Powered by Blogger.
RSS

Menjelajah Rasa Musim demi Musim

Judul : Till This Season Ends

Penulis   : Shabrina Ws, dkk

Penerbit : Tinta Merah Indonesia (bekerja sama dengan Yutaka Pika-Pika) 

Cetakan : Oktober 2020
Tebal     : 169 Halaman
ISBN     : 9786239442446

Datangnya musim bisa memiliki arti khusus bagi siapa pun. Mungkin ia menandai sebuah peristiwa manis yang menerbitkan senyum, atau boleh jadi hal pahit yang ingin dipendam dalam-dalam. Bagi kita di Indonesia yang hanya mendapat 2 musim, mungkin makna spesialnya tidak se-kaya mereka di luar sana yang kedatangan 4 musim. Maka, para penulis buku ini, menuturkan kisah-kisah dari berbagai belahan dunia dalam musim-musim yang berbeda.

Ada 27 cerita pendek dalam buku ini dengan aneka tema. Tadinya saya kira, ada satu tema besar yang melatari semua kisah dalam kumpulan cerpen ini. Tapi ternyata tidak. Bukan hanya kisah cinta antara dua insan yang manis romantis atau koyaknya hati akibat kasih tak sampai, di dalamnya ada pula kisah-kisah tentang keluarga. Bahkan cerita horor pun ada. Juga cerita yang berbalut fantasi.

Buku dibuka dengan Musim Gugur. Ada 7 cerita berlatar musim yang merontokkan dedaunan ini. Diawali kisah yang ditulis oleh Nishaaj S.N. Sepertinya ini penulis misterius, karena kalau kau googling namanya, tak akan ada kau temukan jati dirinya di jagat medsos. Tapi dari tenunan katanya, nampak ia penulis berkelas. Ia juga yang menulis Kata Pengantar di buku ini. Tentu ia bukan penulis sembarangan. Cerpen yang ditulisnya berjudul “Lelaki Itu Menyimpan Bara di Tangannya”. Sebuah kisah asmara yang tersimpan rapat, ditulis dengan halus dan cukup menyedot emosi. Lalu diakhiri dengan ending yang menyentak.

Kisah berlatar musim gugur ini cukup beragam. Ada kisah lembut namun bertenaga, yang ditulis oleh Wiwik Waluyo. Lalu cerita menyentuh tentang keluarga, hasil racikan kata Dian Onasis. Tak ketinggalan cerita beraroma psikopat yang lumayan menegangkan karya Fitya Nafiatul Ummah. Dan, cerita-cerita lainnya.

Sekarang kita menuju misim yang nampak menjadi favorit. Musim Dingin. Ada 13 cerita untuk Winter. Favorit saya adalah cerpen berjudul “Gaan Slapen, Joseph”. Penulisnya memang tak diragukan lagi kepiawaiannya dalam menenun kata, menata alur, hingga meracik konflik, menjadi sebuah cerita yang kesannya menancap di hati. Adya Tuti, namanya. Ia menuliskan tentang kasih sayang antara Ibu dan anak yang terpisah jarak. It’s very touching.

Cerita lainnya berlatar salju ini, lagi-lagi beraneka. Selain beraroma romansa, ada juga yang menampilkan dunia lain dengan makhluk tak kasat mata. Lalu ada juga yang bernuansa misteri kriminal. Tak ketinggalan yang terkait dengan konflik psikologis. Selain cerita yang hangat juga, tentunya.

Selanjutnya kita menuju Musim Semi. Anehnya, musim yang indah yang ditandai dengan bunga-bunga bermekaran, ternyata hanya menampilkan 3 cerita. Terfavorit pastinya jatuh pada cerpen berjudul “Cara untuk Pergi” yang ditulis Shabrina Ws. Tetap dengan ciri khasnya yang selalu menyuguhkan cerita lembut dengan diksi manis nan bening.

Musim terakhir yaitu Musim Panas. Ada 4 cerpen berlatar summer, yang dibuka oleh cerpen karya penulis yang namanya tak asing lagi, Yoana Dianika. Cerpennya unik, menggabungkan fantasi dan real. Mengunyah cerpen ini seperti merasai cerpen koran. Hal biasa yang dituturkan luar biasa. Cerpen lainnya pun tersaji menarik. Bukan sebagaimana cerpen kebanyakan.

Pada akhirnya, setelah mengkhatamkan kumcer ini, saya tersenyum. Ini di luar kebiasaan saya, membaca kumcer hingga tamat seluruhnya. Rasa penasaranlah yang menggiring saya untuk menuntaskan seluruh cerita. Karena ada cerita-cerita yang keterlaluan kerennya, yang membuat saya ingin membaca cerpen lainnya. Namun ternyata, cerpen yang sangat biasa pun ada. Bahkan ada yang saya sempat bergumam, “Ini begini doang?” hehe.. maafkan kalau saya sedikit kurang ajar.

Di ujung review ini, saya nggak ragu buat merekomendasikan kumcer “Till This Season Ends” untuk dimiliki dan dinikmati. Bisa untuk belajar juga, gimana menguatkan karakter tokoh, gimana mengolah konflik supaya nggak bikin sebel pembaca, dan gimana bikin ending yang bikin pembaca melongo.. 😊



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ketika Seni Dicinta Tanpa Kasta

 


Judul : Kemolekan Landak
Penulis   : Muriel Barbery

Penerjemah : Jean Couteau dan Laddy Lesmana

Penyelia naskah bahasa Indonesia : Mirna Yulistianti
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : 2017
Tebal     : 364 Halaman
ISBN     : 978-602-03-3827-9

Seni bukan hanya milik orang-orang tertentu. Namun banyak diyakini, seni selayaknya cuma dikonsumsi oleh orang-orang kelas atas. Kaum proletar, kasta rendahan, golongan miskin, semacam disangsikan dapat menikmati sebuah karya seni. Karena keadiluhungan seni dianggap tak akan mampu dicerna oleh mereka.

Seperti seorang penjaga gedung bernama Renee, yang menjadi tokoh utama dalam novel karya Muriel Barbery. Novel yang bertajuk frasa unik, “Kemolekan Landak”. Di sini Renee berusaha memerankan dirinya sebagai penjaga gedung kebanyakan. Stereotype umum berwajah jutek, gemar menonton TV sebagai cerminan kemalasan, jauh dari pintar apalagi cerdas, memelihara kucing gemuk, dan hal remeh temeh lainnya.

Bungkus luar Renee sangat berbeda dengan senyatanya. Renee berpura-pura menyalakan TV dengan mengeraskan suaranya, padahal di sudut lain ia tengah menikmati film bercita rasa tinggi atau buku-buku berat bertema filsafat. Renee juga sangat menyukai sastra. Ia penggemar berat Leo Tolstoy.

Sejak usia 27, Renee menjadi penjaga gedung di Jalan Grenelle no.7, sebuah bangunan pribadi nan megah dengan halaman dan taman di dalamnya, terbagi menjadi delapan apartemen sangat mewah, semuanya dihuni, semuanya besar. (halaman 3) Bagi para penghuni apartemen, ia jujur, dapat diandalkan, dan tentu saja, tampak kurang berpendidikan (sesuai citra yang selalu ditampilkan Renee).

Beragam karakter muncul di antara para penghuni gedung, namun satu yang pasti, mereka berada dalam golongan elite, kaum borjuis yang selalu tampil elegan di depan umum. Mereka pelik dalam urusannya masing-masing.

Yang menarik adalah seorang gadis kecil berusia 12 tahun, bernama Paloma Josse. Ia seorang jenius, menguasai ilmu pengetahuan melampaui usianya. Baik budaya, sastra, dan filsafat. Ia merencanakan bunuh diri saat berusia 13 tahun, demi menghindar dari masa depan borjuisnya yang sudah bisa dipastikanya. Ia juga akan membakar apartemennya agar keluarganya mengalami sedikit kesusahan.

Pada satu kesempatan, Renee dan Paloma bertemu lalu terjadi hal-hal yang tak terduga. Ditambah dengan kehadiran penghuni baru yang cukup menarik perhatian seisi gedung, yaitu Kakuro Ozu, pria Jepang yang bercita rasa tinggi. Ketiganya kemudian menjadi semacam sahabat yang sehati dan sejiwa.

Novel ini banyak mengangkat teori-teori filsafat. Juga hal-hal yang berkaitan dengan dunia seni, sastra, dan budaya. Melalui interaksi para tokoh dalam cerita ini, Muriel Barbery tampak ingin mempertontonkan beragam sisi kehidupan yang lestari dalam kebobrokannya di masyarakat. Kaum elite yang selalu merasa lebih unggul, padahal kenyataan hidupnya menunjukkan banyak kelemahan.

Paloma sebagai anak kecil, mewakili kelompok yang tidak dianggap. Ia merasakan kesoktahuan orang dewasa di sekitarnya. Orangtua, kakak, dan gurunya. Para orang dewasa kerap merasa sebagai si paling benar padahal dengan kemampuannya yang di atas rata-rata, Paloma mapu menunjukkan kesalahan tersebut. Namun karena dia dianggap anak kecil yang tidak tahu apa-apa, maka orang dewasa tetap menjadi pemenangnya.

Lalu Renee, dengan statusnya sebagai orang bawahan, sangat disangsikan intelegensinya. Dan ia menyembunyikan kecerdasannya karena enggan menerima tatapan penuh kernyit tak percaya dari orang-orang yang menahbiskan dirinya sebagai kaum terpandang. Padahal pengetahuan Renee sangat mumpuni di bidang seni dan filsafat. Buku-buku yang dilahapnya bahkan mungkin tak pernah terjamah oleh kaum yang mengaku terpelajar di dalam gedung yang dijaganya.

Sosok Kakuro Ozu hadir sebagai pria sopan penuh tata krama yang sangat menghargai seseorang bukan dari tampilan luar semata. Dengan kepekaannya, Kakuro mampu menebak bahwa Renee bukan penjaga gedung biasa. Secara berseloroh Kakuro mengira bahwa Renee adalah seorang putri yang sedang menyamar.

Hingga kemudian Kakuro berhasil menerabas sekat yang selalu dipasang Renee untuk memagari diri. Mereka berdua bertemu, berbincang, bertukar pikiran selayaknya dua kawan baik. Dengan Paloma di antara keduanya, mereka serasi bersahabat.

Novel ini bertabur kalimat-kalimat filosofis yang tidak ringan. Namun bukan berarti ini bacaan berat yang sulit dinikmati. Sisi humanis tetap menyertai, seperti manisnya persahabatan Renee dengan Manuela, seorang pembantu berkebangsaan Portugis.

Novel dengan judul asli L'Elegance du herisson dan diterjemahkan oleh Alison Anderson ke dalam bahasa Inggris dengan judul The Elegance of The Hedgehog menjadi best seller 30 minggu berturut-turut dan dicetak ulang sebanyak 50 kali. Tidak hanya di negeri asalnya, Perancis, buku tersebut juga menjadi best seller di Italia, Jerman, Spanyol, dan Korea Selatan.

Misteri judul unik “Kemolekan Landak” terungkap di pertengahan cerita. Siapakah si Landak? Mengapa disimbolkan dengan landak? Termasuk mengapa digunakan pilihan kata “molek”. Ini sungguh mengesankan.

Di ujung cerita, pembaca mendapat kejutan. Apakah ini tergolong kejutan menyenangkan, melegakan, menyedihkan, atau menyakitkan, sangat berkaitan dengan rasa, kadar emosi, juga selera. Satu yang pasti, hingga cerita ditutup, pembaca mendapat banyak bekalan hidup dari muatan filsafat, seni, budaya, sastra, juga cara hidup dan cara pandang para tokoh. Sungguh sebuah novel yang komplet. Menghibur serta mencerahkan.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS