dan diterjemahkan dalam 50 bahasa. Dan dari tanah air, ada kisah sukses Chairul Tanjung, pengusaha yang menembus jajaran 1000 orang terkaya di dunia. Serta banyak kisah-kisah inspiratif lainnya.

Perjalanan kisah sukses selalu diwarnai dengan kegagalan. Ucapan terkenal dari Thomas Alfa Edison, yaitu: Saya tidak gagal. Saya hanya menemukan 10.000 cara yang tidak berhasil (halaman 65). Maka bagi orang sukses, kegagalan adalah pelajaran yang baik. Kegagalan memberi kesempatan untuk memperbaiki hal-hal yang perlu disempurnakan. Karena sesungguhnya sukses adalah sebuah proses. Bukan bagaimana tujuan akhir diperoleh, tapi bagaimana seseorang mampu bangkit dan menyikapi kegagalan dengan tepat.

Hal yang penting juga adalah mengelola emosi. Karena emosi bisa berubah-ubah. Kadang penuh semangat, percaya diri, dan bahagia, tapi kadang bete, malas, atau tertekan. Emosi-emosi inilah yang mampu menggerakkan atau menghentikan aktivitas. Untuk melakukan action yang dahsyat, pastikan selalu dalam kondisi emosi positif. Dan untuk menciptakan emosi positif, perlu kemampuan untuk bisa mengontrol pikiran. Bisa dengan menciptakan gambaran yang menyenangkan saat menghadapi hal yang menantang, juga gambaran menyenangkan saat cita-cita tercapai (halaman 153).

Buku ini sangat pas ditujukan bagi remaja. Langkah-langkah strategi yang harus dirancang, dipaparkan dengan kalimat-kalimat yang mudah dimengerti. Pemaparannya lugas dengan bahasa khas anak muda, dan dilengkapi dengan ilustrasi menarik. Bila langkah-langkah tersebut dipraktikkan dengan sungguh-sungguh, maka bersiaplah ada di puncak tangga kesuksesan.

#Resensi ini dimuat di harian Singgalang Minggu, tanggal 1 Februari 2015
 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Menguak Sosok Pithecanthropus



