Judul :
Mitomania : Sudut Pandang
Penulis : Ari Keling
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : 2021
Tebal : 256 Halaman
ISBN : 978-623-253-028-7
Harga
: Rp65.000,00
Tema psikologi merupakan
tema menarik yang sering dipilih penulis. Tidak hanya buku nonfiksi, tetapi
merambah pada ranah fiksi. Aneka permasalahan terkait psikologi, meliputi
interaksi hubungan sosial, jenis-jenis kepribadian, pola perilaku, hingga
urusan kejiwaan. Semuanya menjadi konflik yang asik diracik penulis dalam
mewujudkan sebuah cerita yang memikat pembaca. Tidak hanya berfungsi menghibur,
fiksi yang ditulis dapat berperan sebagai pemberi informasi tentang hal-hal
yang terjadi pada manusia yang berhubungan dengan psikologi. Sebut saja tentang
kepribadian ganda yang terbelah (Dissociative
Identity Disorder) yang sangat terkenal dalam novel “Sybil” dan “Billy”.
Begitu pun dalam film, “Shutter Island” yang dibintangi aktor tampan Leonardo
DiCaprio, adalah contoh film psikologi yang disebut-sebut sebagai film yang
keren. Fiksi bertema psikologi pun sangat memungkinkan untuk diakhiri dengan
ending berplot twist yang mencengangkan pembaca.
Novel Mitomania karya Ari Keling membidik
masalah kejiwaan yang memfokuskan pada perkara kebohongan. Dari dua jenis
kebohongan, kebohongan kompulsif dan kebohongan patologis, Ari Keling memilih
yang terakhir.
Dikisahkan tentang siswa SMA
bernama Kefiandira yang berkonflik dengan tiga sahabat, yaitu Amanda, Lisa, dan
Morgan. Kefi, panggilan Kefiandira, merasa mengalami perundungan yang dilakukan
oleh tiga sekawan tersebut. Ia melaporkan hal itu kepada Pak Joni, guru BK di
sekolahnya. Tidak berhenti sampai di situ, Kefi ingin agar masalah ini dibawa
kepada kepala sekolah.
Setelah bertemu Pak Beni,
kepala sekolah, Kefi mendesak agar para pelaku perundungan terhadap dirinya,
juga dihadirkan. Ia hanya mau berbicara bila ketiganya dipanggil dan
mendengarkan ceritanya. Hingga akhirnya permintaan Kefi itu diluluskan. Lalu
mulailah Kefi bercerita. Dengan tenang dan meyakinkan, Kefi menuturkan
kronologis ihwal perundungan yang dialaminya.
Cerita Kefi tersebut
lantas disangkal keras oleh Amanda, Lisa, dan Morgan. Ketiganya mengatakan
bahwa cerita Kefi tidak benar. Kemudian masing-masing dari ketiganya pun diberi
kesempatan oleh Pak Beni dan Pak Joni untuk mengungkapkan cerita versi dirinya.
Dari situlah konflik
terbangun. Pembaca dihadapkan pada cerita dengan versi berbeda dari Kefi dan
Amanda serta kedua sahabatnya. Cerita yang manakah yang benar? Siapakah yang
melakukan kebohongan di antara kedua kubu itu? Apakah keempatnya sama-sama
berbohong?
Konflik tersebut
benar-benar mengikat pembaca untuk terus mengikuti cerita ini. Selalu ada
bagian yang membuat penasaran dari beragam versi cerita yang dituturkan Kefi,
Amanda, Lisa, dan Morgan. Kerumitan mengurai kasus ini membuat Pak Beni dan Pak
Joni berusaha keras menganalisis dengan takaran yang seimbang. Sebagai kepala
sekolah dan guru BK, keduanya tidak mau gegabah mengambil keputusan. Pak Joni
yang seorang sarjana psikologi, menengarai bahwa ini adalah kasus kebohongan
patologis atau mitomania.
Aroma psikologi memang
terhidu keras sepanjang cerita. Lapis demi lapis kebohongan menggiring pembaca
pada pemikiran tentang penyimpangan perilaku yang dialami tokoh cerita, yang
mengerucut pada dua nama, yaitu Kefi dan Amanda.
Alur kemudian berjalan
mundur. Kilas balik kehidupan Kefi dan Amanda, sejak masa kecil hingga beranjak
remaja, perlahan mulai menguak lapis-lapis kebohongan yang menjadi misteri. Apa
yang terjadi pada masa lalu merupakan musabab terjadinya keadaan hari ini.
Ari Keling seakan
menuntun pembaca melalui paparan kejadian dari waktu ke waktu, dari peristiwa
ke peristiwa, menuju pemahaman akan gangguan mental yang berwujud perilaku
mitomania. Ini sebuah langkah cerdas penulis yang mengangkat tema berat menjadi
sebuah cerita remaja yang mudah dicerna. Dengan bumbu kisah cinta ala anak SMA
yang potensial menimbulkan baper, lengkap diwarnai gejolak cemburu, membuat novel
ini tetap terlihat sebagai novel yang memang peruntukannya bagi remaja.
Yang menarik juga dari
novel ini adalah latar tempat dan waktu pada bagian awal. Cerita bergulir di
tempat yang sama dengan durasi waktu hitungan jam saja. Keempat siswa-siswi dan
kedua gurunya hanya berada di ruang kepala sekolah sampai jam pulang sekolah.
Bagian itu panjangnya hampir separuh isi novel. Dari 23 bab yang ada, bagian
tersebut dikisahkan dari bab 1 hingga bab 17. Meski para tokoh hanya duduk dan
berbicara dalam satu ruangan, tetapi cerita bergerak dalam adegan filmis.
Tokoh-tokoh yang berbicara panjang lebar digambarkan dalam adegan kilas balik
yang membawa penonton seolah melihat kejadiannya secara langsung.
Selain itu, sudut pandang
yang digunakan pun merupakan poin yang menarik. Perpaduan PoV 1 dan PoV 3 tidak
mengacaukan jalan cerita. Bahkan PoV 1 pun bergantian antara Kefi, Amanda,
Lisa, dan Morgan. Namun semuanya terjalin dengan rapi, tanpa mengakibatkan
‘bingung tokoh’ bagi pembaca.
Lalu pesan apa yang
tersirat dari novel ini? Setidaknya ada empat hal yang bisa digarisbawahi.
Pertama, tentu tentang mitomania. Pembaca diajak mengetahui lebih jauh mengenai
jenis kebohongan patologis (mitomania) dan mengenali ciri-ciri serta faktor
penyebabnya. Pengalaman Kefi yang kerap menyaksikan pertengkaran orang tuanya,
dari cekcok mulut hingga kekerasan fisik, menimbulkan luka yang menganga di
hati Kefi. Juga pengkhianatan ayahnya, ledakan emosi ibunya, yang berujung
perceraian, meninggalkan trauma mendalam. Begitu pun Amanda. Sikap over
protektif ayahnya dan dahaga Amanda akan kasih sayang seorang ibu, membuat Amanda
tumbuh menjadi anak yang rapuh dan manja. Namun, tampak luarnya, Amanda adalah
seorang anak tomboi yang terlihat jagoan. Maka dengan memahami akar sebuah
masalah, kita dapat terhindar dari sikap menghakimi.
Kedua, tentang pola asuh. Betapa orang tua sangat perlu memahami pola asuh
atau parenting. Ketika kondisi
perceraian tidak bisa dihindari, maka risiko menjadi seorang ibu tunggal harus
dilakoni dengan segala konsekuensinya. Dalam kondisi timpang karena kehilangan
pendamping, seorang ibu tunggal harus lebih mampu mengelola dan mengendalikan
emosi. Karena tidak bisa dipungkiri, beban sebagai ibu tunggal berkali lipat
beratnya. Kekesalan, kesedihan, amarah, jangan sampai mengakumulasi yang
menyebabkan anak menjadi sasaran pelampiasan. Seperti yang dialami Kefi. Pula
yang menimpa Amanda, meski dalam konteks berbeda. Amanda hidup bersama ayah
tunggal setelah ibunya wafat saat melahirkannya. Gaya perlindungan yang
diberikan ayahnya, justru membuat Amanda tidak mandiri karena selalu dibantu.
Ketiga, tentang penerimaan. Bahwa kondisi yang tidak sejalan dengan harapan,
adakalanya mewarnai hidup. Pada saat itu, tidak ada cara, selain kita harus
memiliki sikap penerimaan yang baik. Menerima kenyataan lalu menjalani dengan
ikhlas adalah hal yang harus dilakukan. Tiada guna menyesali yang telah
berlalu.
Keempat, pentingnya cek dan ricek.
Informasi apa pun yang diterima, akan lebih clear
bila dilakukan cek dan ricek. Sehingga langkah yang diambil tidak keliru dan
tepat sasaran. Pak Beni melakukan ini dengan baik, sehingga penanganan untuk
Kefi dapat diupayakan menempuh jalan yang solutif.
Tak ada gading yang tak retak, begitu pun novel ini. Diawali dengan
pemilihan judul. Novel ini memang berbicara tentang mitomania. Namun,
menjadikannya sebagai judul yang ditambah dengan frasa ‘Sudut Pandang’ tampak
kurang eye catching. Mungkin frasa semacam
“Labirin Kebohongan” bisa menjadi pilihan.
Pada bagian prolog, kisah
yang disajikan lebih terasa sebagai bagian awal dari bab 1. Bukan serupa prolog
yang menjadi pengantar cerita, atau cuplikan bagian yang melatari sekujur
cerita.
Selanjutnya, ada sedikit
yang mengganjal ketika Pak Joni sebagai guru BK tidak tahu bahwa Kefi adalah
murid baru. Padahal setiap siswa mutasi, pasti sepengetahuan guru BK. Sebagai
sekolah swasta yang bagus, penempatan guru BK tentu sudah sesuai dengan
Permendikbud RI Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Guru Bimbingan dan Konseling pada
Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, yaitu rasio 1 : 150. Bukan hal sulit
bagi seorang guru untuk mengenali siswa dalam jumlah 150 orang. SMA Jaya
Nusantara dapat diasumsikan sekolah swasta bagus terlihat dari hadiah lomba
antarkelas yang rutin diadakan. Bagi juara dua saja nilainya tiga juta rupiah.
Sungguh bukan jumlah yang sedikit. “Ma,
aku jadi juara dua lomba cerpen,” kata Kefi sambil menaruh piala dan uang tunai
3 juta dalam amplop ke meja. (halaman 206)
Kemudian mengenai
informasi seputar mitomania. Ini informasi yang sangat berharga dan menambah
wawasan pembaca. Sayangnya, penyampaian yang diutarakan dalam bentuk analisis
yang dilakukan Pak Joni dan Pak Beni, adakalanya terasa bertele-tele dan
berpanjang kata. Padahal maksudnya sudah dapat ditangkap, tetapi kadang-kadang
dijelaskan berputar-putar.
Dalam beberapa bagian,
terasa pula penulis bercerita panjang lebar dengan model ‘tell’. Walaupun tidak
memengaruhi isi cerita, tentu akan lebih menyenangkan pembaca bila porsi ‘show’
juga lebih banyak.
Selain itu, ada hal yang
mungkin kurang penting, tetapi ada baiknya dicermati juga. Tentang gambar yang
menjadi pembatas bab atau bagian cerita. Pemilihan gambar daun terasa kurang
sesuai dengan tema. Sepertinya akan lebih pas menggunakan gambar topeng, sesuai
yang ada pada cover, yang melambangkan kebohongan yang dilakukan tokoh utama.
Terakhir tentang beberapa
penulisan dan kata baku/tidak baku yang tidak sesuai PUEBI :
-
tindak
tanduk (halaman 9, paragraf 5) seharusnya
tindak-tanduk, karena penulisan kata ulang harus menggunakan tanda hubung;
-
tapi
(halaman 175, paragraf 7 dan pada beberapa halaman lainnya) seharusnya tetapi, karena ‘tapi’ adalah
bentuk tidak baku dari ‘tetapi’;
-
di
waktu-waktu tertentu ( halaman 176, paragraf 3 dan pada beberapa halaman
lainnya) seharusnya pada waktu-waktu
tertentu, karena penggunaan ‘di’ tidak diletakkan sebelum kata yang berhubungan
waktu;
-
ke
meja (halaman 206, paragraf 4) seharusnya
ke atas meja, karena ‘ke’ digunakan untuk menunjuk tempat bukan benda;
-
Tapi
-pada awal kalimat- (halaman 251, paragraf 1) seharusnya Namun, karena ‘tetapi’ diletakkan pada tengah kalimat,
sedangkan pada awal kalimat digunakan ‘namun’.
Sebuah hal wajar bila
terdapat sedikit kelemahan pada sebuah novel. Mitomania tetap layak diacungi jempol, dan cocok
direkomendasikan bagi remaja dan dewasa. Tidak heran novel ini didapuk sebagai
novel favorit dalam Lomba Menulis Indiva 2020 kategori novel remaja. Selain
membuka wawasan mengenai pengetahuan umum tentang psikologi, juga memuat pesan-pesan
kebaikan yang dekat dengan keseharian kita, yang memberi inspirasi dan motivasi.