Judul : Membeli Ibu
Penulis : Riawani Elyta
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : 2021
Tebal : 238 Halaman
ISBN : 978-623-253-033-1
Harga : 60.000
Disleksia merupakan gangguan pada otak yang mengakibatkan penderitanya mengalami kesulitan dalam merangkai huruf, angka, kata, juga arah. Hal tersebut berimbas pada kemampuan membaca dan menulis. Para penyintas disleksia membutuhkan lebih banyak waktu untuk merangkai huruf dan kata, juga angka. Maka, tanpa ampun masyarakat kerap memberi label ‘bodoh’ karena dianggap tidak bisa membaca dan menulis.
Di Indonesia,
ternyata ditemui cukup banyak kasus disleksia. Seperti dilansir pada web
Yayasan Peduli Kasih ABK, bahwa sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia
adalah difabel disleksia (Jawa Pos, 2016). Sedangkan di dunia, gangguan ini
ditemukan pada tahun 1896. Meski demikian, masih banyak kalangan yang belum
mengetahui tentang disleksia ini. Maka melalui media fiksi, baik itu film
maupun novel, tokoh penyintas disleksia acap menjadi tokoh utama, sehingga
masyarakat dapat lebih memahami apa itu disleksia. Seperti yang terkenal yaitu
film Bollywood berjudul “Taara Jamen Par” yang mengangkat kisah seorang anak
penderita disleksia.
Dalam novel
“Membeli Ibu” karya Riawani Elyta, tokoh utama yang memiliki gangguan
disleksia, mendapat porsi besar dalam keseluruhan cerita. Uniknya, sang tokoh
berasal dari keluarga tidak mampu. Hal ini tentu memberi sentuhan konflik yang
lebih rumit. Karena bila anak penderita disleksia berasal dari keluarga berada,
tentu mudah saja menjalani terapi demi mengatasi kesulitannya dalam belajar.
Sementara Athifa, tokoh penyintas disleksia ini, alih-alih mendapat terapi, sekadar
dipahami kesulitannya pun tidak. Karena bisa dimaklumi, golongan masyarakat
bawah tentu tidak tahu menahu mengenai gangguan disleksia. Yang dilihatnya,
hanyalah si anak yang bodoh, tidak bisa membaca dan menulis.
Demikian yang
dialami Athifa. Ia harus mengalami tinggal kelas dua kali. Menginjak usianya
pada angka 14, ia masih berseragam putih merah. Ia memendam masalahnya sendiri
dalam kerinduan yang pekat terhadap ibunya.
Sejak kecil Athifa
ditinggal ibunya yang pergi ke negeri seberang mengadu nasib sebagai TKW.
Athifa lalu tinggal bersama ayahnya, yang kemudian meninggalkannya pula, dengan
alasan mencari kerja ke kota. Selanjutnya Athifa hidup bersama Bibik Esih, adik
tiri ayahnya, dan kedua anak Bibik Esih yang masih kecil-kecil.
Lama kelamaan
Bibik Esih tidak sanggup menanggung hidup Athifa. Bibik Esih harus berjuang
mencari nafkah sendiri karena suaminya telah wafat. Akhirnya, Bibik Esih
menyerahkan Athifa ke sebuah panti asuhan.
Tinggal di
panti asuhan, membuat hidup Athifa semakin rumit. Ketidakmampuan bersosialisasi
dan terutama gangguan disleksia yang dialaminya, membuat Athifa menarik diri.
Tak seorang pun memahami apa yang dialami dan dirasakannya.
Pada suatu
hari, tersebab kesulitannya mengingat arah, Athifa tersesat. Maksud hati pulang
menuju panti asuhan, namun kakinya malah melangkah menjauh. Kondisi itu
membawanya pada perkenalan dengan seorang pemilik dan pengelola taman bacaan,
bernama Fairuz, yang akrab disapa Fai.
Fai yang
memiliki ketertarikan kuat pada hal-hal yang berbau psikologi, mengendus
sesuatu yang lain pada diri Athifa. Hubungan Fai dan Athifa terus berlanjut
hingga menggiring pada peristiwa-peristiwa serius, yang bahkan melibatkan
polisi hingga hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.
Kepiawaian Riawani
Elyta dalam meracik cerita memang sudah tak diragukan lagi. Maka tak heran bila
novelnya ini menyabet predikat juara pertama dalam Lomba Menulis Indiva. Secara
keseluruhan unsur intrinsik pembangun novel, memiliki kualitas di atas
rata-rata. Bahkan sejak pemilihan judul. “Membeli Ibu” merupakan frasa yang tak
biasa. Judul ini memiliki daya tarik yang menyedot rasa penasaran pembaca.
Sebuah poin yang patut diacungi jempol.
Dalam hal
cover pun, novel ini sudah berbicara. Tampak Athifa, gadis cilik beranjak
remaja, memegang celengan ayam sebagai lambang kerinduan dan kegigihan untuk
dapat bertemu dengan ibunya. Di sekitarnya beberapa pucuk surat melayang
menandakan harapannya yang tiada pupus. Lalu, di sampingnya berdiri Fairuz,
gadis belia yang baru menapak di dunia kampus, namun tidak berkesempatan
menimba ilmu yang didambanya sejak lama. Wajahnya diilustrasikan dengan raut
sendu, menandakan kepedihannya, yang juga berhubungan dengan sosok ibu. Fai
dilanda pilu yang teramat sangat, mendapati dirinya tak akan mampu menjadi
seorang ibu. Penggambaran ekspresi berbeda dari kedua tokoh ini tentu
mengundang rasa ingin tahu pembaca.
Selanjutnya,
alur. Novel ini menggunakan alur maju yang sangat mudah dipahami. Sebuah
pilihan yang tepat, mengingat peruntukan novel ini bagi remaja. Tidak perlu
mengernyit untuk mengikuti jalan ceritanya. Kalaupun ada sedikit kilasan masa
lalu, itu hanya bagian dari adegan, bukan merupakan kilas balik kehidupan
tokoh. Semisal ketika Athifa mengenang guru agamanya, mengingat warung Bude Nur,
dan membayangkan surat-surat ibunya.
Sekarang
tentang penokohan dan karakter. Ada dua tokoh utama dalam novel ini. Riawani
mempertemukan keduanya dalam sebuah kebetulan yang smooth dan logis. Bukan kebetulan yang tiba-tiba, dipaksakan, dan unlogic. Deskripsi fisik dan karakter
disampaikan dengan beragam cara. Melalui dialog tokoh lain, penggambaran
adegan, juga melalui tuturan si tokoh sendiri. Sehingga tidak melulu tell, namun pembaca pun ‘melihat’ show. Semisal tentang Athifa yang sangat
mengistimewakan ibunya, Saputangan itu,
mungkin tidak ada artinya buat orang lain. Tidak juga bagi penghuni panti.
Tetapi bagiku, sangatlah berarti. Saputangan itu, satu-satunya hadiah yang
pernah dibuatkan Ibu untukku. (hal. 70). Sedangkan sikap tulus Fairuz
diperlihatkan melalui tuturan Athifah.
Dia menatapku tenang, tampak tidak terganggu dengan kehadiranku yang tiba-tiba.
Berbeda dengan gadis sebelumnya yang tampak sangat terkejut saat melihatku.
(hal.51).
Tokoh Athifa
sebagai anak yang ditimpa beberapa kemalangan, tidak lantas diperlihatkan
berkarakter super. Ada masa ketika ia kuat dan berusaha berdamai dengan
keadaan, namun di lain waktu ia bisa juga tak mampu mengontrol emosi sehingga memercik
konflik yang berujung pada sebuah pertengkaran hebat. Begitu pun tokoh Fairuz,
bukan serupa gadis yang sepenuhnya bermental baja. Namun ada kalanya terpuruk
oleh rasa pilu akibat kondisi yang dialami pasca operasi miom yang mengharuskan
rahimnya diangkat. Meski secara umum, kedua tokoh ini mewakili prototype gadis-gadis tangguh, tetapi
sisi-sisi manusiawi tetap dimunculkan. Demikian pula tokoh-tokoh pendukung di
sekitar tokoh utama, mendapat porsi yang pas, tanpa kesan berlebihan.
Berikutnya,
latar. Lokalitas Melayu melalui latar tempat di Tanjung Pinang berhasil
diangkat dengan baik. Dialog yang
menampilkan kata-kata khas Melayu memberikan kekuatan tersendiri bagi novel
ini.
Terakhir,
yang sangat menonjol dari novel ini adalah pesan-pesan kebaikan dan hikmah yang
bertabur di sekujur cerita. Semua tersampaikan dengan halus, tidak menggurui,
dan melarut dalam cerita. Riawani tanpa ragu menyelipkan petikan ayat-ayat suci
Al-Quran yang sama sekali tidak terasa sebagai tempelan yang dipaksakan.
Yang
tertangkap sebagai highlight dari
novel ini, pertama adalah tentang
disleksia. Pembaca diajak menyelami bagaimana kondisi yang dialami penyintas
disleksia dan apa yang dirasakannya. Disampaikan pula, cara belajar efektif
yang mampu mendongkrak semangat belajar yang berbuah prestasi. Kedua, pentingnya literasi. Ilustrasi
tentang sebuah taman bacaan yang berupaya membangkitkan minat baca masyarakat,
lengkap dengan langkah-langkah dan metode yang dilakukan, membukakan wawasan
pembaca. Terlihat pula, betapa literasi mampu membuat seorang anak putus
sekolah menjadi berdaya. Diwakili oleh tokoh Jamila yang berhasil merintis
usaha kuliner dari interaksinya dengan buku. Ketiga, nilai-nilai religi. Poin ini kental terasa dalam beberapa
bagian cerita. Pentingnya mengaji dan sedekah, batasan pergaulan laki-laki dan
wanita, kekuatan doa, peduli sesama, adalah contoh nilai-nilai yang disiratkan
jelas dalam novel ini. Keempat,
ketangguhan dan kesabaran. Kedua hal tersebut menjadi napas cerita yang
berembus sepanjang novel ini. Melalui kegigihan Athifa ‘menaklukkan’
disleksianya serta kesabarannya menabung rindu kepada ibu. Pun melalui
perjuangan Fairuz dalam keterbatasannya pasca operasi miom yang dilaluinya. Kelima, realita kondisi TKW di luar
negeri. Riawani menyisipkan bagian ini dengan rapi. Pembaca dibuat tergugah
akan nasib TKW yang kerap mendapat perlakuan tidak adil. Hubungan antarnegara
sangat membutuhkan kepiawaian berdiplomasi. Kasus-kasus ketidakadilan itu
memerlukan kerjasama berbagai pihak agar didapat hasil sesuai harapan.
Di samping
deretan keunggulan yang dimiliki novel ini, ada pula beberapa kelemahannya. Tentang
sudut pandang yang menggunakan PoV1 tentu dimaksudkan agar pembaca dapat lebih
merasakan gejolak emosi dan gerak pikiran tokoh. Dalam novel ini, sudut pandang
berpindah teratur sebagai pergantian bab, antara Athifa dan Fairuz. Sayangnya
perpindahan ini kadang tidak terasa, karena hampir sama saja antara Athifa dan
Fairuz. Mungkin bila dibedakan Fairuz menggunakan ‘aku’ dan Athifa menggunakan
‘saya’, pembaca bisa lebih ngeh apakah ini Athifa atau Fairuz yang sedang
berbicara.
Ada pula
bagian cerita yang rasanya tidak demikian terjadi dalam kenyataannya. Pada
prolog digambarkan seorang satpam di sebuah bank. Agak aneh ketika satpam
mengetahui bahwa Athifa akan membuka rekening tanpa menyampaikan bahwa anak di
bawah umur tidak bisa membuka rekening sendiri tanpa didampingi orang tuanya. Sehingga
adegan Athifa duduk mengantre lalu baru mendapat informasi dari CS, agak kurang
pas.
Demikian pula
bagian Bibik Esih yang merantau ke Tanjung Pinang. Orang Sukabumi, khususnya
perempuan, tidak lazim berkeinginan merantau ke tempat yang jauh, yang di sana
tidak ada seorang pun sanak kerabat. Terlebih lagi Bibik Esih sudah tak
bersuami pula. Alasan karena Tanjung Pinang merupakan tempat bertolaknya ibu
Athifa, terasa kurang kuat.
Sedangkan
masalah typo, hanya ada pada halaman 215 dan 216. Nama Jamila tertulis Jamina.
Ditemukan juga penempatan kata yang tidak sesuai dengan PUEBI, yaitu kata depan
‘di’. Pada halaman 202 paragraf ketiga, tertulis ‘di sore hari’ seharusnya
‘pada sore hari’. Karena penggunaan ‘di’ tidak diperuntukkan untuk diletakkan
sebelum kata yang menunjukkan waktu. Kata depan ‘di’ hanya digunakan sebelum
kata yang berhubungan dengan tempat.
Terlepas dari
sedikit kelemahannya, novel ini sungguh layak menjadi juara. Dengan sederet
keunggulannya, novel ini cocok direkomendasikan tidak hanya bagi remaja,
tetapi juga kalangan dewasa. Meski bukan tema ringan, tetapi dikemas dalam
cerita yang meremaja dengan sarat pesan moral
tanpa kesan menggurui, sehingga merupakan novel yang memberi inspirasi dan motivasi.
6 comments:
Kereeen ulasannya, Mbak. Gak sbaar nunggu buku nyampe.
Resensi khas Mbak Linda banget.. Sang pemerhati PUEBI. Aku ga begitu ngeh dengan 'di' yang seharusnya 'pada'
Padahal kita sama-sama abis 'dibantai' editor mengenai di dan pada ini beberapa waktu lalu ya Mbak :D
Hahaa.. Sang pemerhati PUEBI.. 😁 Btw, thanx banget dah mampir yaa..
Berusaha mengulas sesuai teori resensi.. hehe..
Masya Allah, beneran Puebi Guard banget dirimu Linda. Aku belum beli bukunya, tunggu gajian nih
Mbak Ade bissaa aja..
Makasii dah mampir yaa..
Post a Comment