Judul : Gerbang Trinil
Penulis : Riawani Elyta dan Syila Fatar
Genre : Science-fiction
Penerbit : Moka Media
Tahun Terbit : Oktober 2014
Jumlah Halaman : vi + 296 halaman
ISBN : 979-795-874-4
Pada umumnya, gadis-gadis remaja zaman sekarang gemar membicarakan hal-hal seputar mode, trend terbaru, asesoris, musik, boy band, drama Korea, dan tentu saja, cowok keren. Meski ada segelintir di antaranya yang lebih memilih berkutat dengan buku dan pengetahuan. Gadis model ini akan dianggap aneh, apalagi bila minatnya pada hal yang justru tidak disukai teman sebayanya, semisal: Sejarah.
            Seperti Areta, gadis manis yang duduk di kelas dua SMA, dan tergila-gila pada sejarah, khususnya pada fosil. Dunia Areta berputar pada buku dengan perpustakaan menjadi orbitnya. Ia meminjam buku hampir setiap hari. Saat jam istirahat pun, ia asyik berkelana di dunia maya, menelusuri informasi terkait sejarah dan fosil. (halaman 6)
Areta pun kerap chatting dengan Harry Dubois, cicit Eugene Dubois yang menemukan fosil terbanyak di Pulau Jawa. Dari hasil chatting-nya itu, Areta mendapat informasi bahwa fosil Pithecanthropus  yang ditemukan ayah Harry di Trinil ternyata alien. Tentu saja ini sangat mengejutkan Areta. Apalagi informasi ini masih dirahasiakan oleh ayah Harry kepada khalayak.  Areta ingin menelitinya lebih lanjut. Ia ingin pergi ke Trinil saat liburan. Kebetulan neneknya tinggal di Trinil.
Sayangnya, keinginan Areta ditentang oleh kedua orangtuanya. Namun ketika ada surat tugas dari sekolah, bahwa Areta perlu melakukan riset ke Musium Trinil, kedua orangtuanya terpaksa mengizinkan. Areta menjadi duta sekolah untuk mengikuti lomba karya tulis ilmiah bidang sejarah. Maka dengan pengawalan ketat supirnya, Areta pergi ke Trinil.
Saat bertemu dengan neneknya, nenek Maheswari, Areta bisa memahami mengapa orangtuanya tidak suka kalau ia dekat dengan neneknya. Ada sesuatu yang misterius di balik penampilan aneh nenek Maheswari. Areta sungguh terbelalak menemukan tengkorak Pithecanthropus di sebuah kamar khusus di rumah neneknya. Menurut neneknya, tengkorak itu adalah saudara kandung ayah Areta. Dengan aroma mistis yang menguar kuat di kamar tersebut, tanpa menunggu lama, Areta segera berkemas dan pulang. (halaman 67)
Setelah kembali pulang, Areta mendapat informasi dari Harry mengenai perkembangan baru dugaan ayah Harry tentang keberadaan alien fosil Pithecanthropus. Areta kembali bersemangat untuk kembali ke Trinil. Apalagi Harry pun merencanakan pergi ke Trinil. Areta sangat berharap bisa berdiskusi langsung dengan Harry.
Keinginan Areta menemukan jalannya, ketika sekolah mengadakan kegiatan study tour ke Jogjakarta. Areta ikut rombongan sekolah naik kereta api berangkat dari stasiun Gubeng, namun turun di Ngawi. Ia berhasil melobby ketua rombongan untuk merahasiakan rencananya ini.
Di Trinil, Areta kembali menginap di rumah neneknya. Ia  disambut baik. Nenek Maheswari memperlihatkan lagi tengkorak yang disebutnya sebagai anaknya, dari pernikahan dengan Raja Cahaya. Hal-hal aneh lain diungkap sang nenek, yang membuatnya tampak semakin misterius.
Harry Dubois ternyata benar-benar datang ke Trinil. Areta dan Harry bertemu. Keduanya langsung asyik berdiskusi tentang Pithecanthropus. Areta pun menceritakan tentang tengkorak Pithe yang dimiliki neneknya, juga gerbang aneh yang ada di belakang rumah neneknya. Sayangnya, Harry tidak sempat menyelidiki. Dan Areta keburu mengalami kejadian aneh dengan gerbang tersebut.
Pada suatu malam, tampak pendar cahaya dari gerbang aneh di belakang rumah nenek Maheswari. Sesosok tubuh tinggi dan kekar muncul di tengah cahaya. Sosok itu lalu keluar dari tengah cahaya, melangkah menuju Areta yang bersembunyi di balik rerumpunan bambu. Sosok itu menariknya dengan kuat menuju pusat cahaya. Areta merasa sekujur tubuhnya diselimuti cahaya. Kemudian cahaya putih membentuk sebuah lorong panjang, terbentang lurus di hadapan (halaman 123).
Kejadian selanjutnya yang dialami Areta merupakan petualangan yang mencengangkan dan menegangkan. Ia dibawa oleh Raja Pithe, yaitu Raja Blark, untuk dipersunting sebagai permaisuri. Dan ternyata bukan Areta satu-satunya manusia yang ada di tempat tinggal para Pithe itu. Apa yang selanjutnya terjadi, membuat pembaca terseret dalam imajinasi yang tak terbayangkan.
Kisah ini sangat menarik, karena menggabungkan sains dan fiksi, seraya dibalut unsur sejarah dengan menampilkan lokalitas cukup kental. Salut kepada duet penulis ini yang berani mengangkat tema yang tidak biasa. Menampilkan Pithecanthropus sebagai alien merupakan terobosan imajinasi yang berani. Deskripsi detil mengenai kecanggihan habitat para Pithe yang penuh dengan unsur futuristik, memudahkan pembaca untuk menalar apa yang dimaksud dalam cerita ini.
Ada pesan menarik yang tersirat mengenai campur tangan manusia dalam merusak ekosistem di alam ini. Betapa pentingnya kita menjaga keseimbangan alam. Karena beragam musibah seperti: banjir, tanah longsor, gunung meletus, banyak yang terjadi karena ulah manusia. Begitupun peperangan, efek bom nuklir, kebakaran hutan, dan lainnya. Bumi sedang sekarat, dan semua itu tak lepas dari keserakahan manusia (halaman 131).
Meski ada bagian-bagian yang kurang maksimal penjelasannya, semisal tentang dimensi waktu, tentang siapa orang-orang yang mengelilingi cahaya saat Areta dibawa pergi, dan pengembangan karakter yang kurang tergarap baik, namun kisah ini merupakan sebuah langkah maju dalam dunia fiksi. Sebuah novel sci-fi menarik yang ditulis oleh penulis lokal, sangat patut diapresiasi. Dengan tampilan cover yang elegan, novel ini layak direkomendasikan kepada para penyuka science fiction.

#Resensi ini dimuat di media duajurai.com pada hari Minggu, 8 Februari 2015 dalam dua bagian
                 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Khayla dan Bunga-bunga Kain




Judul Buku      : Bunga Kain Khayla
Penulis             : Fina Faza
Penerbit           : PT Bhuana Ilmu Populer- Kelompok Gramedia
Tebal               : 145 halaman


Khayla sangat sedih karena Ayah dan Bundanya berpisah. Sejak saat itu Khayla kehilangan banyak hal, rumahnya, kamarnya, sekolahnya, dan teman-temannya. Bersama Bunda, Khayla pindah ke rumah Eyang di Solo.

Di Solo, Khayla tambah sedih karena Ayah tak kunjung menengoknya. Di sekolah baru pun, Khayla tidak betah karena satu sekolah dengan Robi, tetangganya, yang suka menjahilinya. Untunglah ada Rara, sahabat barunya yang selalu ceria.

Namun tetap saja Khayla merindukan ayahnya. Tiada bosan Khayla mengirim surat yang di-emailkan Bunda ke alamat email Ayah, meski tak satu pun dibalas. Akankah Khayla berjumpa kembali dengan ayahnya?

Sementara itu, Bulik Wuri, ibu Rara, mengajari Khayla membuat bunga dari kain. Kemudian Khayla mendapatkan pengalaman yang mengasyikkan dengan bunga-bunga kain tersebut. Pengalaman apakah itu? Ikuti kisah Khayla dalam “Bunga Kain Khayla”. Buku ini mengajarkan bahwa kebahagiaan dan kesedihan adalah dua hal yang berpasangan. Mereka datang dan pergi silih berganti. Selain itu, banyak pengetahuan menarik diselipkan di dalam cerita.

#Resensi ini dimuat di harian Kompas Anak
 


 

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Sebentuk Cinta Dalam Sebuah Pencarian


Judul Buku                :  My Avilla
Penulis                        :  Ifa Avianty
Penerbit                      :  Afra Publishing (imprint of Indiva Media Kreasi)
Terbit                         :  Cetakan I, Februari 2012
Tebal Buku                :  184 halaman
Ukuran                       :  20 cm
ISBN                           :  978-602-8277-49-5
Harga                          :  Rp. 26.000

Ini kisah tentang kakak beradik dengan karakter berbeda. Margriet yang lembut dan serius, sedang adiknya, Trudy, gadis populer yang selalu tertantang pada sebuah kompetisi. Mereka mencintai lelaki yang sama, Fajar. Cowok ganteng yang pendiam, serius, dan pemalu.  

Margriet yang empat tahun lebih tua dari Fajar, berusaha menyangkal perasaannya. Sedang Trudy, dengan caranya sendiri, melampiaskan kekecewaan akibat mengalami penolakan telak dari Fajar. Sementara Fajar, tak peduli pada bilangan usia yang terpaut jauh, ia sudah benar-benar jatuh ke kedalaman cinta karena pesona Margriet. Bahkan ia punya panggilan istimewa untuk Margriet: My Avilla. 

Fajar yang bingung mencari jalan Tuhan, merasa klop bertanya dan berdiskusi dengan Margriet. Keduanya sama, dalam kegelisahan menuju jalan Tuhan. Namun Margriet lebih mantap bermuslimah, sementara Fajar gamang dalam kebimbangan bermuslim di tengah Mama dan kakak yang Katolik. Sedang ia sendiri saat itu beragama Islam karena Papanya seorang muslim. 

Lalu, di tengah perjalanan kisah, muncul Phil. Ia rekan kerja Margriet, sesama dosen di sebuah universitas internasional di Jakarta. Seorang atheis yang kemudian memilih menjadi muslim dan menemukan kedamaian di dalam Islam. Meski niat awalnya demi menunjukkan kesungguhan cinta kepada Margriet, namun secara alami Phil menemukan makna mencintai dalam hidupnya, mencintai Tuhan.
*****

My Avilla, novel drama cinta yang indah, karya Ifa Avianty. Penuturannya mengalir dengan bahasa yang ringan, soft dan feminin, khas penulis ini. Namun berbeda dengan karya Ifa Avianty sebelumnya, My Avilla tidak sekadar menghadirkan kisah cinta. Di dalamnya tergambar sebuah pencarian. Pencarian akan Tuhan, dengan segenap pertanyaan yang berkelindan. Perlukah sebuah agama untuk mengenal Tuhan? Apakah seseorang harus menentukan satu jalan saja untuk menuju Tuhan? Apakah tidak bertuhan merupakan salah satu pilihan jalan? 

Fajar dalam lorong pencariannya, merasa berada dalam labirin, berputar-putar dengan beragam pertanyaan yang berjejal memenuhi benaknya. Jiwanya gelisah. Yang jelas, keinginan Fajar sangat kuat untuk melayani Tuhan. Namun apakah dengan berkhidmat dalam dzikir kepada Allah, atau menempuh jalan selibat di hadapan altar Al-Masih? Fajar sungguh bingung. 

Jangan membayangkan ini sebuah novel berat dan serius, yang dipenuhi kajian kritis yang akan membuat dahi berkerut. Diskusi-diskusi tentang pencarian Tuhan, dikemas ringan. Seperti yang diakui penulis pada lembar awal, bahwa ia bukan ahli ilmu perbandingan agama, maka jangan berharap dalil-dalil memadati buku ini. Tapi pilihan kalimat-kalimatnya tetap bernas karena menampilkan pemikiran-pemikiran cerdas dengan sedikit teori-teori dari buku karya filsuf barat. 

Cerita bergerak flashback. Diawali dengan prolog dari sudut pandang Trudy dan Margriet. Kemudian mengalir dari masa remaja hingga ujung cerita dalam kehidupan berumah tangga. Ifa Avianty, seperti dalam karya-karyanya yang lain, selalu berhasil menghadirkan banyak  tokoh dengan karakter yang kuat. Tokoh-tokoh itu berbicara bergantian, membentuk jalinan cerita yang runut.  

Saya paling suka pada tokoh Margriet. She’s like an angel. Meski mengalami pergolakan-pergolakan batin, tapi ia mampu mengelola hatinya sehingga sikapnya teraplikasi dalam bingkai muslimah yang shalihah. Kegalauannya akan perasaan cinta kepada Fajar, tidak serta merta menjadikannya lemah. Ia teguh memegang prinsip menjaga kesucian hati.

Kisah cinta segitiga Margriet-Fajar-Trudy terasa mengaduk emosi. Dialog dan narasi yang sangat kuat menggambarkan olah emosi para tokoh, cukup membawa pembaca larut terhanyut di dalamnya. Dengan bahasa yang segar dan lincah, dijamin membuat pembaca tak ingin beranjak hingga halaman terakhir. Sedang alur kisah cintanya sendiri jauh dari monoton, karena ada beberapa kejutan tak terduga yang mewarnai. Irama alurnya menyenangkan, tidak terlalu cepat pun tidak mengalun lambat.

Entah apa karena saya demikian jatuh cintanya pada novel ini, maka sulit rasanya mencari kelemahan kisah ini. Hanya saja memang untuk detil deskripsi setting tempat, tidak begitu menonjol. Semisal ketika Fajar bersekolah teologi di Roma, ‘rasa’ Roma-nya tidak tercium tajam. Tapi seorang penulis tidak harus hebat dalam semua unsur kan?

Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang mengiringinya, bagi saya novel ini memiliki dua sisi yang berkombinasi dengan baik. Sebuah pencerahan tentang kesadaran bertuhan. Tentang makna keimanan. Keimanan nggak bisa ditukar semudah menukar pakaian hanya karena kita merasa nggak cocok. Keimanan adalah sebuah konsekuensi logis dunia dan akhirat yang kita tidak bisa mengambil sebagiannya dan membuang sebagian yang lain (halaman 54).

Pada sisi lainnya, “My Avilla” menyuguhkan pemaknaan sebentuk cinta. Betapa cinta adalah sesuatu yang indah dan berefek pada kebahagiaan. Ia tidak rumit, karena kebahagiaan itu sesungguhnya sederhana. Dia ada di dalam hati yang bersyukur, dan ketulusan mencintai serta memaafkan (halaman 182).
Novel ini sukses membuat saya tersenyum dan meluruhkan airmata. Ia menggedor bilik kesadaran saya. Membuat saya bergegas menujuNya, meraih cintaNya. Semoga Anda pun demikian setelah membaca buku favorit saya ini. It’s so recommended book.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pelajaran Cinta Dari Gaza




Judul Buku                :  Rinai
Penulis                        :  Sinta Yudisia
Penerbit                      :  Gizone Books (imprint of Indiva Media Kreasi)
Terbit                         :  Cetakan I, September 2012
Tebal Buku                :  400 halaman
Ukuran                       :  20 cm
ISBN                           :  978-602-8277-65-7
Sebuah novel mengisahkan sebuah cerita, itu biasa. Tidak demikian dengan RINAI. Ada cerita dalam cerita, di dalamnya. Tokoh Aku didatangi seorang ibu yang membawa buku catatan harian milik anaknya. Sang ibu berharap agar buku harian itu ditulis menjadi sebuah kisah. Maka mewujudlah kisah Rinai.
Alur cerita mengalir dengan beberapa flashback. Masa lalu Rinai memiliki andil besar dalam kehidupannya. Termasuk mimpi menahun yang terus menguntit dalam tidurnya. Tentang Ular. Mimpi inilah yang menjadi pijakan awal kisah ini. Dan pembaca langsung dipertemukan dengan Freud. Aroma ilmu psikologi mulai tercium, dan akan terus mewarnai novel ini.
Rinai, mahasiswi psikologi, hidup dalam keluarga yang memegang erat keluhuran nilai-nilai Jawa. Ibunya, Bunda Rafika, tipikal wanita Jawa yang tangguh dalam ke-nrimo-annya. Tak pernah ada perlawanan meski mengalami tekanan dari sana-sini. Sing waras ngalah.
Di kampusnya, Rinai mengagumi dosen bernama Nora Efendi, seorang psikolog klinis. Asisten lab-nya, Amaretta, kakak kelas Rinai yang tengah menempuh S2,  sepertinya tak pernah bisa ‘rukun’ dengan Rinai. Mereka tergabung dalam tim relawan HRHW (Human Relief for Humanitarian Welfare) cabang Indonesia. Sebuah organisasi independen yang bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, terutama berkecimpung di wilayah konflik, korban bencana, atau daerah-daerah yang sulit dijangkau oleh pemerintah terkait. Gaza, tujuan perjalanan kali ini. Rinai berada di bawah pimpinan Nora, dalam tim kecil yang bertujuan mengatasi posttraumatic stress disorder, bersama tim trauma healing lainnya, juga para jurnalis dan praktisi medis. Perjalanan di Gaza inilah, yang menjadi jantung novel ini.
Sinta Yudisia, memang pernah mengunjungi Gaza. Maka, ia seolah tidak melewatkan satu inci pun penglihatannya tentang kondisi Gaza untuk dihadirkan kepada pembaca. Detil setting sangat rinci hingga ke hal-hal kecil. Tidak hanya bermain apik dalam setting tempat, penulis juga menampilkan karakter tokoh-tokohnya melalui penggambaran fisik dan emosi yang lengkap.
Kondisi Gaza sebagai wilayah konflik ternyata tidak porak poranda dalam semua aspek. Mereka tetap berkegiatan senormal yang mereka bisa. Apa yang menyebabkan daya tahan demikian besar dari warga Gaza? Mengapa tingkat depresi kecil, sangat minim kasus skizofrenia, bahkan violence tak menjadi kebiasaan umum masyarakat? (halaman 179) Ternyata kuncinya adalah kecintaan pada Quran. Mereka akrab dengan huruf-huruf Quran, yang bergerak dari kanan ke kiri, menyeimbangkan kerja otak. Mereka bahkan menghafalnya, terutama Surat At Taubah dan Al-Anfaal. IQ anak-anak tak ada di bawah angka 100. Beberapa orang dewasa fasih berbahasa Inggris. Mereka memiliki tingkat kecerdasan yang baik. Semua bermuara pada keyakinan akan nilai-nilai Islam. Everything is from Allah and back to Allah (halaman 180). Shiroh Nabawiyah dan kisah shahabat dipelajari dengan baik. Mereka belajar bagaimana survive dalam kehidupan. Masjid, Quran, belajar, berjuang, bertahan. Itulah orbit yang dilalui terus menerus (halaman 181).
Perang tentu menimbulkan kerusakan. Bangunan-bangunan hancur, pasokan listrik dibatasi, dan aneka ketidaknyamanan lainnya, tidak menampilkan kemurungan. Bahkan keramahan warga Gaza sangat menonjol. Mereka menyambut baik kedatangan para pemberi bantuan dari negara lain. Namun bukan tersebab menerima bantuan. Bagi warga Gaza, menjamu tamu, menghormati tamu adalah sebagian dari keimanan (halaman 183). Betapa nilai-nilai Islam demikian merasuk dalam keseharian mereka.
Pada bagian lain, penulis menggiring halus pembaca pada pelajaran cinta tanah air. Mereka berjuang keras demi berkibarnya bendera di tanah sendiri. Sementara kita, di negeri merdeka ini, kerap abai pada nilai sejarah berkibarnya bendera pusaka. Dan lihatlah warga Palestina yang harus tabah bertransaksi dengan shekel, mata uang Israel. Sedangkan kita, leluasa menggunakan rupiah, mata uang kita sendiri.
Pelajaran cinta berikutnya tentang keluarga. Sosok Hazem, anak lelaki berusia 12 tahun, mendampingi penuh cinta sang kakak yang mengalami bisu tuli akibat trauma perang. Ia menjadi kepala keluarga dalam usia semuda itu, dalam kondisi kehilangan sebelah kaki. Lalu ada Nirmeen, gadis secantik bidadari, mengajar di sebuah sekolah dasar. Ia bertutur, kehidupan kami sedikit lebih cepat dari kehidupan lain dari belahan bumi lain (halaman 360). Mereka harus siaga dengan segala resiko terburuk. Semua dilakukan ikhlas, karena cinta.
Tidak ketinggalan, penulis menyuguhkan kisah cinta romantis yang syahdu. Sebuah perasaan indah yang terselip dalam perjalanan ini. Ada denyar hati yang sangat halus antara Rinai dan Montaser, seorang pemandu. Tokoh Montaser digambarkan penulis terasa begitu nyata. Sosok pemuda berusia 25 tahun dengan kontur wajah yang mengagumkan serta berkepribadian menawan. Cukuplah Gaza memiliki penjaga seperti Montaser. Pemuda terhormat yang menjaga pandangan. Menghiasi diri dengan hafalan Quran. Membaktikan diri bagi negara, setia pada kebenaran dan kemuliaan (halaman 376). Perasaan kedua insan tak terucap kata, tapi sinyalnya lembut terasa.
Pada bagian lain, hadir pula intrik dan friksi dalam satuan tim relawan tersebut. Pergulatan idealisme dan tuntutan operasional penelitian. Tindakan manipulatif tak terhindarkan. Membuat jengah Rinai yang masih hijau dalam proyek besar ini. Lalu menyeret Rinai dalam petualangan mendebarkan. Bertindak tanpa persetujuan tim. Hingga dirinya berada di tengah baku tembak yang menegangkan. Inilah satu-satunya adegan yang memperlihatkan bahwa mereka berada di medan konflik yang rawan letusan tembakan dan mesiu. Jadi jangan berharap novel ini banyak menghadirkan bagian yang membuat napas tertahan, karena terkepung dalam serangan keji Israel yang datang tiba-tiba.
Dengan ketebalan 400 halaman, novel ini memang berbicara banyak. Heroisme, religi, psikologi, tafsir mimpi, romance, tradisi Jawa, kritik sosial, dan nilai-nilai kemanusiaan yang dalam. Sungguh bukan novel biasa dari penerbit biasa. Grup Indiva, konsisten menghadirkan novel-novel berupa karya bermutu, yang bernapaskan Islam. Plot yang kuat, dengan penokohan yang berkarakter. Jalan cerita menarik dengan ide yang bukan kebanyakan. Tak sekadar menghibur, di dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran cerdas nan bernas. Sebut saja beberapa novel, seperti: De Winst, Da Conspiracao, My Avilla, Livor Mortis, Rose, Tarapuccino, Jasmine, dll. Meski dalam novel Rinai ini, terdapat typo yang cukup banyak, namun tertutupi oleh bagusnya isi cerita. Hanya, tentu saja, kesalahan ini jangan sampai terulang lagi. Dalam kesalahan cetak kali ini, untuk kata ‘seiring’ beberapa kali tercetak ‘seiiring’. Contoh lain: ‘senatiasa’ seharusnya ‘senantiasa’ (halaman 172), ‘meimbulkan’ seharusnya ‘menimbulkan’ (halaman 181), ‘situaasi’ seharusnya ‘situasi’ (halaman 188), dan beberapa lagi yang lain. Yang juga membuat agak tidak nyaman adalah, catatan kaki ditaruh di bagian belakang, dan bukannya di bawah halaman. Padahal banyak sekali kata-kata yang disertai catatan kaki, terutama istilah-istilah psikologi.
Terlepas dari itu, Penerbit Indiva, tampaknya berusaha mengusung idealisme bahwa karya yang baik bukan berarti harus selalu mengikuti pasar. Karya bermutu, bila dikemas baik, tetap akan menarik minat pembaca. Karena sesungguhnya, pembaca pun merindukan buku-buku yang bukan karya biasa yang kebanyakan beredar tanpa memerhatikan bobot isi. Tinggal menunggu waktu, Indiva akan semakin berkibar dikenal sebagai penerbit bermutu yang menerbitkan karya-karya berkelas.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS