Powered by Blogger.
RSS

Menguak Lapis-Lapis Kebohongan

 


Judul : Mitomania : Sudut Pandang
Penulis   : Ari Keling
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : 2021
Tebal     : 256 Halaman
ISBN     : 978-623-253-028-7

Harga : Rp65.000,00

 

Tema psikologi merupakan tema menarik yang sering dipilih penulis. Tidak hanya buku nonfiksi, tetapi merambah pada ranah fiksi. Aneka permasalahan terkait psikologi, meliputi interaksi hubungan sosial, jenis-jenis kepribadian, pola perilaku, hingga urusan kejiwaan. Semuanya menjadi konflik yang asik diracik penulis dalam mewujudkan sebuah cerita yang memikat pembaca. Tidak hanya berfungsi menghibur, fiksi yang ditulis dapat berperan sebagai pemberi informasi tentang hal-hal yang terjadi pada manusia yang berhubungan dengan psikologi. Sebut saja tentang kepribadian ganda yang terbelah (Dissociative Identity Disorder) yang sangat terkenal dalam novel “Sybil” dan “Billy”. Begitu pun dalam film, “Shutter Island” yang dibintangi aktor tampan Leonardo DiCaprio, adalah contoh film psikologi yang disebut-sebut sebagai film yang keren. Fiksi bertema psikologi pun sangat memungkinkan untuk diakhiri dengan ending berplot twist yang mencengangkan pembaca.

Novel Mitomania karya Ari Keling membidik masalah kejiwaan yang memfokuskan pada perkara kebohongan. Dari dua jenis kebohongan, kebohongan kompulsif dan kebohongan patologis, Ari Keling memilih yang terakhir.

Dikisahkan tentang siswa SMA bernama Kefiandira yang berkonflik dengan tiga sahabat, yaitu Amanda, Lisa, dan Morgan. Kefi, panggilan Kefiandira, merasa mengalami perundungan yang dilakukan oleh tiga sekawan tersebut. Ia melaporkan hal itu kepada Pak Joni, guru BK di sekolahnya. Tidak berhenti sampai di situ, Kefi ingin agar masalah ini dibawa kepada kepala sekolah.

Setelah bertemu Pak Beni, kepala sekolah, Kefi mendesak agar para pelaku perundungan terhadap dirinya, juga dihadirkan. Ia hanya mau berbicara bila ketiganya dipanggil dan mendengarkan ceritanya. Hingga akhirnya permintaan Kefi itu diluluskan. Lalu mulailah Kefi bercerita. Dengan tenang dan meyakinkan, Kefi menuturkan kronologis ihwal perundungan yang dialaminya.

Cerita Kefi tersebut lantas disangkal keras oleh Amanda, Lisa, dan Morgan. Ketiganya mengatakan bahwa cerita Kefi tidak benar. Kemudian masing-masing dari ketiganya pun diberi kesempatan oleh Pak Beni dan Pak Joni untuk mengungkapkan cerita versi dirinya.

Dari situlah konflik terbangun. Pembaca dihadapkan pada cerita dengan versi berbeda dari Kefi dan Amanda serta kedua sahabatnya. Cerita yang manakah yang benar? Siapakah yang melakukan kebohongan di antara kedua kubu itu? Apakah keempatnya sama-sama berbohong?

Konflik tersebut benar-benar mengikat pembaca untuk terus mengikuti cerita ini. Selalu ada bagian yang membuat penasaran dari beragam versi cerita yang dituturkan Kefi, Amanda, Lisa, dan Morgan. Kerumitan mengurai kasus ini membuat Pak Beni dan Pak Joni berusaha keras menganalisis dengan takaran yang seimbang. Sebagai kepala sekolah dan guru BK, keduanya tidak mau gegabah mengambil keputusan. Pak Joni yang seorang sarjana psikologi, menengarai bahwa ini adalah kasus kebohongan patologis atau mitomania.

Aroma psikologi memang terhidu keras sepanjang cerita. Lapis demi lapis kebohongan menggiring pembaca pada pemikiran tentang penyimpangan perilaku yang dialami tokoh cerita, yang mengerucut pada dua nama, yaitu Kefi dan Amanda.

Alur kemudian berjalan mundur. Kilas balik kehidupan Kefi dan Amanda, sejak masa kecil hingga beranjak remaja, perlahan mulai menguak lapis-lapis kebohongan yang menjadi misteri. Apa yang terjadi pada masa lalu merupakan musabab terjadinya keadaan hari ini.

Ari Keling seakan menuntun pembaca melalui paparan kejadian dari waktu ke waktu, dari peristiwa ke peristiwa, menuju pemahaman akan gangguan mental yang berwujud perilaku mitomania. Ini sebuah langkah cerdas penulis yang mengangkat tema berat menjadi sebuah cerita remaja yang mudah dicerna. Dengan bumbu kisah cinta ala anak SMA yang potensial menimbulkan baper, lengkap diwarnai gejolak cemburu, membuat novel ini tetap terlihat sebagai novel yang memang peruntukannya bagi remaja.

Yang menarik juga dari novel ini adalah latar tempat dan waktu pada bagian awal. Cerita bergulir di tempat yang sama dengan durasi waktu hitungan jam saja. Keempat siswa-siswi dan kedua gurunya hanya berada di ruang kepala sekolah sampai jam pulang sekolah. Bagian itu panjangnya hampir separuh isi novel. Dari 23 bab yang ada, bagian tersebut dikisahkan dari bab 1 hingga bab 17. Meski para tokoh hanya duduk dan berbicara dalam satu ruangan, tetapi cerita bergerak dalam adegan filmis. Tokoh-tokoh yang berbicara panjang lebar digambarkan dalam adegan kilas balik yang membawa penonton seolah melihat kejadiannya secara langsung.

Selain itu, sudut pandang yang digunakan pun merupakan poin yang menarik. Perpaduan PoV 1 dan PoV 3 tidak mengacaukan jalan cerita. Bahkan PoV 1 pun bergantian antara Kefi, Amanda, Lisa, dan Morgan. Namun semuanya terjalin dengan rapi, tanpa mengakibatkan ‘bingung tokoh’ bagi pembaca.

Lalu pesan apa yang tersirat dari novel ini? Setidaknya ada empat hal yang bisa digarisbawahi.

Pertama, tentu tentang mitomania. Pembaca diajak mengetahui lebih jauh mengenai jenis kebohongan patologis (mitomania) dan mengenali ciri-ciri serta faktor penyebabnya. Pengalaman Kefi yang kerap menyaksikan pertengkaran orang tuanya, dari cekcok mulut hingga kekerasan fisik, menimbulkan luka yang menganga di hati Kefi. Juga pengkhianatan ayahnya, ledakan emosi ibunya, yang berujung perceraian, meninggalkan trauma mendalam. Begitu pun Amanda. Sikap over protektif ayahnya dan dahaga Amanda akan kasih sayang seorang ibu, membuat Amanda tumbuh menjadi anak yang rapuh dan manja. Namun, tampak luarnya, Amanda adalah seorang anak tomboi yang terlihat jagoan. Maka dengan memahami akar sebuah masalah, kita dapat terhindar dari sikap menghakimi.

Kedua, tentang pola asuh. Betapa orang tua sangat perlu memahami pola asuh atau parenting. Ketika kondisi perceraian tidak bisa dihindari, maka risiko menjadi seorang ibu tunggal harus dilakoni dengan segala konsekuensinya. Dalam kondisi timpang karena kehilangan pendamping, seorang ibu tunggal harus lebih mampu mengelola dan mengendalikan emosi. Karena tidak bisa dipungkiri, beban sebagai ibu tunggal berkali lipat beratnya. Kekesalan, kesedihan, amarah, jangan sampai mengakumulasi yang menyebabkan anak menjadi sasaran pelampiasan. Seperti yang dialami Kefi. Pula yang menimpa Amanda, meski dalam konteks berbeda. Amanda hidup bersama ayah tunggal setelah ibunya wafat saat melahirkannya. Gaya perlindungan yang diberikan ayahnya, justru membuat Amanda tidak mandiri karena selalu dibantu.

Ketiga, tentang penerimaan. Bahwa kondisi yang tidak sejalan dengan harapan, adakalanya mewarnai hidup. Pada saat itu, tidak ada cara, selain kita harus memiliki sikap penerimaan yang baik. Menerima kenyataan lalu menjalani dengan ikhlas adalah hal yang harus dilakukan. Tiada guna menyesali yang telah berlalu.

Keempat, pentingnya cek dan ricek. Informasi apa pun yang diterima, akan lebih clear bila dilakukan cek dan ricek. Sehingga langkah yang diambil tidak keliru dan tepat sasaran. Pak Beni melakukan ini dengan baik, sehingga penanganan untuk Kefi dapat diupayakan menempuh jalan yang solutif.

Tak ada gading yang tak retak, begitu pun novel ini. Diawali dengan pemilihan judul. Novel ini memang berbicara tentang mitomania. Namun, menjadikannya sebagai judul yang ditambah dengan frasa ‘Sudut Pandang’ tampak kurang eye catching. Mungkin frasa semacam “Labirin Kebohongan” bisa menjadi pilihan.

Pada bagian prolog, kisah yang disajikan lebih terasa sebagai bagian awal dari bab 1. Bukan serupa prolog yang menjadi pengantar cerita, atau cuplikan bagian yang melatari sekujur cerita.

Selanjutnya, ada sedikit yang mengganjal ketika Pak Joni sebagai guru BK tidak tahu bahwa Kefi adalah murid baru. Padahal setiap siswa mutasi, pasti sepengetahuan guru BK. Sebagai sekolah swasta yang bagus, penempatan guru BK tentu sudah sesuai dengan Permendikbud RI Nomor 111 Tahun 2014 Tentang Guru Bimbingan dan Konseling pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah, yaitu rasio 1 : 150. Bukan hal sulit bagi seorang guru untuk mengenali siswa dalam jumlah 150 orang. SMA Jaya Nusantara dapat diasumsikan sekolah swasta bagus terlihat dari hadiah lomba antarkelas yang rutin diadakan. Bagi juara dua saja nilainya tiga juta rupiah. Sungguh bukan jumlah yang sedikit. “Ma, aku jadi juara dua lomba cerpen,” kata Kefi sambil menaruh piala dan uang tunai 3 juta dalam amplop ke meja. (halaman 206)

Kemudian mengenai informasi seputar mitomania. Ini informasi yang sangat berharga dan menambah wawasan pembaca. Sayangnya, penyampaian yang diutarakan dalam bentuk analisis yang dilakukan Pak Joni dan Pak Beni, adakalanya terasa bertele-tele dan berpanjang kata. Padahal maksudnya sudah dapat ditangkap, tetapi kadang-kadang dijelaskan berputar-putar.

Dalam beberapa bagian, terasa pula penulis bercerita panjang lebar dengan model ‘tell’. Walaupun tidak memengaruhi isi cerita, tentu akan lebih menyenangkan pembaca bila porsi ‘show’ juga lebih banyak.

Selain itu, ada hal yang mungkin kurang penting, tetapi ada baiknya dicermati juga. Tentang gambar yang menjadi pembatas bab atau bagian cerita. Pemilihan gambar daun terasa kurang sesuai dengan tema. Sepertinya akan lebih pas menggunakan gambar topeng, sesuai yang ada pada cover, yang melambangkan kebohongan yang dilakukan tokoh utama.

Terakhir tentang beberapa penulisan dan kata baku/tidak baku yang tidak sesuai PUEBI :

-          tindak tanduk (halaman 9, paragraf 5) seharusnya tindak-tanduk, karena penulisan kata ulang harus menggunakan tanda hubung;

-          tapi (halaman 175, paragraf 7 dan pada beberapa halaman lainnya) seharusnya tetapi, karena ‘tapi’ adalah bentuk tidak baku dari ‘tetapi’;

-          di waktu-waktu tertentu ( halaman 176, paragraf 3 dan pada beberapa halaman lainnya) seharusnya pada waktu-waktu tertentu, karena penggunaan ‘di’ tidak diletakkan sebelum kata yang berhubungan waktu;

-          ke meja (halaman 206, paragraf 4) seharusnya ke atas meja, karena ‘ke’ digunakan untuk menunjuk tempat bukan benda;

-          Tapi -pada awal kalimat- (halaman 251, paragraf 1) seharusnya Namun, karena ‘tetapi’ diletakkan pada tengah kalimat, sedangkan pada awal kalimat digunakan ‘namun’.

Sebuah hal wajar bila terdapat sedikit kelemahan pada sebuah novel. Mitomania tetap layak diacungi jempol, dan cocok direkomendasikan bagi remaja dan dewasa. Tidak heran novel ini didapuk sebagai novel favorit dalam Lomba Menulis Indiva 2020 kategori novel remaja. Selain membuka wawasan mengenai pengetahuan umum tentang psikologi, juga memuat pesan-pesan kebaikan yang dekat dengan keseharian kita, yang memberi inspirasi dan motivasi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Perjuangan Seorang Penyintas Disleksia

 


Judul : Membeli Ibu
Penulis   : Riawani Elyta
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Cetakan : 2021
Tebal     : 238 Halaman
ISBN     : 978-623-253-033-1

Harga : 60.000

Disleksia merupakan gangguan pada otak yang mengakibatkan penderitanya mengalami kesulitan dalam merangkai huruf, angka, kata, juga arah. Hal tersebut berimbas pada kemampuan membaca dan menulis. Para penyintas disleksia membutuhkan lebih banyak waktu untuk merangkai huruf dan kata, juga angka. Maka, tanpa ampun masyarakat kerap memberi label ‘bodoh’ karena dianggap tidak bisa membaca dan menulis.

Di Indonesia, ternyata ditemui cukup banyak kasus disleksia. Seperti dilansir pada web Yayasan Peduli Kasih ABK, bahwa sekitar 10% dari jumlah penduduk Indonesia adalah difabel disleksia (Jawa Pos, 2016). Sedangkan di dunia, gangguan ini ditemukan pada tahun 1896. Meski demikian, masih banyak kalangan yang belum mengetahui tentang disleksia ini. Maka melalui media fiksi, baik itu film maupun novel, tokoh penyintas disleksia acap menjadi tokoh utama, sehingga masyarakat dapat lebih memahami apa itu disleksia. Seperti yang terkenal yaitu film Bollywood berjudul “Taara Jamen Par” yang mengangkat kisah seorang anak penderita disleksia.

Dalam novel “Membeli Ibu” karya Riawani Elyta, tokoh utama yang memiliki gangguan disleksia, mendapat porsi besar dalam keseluruhan cerita. Uniknya, sang tokoh berasal dari keluarga tidak mampu. Hal ini tentu memberi sentuhan konflik yang lebih rumit. Karena bila anak penderita disleksia berasal dari keluarga berada, tentu mudah saja menjalani terapi demi mengatasi kesulitannya dalam belajar. Sementara Athifa, tokoh penyintas disleksia ini, alih-alih mendapat terapi, sekadar dipahami kesulitannya pun tidak. Karena bisa dimaklumi, golongan masyarakat bawah tentu tidak tahu menahu mengenai gangguan disleksia. Yang dilihatnya, hanyalah si anak yang bodoh, tidak bisa membaca dan menulis.

Demikian yang dialami Athifa. Ia harus mengalami tinggal kelas dua kali. Menginjak usianya pada angka 14, ia masih berseragam putih merah. Ia memendam masalahnya sendiri dalam kerinduan yang pekat terhadap ibunya.

Sejak kecil Athifa ditinggal ibunya yang pergi ke negeri seberang mengadu nasib sebagai TKW. Athifa lalu tinggal bersama ayahnya, yang kemudian meninggalkannya pula, dengan alasan mencari kerja ke kota. Selanjutnya Athifa hidup bersama Bibik Esih, adik tiri ayahnya, dan kedua anak Bibik Esih yang masih kecil-kecil.

Lama kelamaan Bibik Esih tidak sanggup menanggung hidup Athifa. Bibik Esih harus berjuang mencari nafkah sendiri karena suaminya telah wafat. Akhirnya, Bibik Esih menyerahkan Athifa ke sebuah panti asuhan.

Tinggal di panti asuhan, membuat hidup Athifa semakin rumit. Ketidakmampuan bersosialisasi dan terutama gangguan disleksia yang dialaminya, membuat Athifa menarik diri. Tak seorang pun memahami apa yang dialami dan dirasakannya.

Pada suatu hari, tersebab kesulitannya mengingat arah, Athifa tersesat. Maksud hati pulang menuju panti asuhan, namun kakinya malah melangkah menjauh. Kondisi itu membawanya pada perkenalan dengan seorang pemilik dan pengelola taman bacaan, bernama Fairuz, yang akrab disapa Fai.

Fai yang memiliki ketertarikan kuat pada hal-hal yang berbau psikologi, mengendus sesuatu yang lain pada diri Athifa. Hubungan Fai dan Athifa terus berlanjut hingga menggiring pada peristiwa-peristiwa serius, yang bahkan melibatkan polisi hingga hubungan diplomatik Indonesia dengan negara lain.

Kepiawaian Riawani Elyta dalam meracik cerita memang sudah tak diragukan lagi. Maka tak heran bila novelnya ini menyabet predikat juara pertama dalam Lomba Menulis Indiva. Secara keseluruhan unsur intrinsik pembangun novel, memiliki kualitas di atas rata-rata. Bahkan sejak pemilihan judul. “Membeli Ibu” merupakan frasa yang tak biasa. Judul ini memiliki daya tarik yang menyedot rasa penasaran pembaca. Sebuah poin yang patut diacungi jempol.

Dalam hal cover pun, novel ini sudah berbicara. Tampak Athifa, gadis cilik beranjak remaja, memegang celengan ayam sebagai lambang kerinduan dan kegigihan untuk dapat bertemu dengan ibunya. Di sekitarnya beberapa pucuk surat melayang menandakan harapannya yang tiada pupus. Lalu, di sampingnya berdiri Fairuz, gadis belia yang baru menapak di dunia kampus, namun tidak berkesempatan menimba ilmu yang didambanya sejak lama. Wajahnya diilustrasikan dengan raut sendu, menandakan kepedihannya, yang juga berhubungan dengan sosok ibu. Fai dilanda pilu yang teramat sangat, mendapati dirinya tak akan mampu menjadi seorang ibu. Penggambaran ekspresi berbeda dari kedua tokoh ini tentu mengundang rasa ingin tahu pembaca.

Selanjutnya, alur. Novel ini menggunakan alur maju yang sangat mudah dipahami. Sebuah pilihan yang tepat, mengingat peruntukan novel ini bagi remaja. Tidak perlu mengernyit untuk mengikuti jalan ceritanya. Kalaupun ada sedikit kilasan masa lalu, itu hanya bagian dari adegan, bukan merupakan kilas balik kehidupan tokoh. Semisal ketika Athifa mengenang guru agamanya, mengingat warung Bude Nur, dan membayangkan surat-surat ibunya.

Sekarang tentang penokohan dan karakter. Ada dua tokoh utama dalam novel ini. Riawani mempertemukan keduanya dalam sebuah kebetulan yang smooth dan logis. Bukan kebetulan yang tiba-tiba, dipaksakan, dan unlogic. Deskripsi fisik dan karakter disampaikan dengan beragam cara. Melalui dialog tokoh lain, penggambaran adegan, juga melalui tuturan si tokoh sendiri. Sehingga tidak melulu tell, namun pembaca pun ‘melihat’ show. Semisal tentang Athifa yang sangat mengistimewakan ibunya, Saputangan itu, mungkin tidak ada artinya buat orang lain. Tidak juga bagi penghuni panti. Tetapi bagiku, sangatlah berarti. Saputangan itu, satu-satunya hadiah yang pernah dibuatkan Ibu untukku. (hal. 70). Sedangkan sikap tulus Fairuz diperlihatkan melalui tuturan Athifah. Dia menatapku tenang, tampak tidak terganggu dengan kehadiranku yang tiba-tiba. Berbeda dengan gadis sebelumnya yang tampak sangat terkejut saat melihatku. (hal.51).  

Tokoh Athifa sebagai anak yang ditimpa beberapa kemalangan, tidak lantas diperlihatkan berkarakter super. Ada masa ketika ia kuat dan berusaha berdamai dengan keadaan, namun di lain waktu ia bisa juga tak mampu mengontrol emosi sehingga memercik konflik yang berujung pada sebuah pertengkaran hebat. Begitu pun tokoh Fairuz, bukan serupa gadis yang sepenuhnya bermental baja. Namun ada kalanya terpuruk oleh rasa pilu akibat kondisi yang dialami pasca operasi miom yang mengharuskan rahimnya diangkat. Meski secara umum, kedua tokoh ini mewakili prototype gadis-gadis tangguh, tetapi sisi-sisi manusiawi tetap dimunculkan. Demikian pula tokoh-tokoh pendukung di sekitar tokoh utama, mendapat porsi yang pas, tanpa kesan berlebihan.

Berikutnya, latar. Lokalitas Melayu melalui latar tempat di Tanjung Pinang berhasil diangkat dengan  baik. Dialog yang menampilkan kata-kata khas Melayu memberikan kekuatan tersendiri bagi novel ini.

Terakhir, yang sangat menonjol dari novel ini adalah pesan-pesan kebaikan dan hikmah yang bertabur di sekujur cerita. Semua tersampaikan dengan halus, tidak menggurui, dan melarut dalam cerita. Riawani tanpa ragu menyelipkan petikan ayat-ayat suci Al-Quran yang sama sekali tidak terasa sebagai tempelan yang dipaksakan.

Yang tertangkap sebagai highlight dari novel ini, pertama adalah tentang disleksia. Pembaca diajak menyelami bagaimana kondisi yang dialami penyintas disleksia dan apa yang dirasakannya. Disampaikan pula, cara belajar efektif yang mampu mendongkrak semangat belajar yang berbuah prestasi. Kedua, pentingnya literasi. Ilustrasi tentang sebuah taman bacaan yang berupaya membangkitkan minat baca masyarakat, lengkap dengan langkah-langkah dan metode yang dilakukan, membukakan wawasan pembaca. Terlihat pula, betapa literasi mampu membuat seorang anak putus sekolah menjadi berdaya. Diwakili oleh tokoh Jamila yang berhasil merintis usaha kuliner dari interaksinya dengan buku. Ketiga, nilai-nilai religi. Poin ini kental terasa dalam beberapa bagian cerita. Pentingnya mengaji dan sedekah, batasan pergaulan laki-laki dan wanita, kekuatan doa, peduli sesama, adalah contoh nilai-nilai yang disiratkan jelas dalam novel ini. Keempat, ketangguhan dan kesabaran. Kedua hal tersebut menjadi napas cerita yang berembus sepanjang novel ini. Melalui kegigihan Athifa ‘menaklukkan’ disleksianya serta kesabarannya menabung rindu kepada ibu. Pun melalui perjuangan Fairuz dalam keterbatasannya pasca operasi miom yang dilaluinya. Kelima, realita kondisi TKW di luar negeri. Riawani menyisipkan bagian ini dengan rapi. Pembaca dibuat tergugah akan nasib TKW yang kerap mendapat perlakuan tidak adil. Hubungan antarnegara sangat membutuhkan kepiawaian berdiplomasi. Kasus-kasus ketidakadilan itu memerlukan kerjasama berbagai pihak agar didapat hasil sesuai harapan.

Di samping deretan keunggulan yang dimiliki novel ini, ada pula beberapa kelemahannya. Tentang sudut pandang yang menggunakan PoV1 tentu dimaksudkan agar pembaca dapat lebih merasakan gejolak emosi dan gerak pikiran tokoh. Dalam novel ini, sudut pandang berpindah teratur sebagai pergantian bab, antara Athifa dan Fairuz. Sayangnya perpindahan ini kadang tidak terasa, karena hampir sama saja antara Athifa dan Fairuz. Mungkin bila dibedakan Fairuz menggunakan ‘aku’ dan Athifa menggunakan ‘saya’, pembaca bisa lebih ngeh apakah ini Athifa atau Fairuz yang sedang berbicara.

Ada pula bagian cerita yang rasanya tidak demikian terjadi dalam kenyataannya. Pada prolog digambarkan seorang satpam di sebuah bank. Agak aneh ketika satpam mengetahui bahwa Athifa akan membuka rekening tanpa menyampaikan bahwa anak di bawah umur tidak bisa membuka rekening sendiri tanpa didampingi orang tuanya. Sehingga adegan Athifa duduk mengantre lalu baru mendapat informasi dari CS, agak kurang pas.

Demikian pula bagian Bibik Esih yang merantau ke Tanjung Pinang. Orang Sukabumi, khususnya perempuan, tidak lazim berkeinginan merantau ke tempat yang jauh, yang di sana tidak ada seorang pun sanak kerabat. Terlebih lagi Bibik Esih sudah tak bersuami pula. Alasan karena Tanjung Pinang merupakan tempat bertolaknya ibu Athifa, terasa kurang kuat.

Sedangkan masalah typo, hanya ada pada halaman 215 dan 216. Nama Jamila tertulis Jamina. Ditemukan juga penempatan kata yang tidak sesuai dengan PUEBI, yaitu kata depan ‘di’. Pada halaman 202 paragraf ketiga, tertulis ‘di sore hari’ seharusnya ‘pada sore hari’. Karena penggunaan ‘di’ tidak diperuntukkan untuk diletakkan sebelum kata yang menunjukkan waktu. Kata depan ‘di’ hanya digunakan sebelum kata yang berhubungan dengan tempat.

Terlepas dari sedikit kelemahannya, novel ini sungguh layak menjadi juara. Dengan sederet keunggulannya, novel ini cocok direkomendasikan tidak hanya bagi remaja, tetapi juga kalangan dewasa. Meski bukan tema ringan, tetapi dikemas dalam cerita yang meremaja dengan sarat pesan moral tanpa kesan menggurui, sehingga merupakan novel yang memberi inspirasi dan motivasi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS