Powered by Blogger.
RSS

Go, Keo! No, Noaki! -2- Belut Penentuan



Judul                           :  Go, Keo! No, Noaki! 2 : Belut Penentuan
Penulis                         :  Ary Nilandari
Penerbit                       :  Kiddo (Gramedia Grup)
Tebal Buku                  :  x + 150 halaman
Cetakan                       : Pertama, Maret 2015
ISBN                           :  978-979-91-0832-6

Masih terngiang kalimat terakhir Keo di Buku 1. Selamat tinggal, Noaki! Duh, bikin nyesek deh.. Dan, tentu saja bikin penasaran. Apakah Keo jadi pindah ke Jakarta atau nggak?

Ketika membuka halaman pertama buku kedua, oh ternyata PoV berubah. Sekarang Noaki yang bercerita. Keren nih, jadi nggak monoton. Kita jadi tahu lebih jauh gimana pikiran dan perasaan Noaki.

Cerita diawali dengan kacaunya pikiran dan perasaan Noaki. Yup! karena Keo yang berpamitan kepadanya. Marah, sedih, kesal, jengkel, yang mengumpul membentuk rasa sebal bergumpal-gumpal. Lalu datang Ajeng. Ia curhat soal rahasia rencana untuk Wamena-Timika yang terbongkar. Ternyata Ajeng-lah yang membocorkannya. Meski nggak persis begitu. Jadi, Ajeng cerita ke ibunya, lalu tanpa sepengetahuan Ajeng, ibunya menceritakan juga kepada Mama si kembar. Noaki geram mendengarnya. Setelah itu, Noaki jadi teringat Seb dengan teorinya tentang kemiripan wajah. Huuh.. bikin Noaki tambah puyeng!

Keesokan harinya, Noaki cs membincangkan soal kepergian Keo. Mereka mengajak Noaki untuk menemui Keo sebelum keberangkatannya ke Jakarta. Noaki merasa enggan. Namun akhirnya..
"Aku enggak yakin Keo akan berubah pikiran walaupun kita berbondong-bondong ke rumahnya. Tapi tak ada salahnya mencoba. Paling tidak, kita semua bisa mengucapkan selamat jalan. Jadi, oke, kita akan bersama-sama minta izin menengok Keo istirahat pertama nanti," kata Noaki, disambut sorakan teman-teman. (halaman 19)

Saya nggak mau cerita lagi selanjutnya gimana. Karena nanti jadinya nggak seru kalau kalian baca buku itu. Yang pasti, ceritanya makin asyik, tambah manis, dan bikin nagih.

Kalau Keo menceritakan kejadian sehari-harinya dalam diary dengan model mind mapping, maka Noaki lain lagi. Ia punya buku sketsa tempat menumpahkan perasaannya. 

Sebuah gambar akan terbentuk. Pada mulanya hanya berupa garis, lengkung, atau bentuk geometris lainnya. Lalu saat segenap perasaan tercurah, barulah tampak gambarnya akan menjadi apa. Seperti saat Noaki kesal karena pamitnya Keo. Ia menggambar pangeran yang sombong dan manja.

Gank Noaki yang beranggotakan anak-anak kelas 4, 5, 6 ini benar-benar mewakili anak-anak sekarang. Masalah yang muncul di antara mereka memang terjadi pada anak-anak masa itu. Salah paham, pamer kekuatan, takut kehilangan teman, dan.. naksir-naksiran. Untuk yang disebut terakhir itu, saya tekankan ya, ini bukan model romance remaja atau dewasa, lho. Tapi ini memang perasaan yang muncul pada anak-anak usia SD kelas atas. Mereka sendiri kadang bingung memaknainya. Ada semacam penolakan karena mereka sadar usianya masih belum cukup untuk cinta-cintaan. Tapi ternyata nggak gampang menyingkirkan rasa itu. Nah, buat pembaca dewasa atau yang udah jadi emak macam saya, ini bisa menjadi semacam warning. Kita harus dekati anak. Jangan sampe deh, pada saat itu justru anak lebih dekat ke temannya daripada ke orangtuanya. Karena teman sebaya, sama-sama nggak tahu juga, kan? Maka kitalah yang harus melakukan pendampingan terhadap anak-anak.

Back to cerita Keo-Noaki. Buku kesatu dan buku kedua frekuensinya masih sama. Nggak njomplang. Masih tetep seru, asyik, bikin penasaran, dan belum bisa melepaskan buku ini sebelum mengkhatamkannya. Selain masalah antar teman se-gank, ada juga peristiwa seru di sekolah, masalah dalam keluarga, dan tetap ada adu tantangan yang mendebarkan.

Seperti biasa, bagian akhir bab selalu menyisakan tanya yang bikin penasaran untuk mengetahui kelanjutannya. Dan ujung dari bab terakhir buku kedua, betul-betul nagih. Saya pingin segera beli buku ketiga.. hwaaaa.. !

Oh ya, meski secara keseluruhan buku ini sangat keren, tapi saya selalu punya bagian favorit. Nah, di buku kedua, bagian favorit saya diwakili oleh ilustrasi di bawah ini. Bisa nebak nggak, ini siapa dan siapa? Trus, apa yang terjadi di antar keduanya? Dialognya gimana hayo..? ;)

Sebagai penutup review buku kedua ini, saya mau bilang, Ary Nilandari memang penulis jempolan. Pinter menggiring pembaca untuk menyelami tokoh-tokoh dalam ceritanya dengan baik, dan merasai konflik serta gejolak emosi yang terjadi. Nggak percaya? Beli bukunya, baca, dan buktikan deh.. :)


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Ketika Hidup Keo Terasa Jungkir Balik




Judul                           :  Go, Keo! No, Noaki! 1 : Dobel Kacau
Penulis                         :  Ary Nilandari
Penerbit                       :  Kiddo (Gramedia Grup)
Tebal Buku                  :  xii + 140 halaman
Cetakan                       : Pertama, Maret 2015
ISBN                           :  978-91-0831-9

Dulu jaman aku kecil, suka banget sama serial Lima Sekawan. Petualangan keempat anak yang beranjak remaja serta seekor anjing yang pintar, selalu menimbulkan sensasi yang seru. Berasa ikut dalam petualangannya, merasakan seru dan tegangnya.

Nah, sekarang setelah aku jadi emak, aku nemu lagi nih, novel serial anak yang seru dan asyik. Malah lebih keren. Konflik yang dibangun, adalah konflik keseharian yang sangat dekat dengan dunia anak. Berasa nyata dan lebih membumi.

Tokoh sentralnya bernama Keo. Dia anak orang kaya. Ibunya single mom yang sibuk, sering tidak ada di rumah. Keo acap merasa sedih karena jarang bisa berdekat-dekat dengan ibunya. Tapi Keo tahu, ibunya sayang banget dan sangat memerhatikannya. Tapi yah, namanya juga anak ya, tetep aja kepingin bisa sering ketemu dan bermanja-manja sama ibunya.

Cerita diawali dengan kepindahan Keo dari Jakarta ke Bandung. Di halaman awal, ada catatan diary Keo. Pake mind mapping, keren binggo! Di situ dijelasin kenapa Keo pindah, dan ada semacam perjanjian antara Keo sama Mami, untuk ujicoba selama satu bulan aja. Kalau betah di Bandung, berarti lanjut tinggal di Bandung. Sebaliknya, kalau Bandung ternyata nggak asyik, Keo balik lagi aja ke Jakarta.

Konflik udah mulai mencuat di awal. Bik Sarti, pembantu Keo, mendapati anak perempuan yang mirip banget wajahnya dengan Keo. Bener-bener mirip kembar! Keo bergegas menyelidiki lalu menemui anak itu.

Anak perempuan yang seperti kembaran Keo itu sedang main bersama teman-temannya di dekat danau yang berada di lingkungan sekolah SD Generasi Merdeka. Keo menghampiri, mengajak berkenalan. Ternyata nggak semudah yang dibayangkan. Noaki, cewek yang kayak kembaran Keo, merasa tersinggung dengan ucapan Keo. Ia meradang. “Ayo, kita pergi! Buat apa meladeni si sombong ini! Biar dia cari sekolah lain saja.” (halaman 9)

Temannya yang lain ikut panas. “Dengar, ya!” kata anak itu tegas. “Ini sekolah terbaik sedunia. Mestinya semua anak mendapatkan sekolah seperti ini. Tapi datang-datang kamu bilang, mau lihat-lihat dulu. Bisa-bisanya kamu menganggap sekolah ini enggak cocok buat kamu!” (halaman 9)


Berlanjut ke konflik berikut, adu tantangan. Karena Keo nggak mau minta maaf sama Noaki, begitu pun sebaliknya. Jadi siapa yang kalah, dia harus minta maaf sama yang menang. Tantangan yang pertama, adu sepatu bau. Disambung lagi, adu main game. Seru banget! Dan, akhirnya Keo jadi berteman dengan ketujuh anak itu.

Hari pertama sekolah, Keo dapet masalah lagi. Nggak terlalu berat sih, cuma anak perempuan yang merasa dirinya lah satu-satunya yang berhak dipanggil ‘Keo’. Sebenarnya itu singkatan inisial namanya. Dan ia tidak suka dipanggil dengan nama depannya, Kinanti.

Selanjutnya hari-hari dari masa ujicoba satu bulan, dimulai. Pertemanan Keo dengan Noaki and the gank,  semakin rapat. Tapi ada satu anak yang misterius dari ketujuh anak tersebut. Ia kerap mengirimi sms untuk membantu Keo memecahkan masalah, atau komen-komen yang berhubungan dengan masalah yang sedang terjadi. Keo ingin mengungkap siapa si misterius itu.

Sementara itu, satu demi satu masalah mencuat. Noaki marah, Ajeng menangis dengan tuduhannya, rencana untuk si kembar Wamena-Timika yang sulit terwujud, Seb yang jenius tapi kadang menyebalkan, teguran pak Hilal mengenai nilai matematikanya, dan si misterius yang masih saja misterius. Lalu Mami datang dan menawarkan opsi  pindah lagi ke Jakarta.

Keo galau. Ia tidak yakin apakah ingin benar-benar kembali ke Jakarta? Tapi kenapa rasanya berat? Akhirnya Keo menemui Noaki. Berpamitan. Noaki kaget banget. Ia mempertanyakan apakah Keo betul-betul nggak betah. Keo nggak jawab iya, tapi dia ngerasa masalah di antara dirinya dan Noaki and the gank, semakin rumit. Noaki bilang, semua bisa diperbaiki. Lalu keduanya membahas masalah Keo, namun yang terjadi malah perang mulut. Beda persepsi. Keo pun merasa lelah.

Suasana dialog Keo-Noaki di bagian akhir buku ini adalah bagian favoritku. Duh, bahasanya ngena banget. Bikin melting.. hehe.. Baper deh. Tapi memang ini bukan pure novel anak. Udah agak mau remaja gitu. Jadi jangan under estimate lho.. ah, males baca novel anak-anak. Novel ini asyik juga dibaca sama orang dewasa.

“Oh.” Keo sesaat kehilangan kata-kata. Kepalanya mendadak pusing dengan kalimat-kalimat yang ternyata bisa diartikan macam-macam. Ya, ia mengatakan buat apa susah payah, tapi bukan berarti ia tidak berusaha keras untuk meraih teman-temannya lagi, terutama Noaki. Tidakkah Noaki melihat itu? Keo menarik napas.
“Kalau begitu, aku minta maaf lagi, Noaki. Sungguh, aku ingin kita terus berteman.”
Noaki mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Keo meneguk ludah. Apakah kata-katanya salah lagi sehingga membuat Noaki menangis? Aduh Mami, anak perempuan ini telah menguras tenaga dan emosinya. Apakah akan selalu begini setiap kali bertemu? Bagaimana ia bisa berharap Noaki memberinya alasan untuk tinggal?
“Kamu akan tetap pindah?”
Keo mendengar pertanyaan Noaki seperti bisikan.  (halaman 135)

Bagiku rasanya sulit mencari kekurangan atau kelemahan dari buku ini. Semua disiapkan dengan cermat oleh penulisnya. Kalimat demi kalimat tertata rapi. Nggak ada plot hole. Logika ceritanya ajeg. Dan yang mengasyikkan adalah pemaparan konflik berbanding lurus dengan pengenalan tokoh yang diiringi penggambaran karakter yang jelas. Pembaca diajak membaca karakter tokoh dari dialog antar tokoh serta sikap tokoh dalam menghadapi konflik tersebut.

Yang menarik lainnya adalah deskripsi setting yang detil dan mudah dibayangkan. Lengkap dengan suasana tempat yang terasa saat itu. Ada pula peta denah lokasi cerita. Peta sederhana yang sangat membantu pembaca dalam membayangkan tempat terjadinya cerita.

Oh ya, di buku ini pun ada beberapa mind mapping yang bisa menginspirasi pembaca untuk membuat hal serupa. Mind mapping biasanya untuk meringkas pelajaran di sekolah, bukan? Nah, Keo mencontohkan bagaimana mind mapping juga bisa digunakan untuk menulis cerita sehari-hari.

So, Novel persahabatan ini recommended banget deh. Selain buat middle grade, alias anak-anak SD kelas atas, asyik juga buat remaja dan dewasa.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Di Balik Lezatnya Bitterballen



 Judul                          :  Bitterballen Love
Penulis                        :  Allana Izarra
Penerbit                      :  PT Gramedia Pustaka Utama
Tebal Buku                :  184 halaman
Cetakan                      : Pertama, Mei 2015
ISBN                           :  978-602-03-1578-2
Ada banyak hal yang membuat orang tertarik untuk membeli novel. Bisa karena covernya yang membetot perhatian, atau karena endorsernya seorang yang populer jadi bikin penasaran ceritanya kayak apa, dan beragam alasan lain. Uniknya, baru kali ini saya tertarik pada novel karena nama penulisnya. Saya baru mendengar nama ini. Alana Izarra. Hmm.. nama yang manis. Entah kenapa, saya membayangkan hasil karya seorang Alana Izarra ini tentu semanis nama penulisnya. Apakah dugaan saya terbukti? Yuk, ikuti cerita saya tentang novel ini.

Kisah langsung dibuka dengan konflik. Aliya yang berjualan makanan di dalam kelas mendapat cibiran tajam dari Vanya.
“Wah, wah, wah, ada yang gelar lapak lagi rupanya. Kelas jadi berasa pasar deh setiap jam istirahat.” (halaman 9)

Rupanya memang peraturan di SMU mereka itu, yang boleh berjualan hanya pihak kantin. Makanya Vanya merasa punya alasan kuat buat nyolot ke Aliya.
“Setidaknya gue menghargai apa yang ditulis pihak sekolah dan dipajang besar-besar di pintu gerbang. ‘Pedagang apa pun dilarang masuk lingkungan sekolah’. Dan itu peraturan sekolah. Paham?” (halaman 10)

Aliya sendiri berjualan bukan tanpa alasan. Keluarganya butuh uang. Karena pencari nafkah keluarga cuma ibunya yang berjualan di warung kecilnya. Ayahnya tidak ada. Kehidupan mereka sungguh sederhana. Berlawanan dengan hidup Aliya sebelumnya. Yup! Dulu Aliya termasuk kalangan berada. Rumah mewah, mobil, barang-barang bagus adalah bagian dari hidup Aliya.

Dengan keahliannya memasak, Aliya mencoba membantu perekonomian keluarga dengan berjualan nasi uduk, mie goreng, risoles, dan lumpia, di kelas. Aliya tahu, perbuatannya melanggar peraturan sekolah, tapi ia terpaksa melakukannya. Dan teman-temannya banyak yang suka. Terutama kedua sahabatnya, Zia dan Chika.

Sepandai-pandai Aliya menutupi, akhirnya ketahuan juga. Walikelasnya, Bu Hilda, menegur dan melarangnya berjualan.
“Megapa pihak sekolah hanya mengizinkan kantin yang berjualan di lingkungan sekolah? Karena pihak sekolah ikut bertanggung jawab atas kesehatan kalian selama berada di sekolah. Pihak sekolah berusaha keras untuk mendapatkan pengertian masyarakat di sini agar tidak berjualan di sekitar sekolah. Dan kami tidak mau peraturan ini justru dilanggar oleh pihak internal.” (halaman 41)

Di tengah kesedihan Aliya karena sumber penghasilannya terhenti, konflik dengan Vanya semakin meruncing. Pada pagi yang hujan, Aliya tidak sengaja membuat Vanya terjatuh sehingga baju dan tasnya kotor. Vanya marah besar. Kata-katanya menusuk hati Aliya.
“Lo pikir tas ini murah? Lo jualan nasi uduk setahun juga nggak bakalan mampu beli tas model begini!” (halaman 54)

Aliya semakin tersungkur dalam kesedihan. Pada saat itulah, Zia muncul dengan ide cemerlangnya. Mereka mendatangi kantin, melobby kemungkinan Aliya bisa menitip dagangannya di sana. Dengan dukungan penuh dari kedua sahabatnya, Aliya kemudian mengirimkan contoh makanan hasil buatannya. Ternyata pihak kantin menilai makanan Aliya layak untuk diterima.

Selanjutnya Aliya rutin menitipkan makanannya di kantin. Risoles dan bitterballen buatan Aliya selalu diserbu. Laris manis. Bentuk bitterballen yang bulat, dengan kreatifnya diubah oleh Aliya menjadi bentuk hati. Jadilah namanya, bitterballen love.


Sementara itu, Bu Hilda pun memesan risoles untuk acara arisan di rumahnya. Aliya suka cita menerima order itu. Tapi ketika mengantarkan pesanannya, Aliya kaget karena di gerbang rumah Bu Hilda ia disambut oleh cowok yang selama ini ia benci. Namanya Danur. Selama ini Aliya selalu menghindari Danur di sekolah. Sikapnya selalu jutek kepada cowok ganteng itu. Hal ini membuat penasaran kedua sahabatnya, Zia dan Chika.

Rupanya urusan dengan Danur, masih terus berbuntut. Vanya yang jelita, merasa terganggu karena ia naksir Danur. Didorong rasa cemburu, Vanya membeberkan sebuah fakta yang membuat Aliya ternganga. Aliya kaget bukan kepalang.

Selain dibelit masalah-masalah di sekolah, Aliya juga tak bisa lepas dari masa lalunya. Ia tak mau berdamai dengan ayahnya. Ayah yang membuat kehidupannya berbalik.

Dari novel ini, pembaca akan menemukan nilai-nilai kesungguhan. Bahwa berjuang keras adalah sebuah keniscayaan. Betapa Aliya berjibaku membagi waktu antara belajar dan memasak, hingga akhirnya menjadi pengisi tetap menu jajanan di sekolah dan menerima banyak pesanan  untuk acara arisan ibu-ibu.

Bitterballen love menjadi lambang perjuangan Aliya. Bermula dari penganan itu, rasa percaya diri Aliya terus menguat. Sebelumnya, kadang Aliya masih dikepung ragu, tapi larisnya bitterballen buatannya, menunjukkan bahwa orang-orang menyukai hasil racikannya. Dan itu artinya, makanan buatannya diakui enak oleh orang lain.

Kehadiran bitterballen love menjadi bagian dari hidup Aliya, tidak lepas dari masa lalunya. Kalau saja ayahnya tidak pergi dari kehidupannya, ia tidak mungkin akan menjadi seorang pembuat makanan. Kemampuan memasaknya belum tentu akan tereksplor. Kehidupan yang mengubahnya menjadi bukan anak orang kaya lagi, telah mengantarnya menjadi seorang calon chef andal. Sungguh, segala sesuatu itu pasti ada hikmahnya.

Penulis novel ini tampak tenang menggiring pembaca menyusuri kisah perjuangan Aliya. Bahkan saking tenangnya, bikin pembaca gregetan. Terutama pada bagian ayah Aliya. Informasi disampaikan tidak terburu-buru. Sedikit demi sedikit, membuat pembaca turut menyelami perasaan Aliya yang sakit hati oleh tindakan ayahnya. Hingga akhirnya terkuak siapa ayah Aliya.

Selalu hidup ini adalah tentang pilihan. Demikian pun Aliya. Pilihannya ada dua. Yang pertama, menunjukkan sikap protes pada ayahnya dengan selalu menghindar dan tak mau memaafkan. Mengikuti bisikan hati yang tidak rela menerima begitu saja, orang yang telah menghancurkan hidupnya. Biar saja ayahnya menerima hukuman dengan sikap Aliya yang terus menolak untuk bertemu. Tak apa ayahnya terus dirundung penyesalan akibat penolakan Aliya. Pilihan ini memuaskan hati. Tapi sejatinya itu puas yang semu. Sampai kapan bisa bertahan dalam kebencian?

Pilihan kedua adalah berdamai dengan masa lalu. Memaafkan orang yang telah melukai hati dan memorakporandakan hidup. Tentu saja ini tidak mudah. Bagaimana mungkin meluluhkan hati yang dibelit benci? Di sinilah saya tercerahkan. Bahwa masa lalu seburuk apa pun, jangan sampai menumpulkan nalar, meminggirkan cinta. Selama masih bisa diperbaiki, kenapa nggak?

Aura semangat dan optimis yang menguar, memberi kesan positif kepada pembaca. Meski agak kurang unsur yang menegangkan. Misalnya: order makanan yang nyaris rusak, bahan-bahan mentah yang ternyata busuk, dan semacamnya. Kayaknya seru deh, kalau pembaca dibuat deg-degan dulu, meskipun nantinya kekacauan itu bisa diselamatkan.

Tokoh-tokoh dalam novel ini pun biasa aja, nggak ada yang ‘aneh’. Aliya yang tangguh, Danur yang ganteng tapi cool, Vanya yang cantik tapi nyebelin, dan sahabat-sahabat Aliya, Zia dan Chika yang baik dan ringan tangan. Semuanya asyik-asyik aja.

Sebagai novel remaja, bahasa yang mengalir sepanjang cerita, terasa ringan dan segar. Khas remaja. Seperti dialog Zia yang menyindir Vanya. “Ah, kuntilanak juga dilarang bersekolah di sini kok. Tapi buktinya kamu ada di sini,” cetus Zia enteng. Dia sibuk mengunyah mie goreng dan sama sekali tidak mengangkat wajah. (halaman 10).

Dengan label teenlit, novel ini menawarkan sisi lain dari remaja. Bukan remaja yang asyik dengan dunia suka-sukanya, tapi sebuah kehidupan yang sulit yang butuh ketangguhan untuk menghadapinya. Aliya bukan sosok remaja cengeng yang lantas menyerah pada keadaan pahit. Tentunya diharapkan sosok ini akan menginspirasi pembaca remaja. Namun bukan berarti sama sekali menyingkir dari dunia remaja, novel ini tetap menampilkan sisi romance yang manis, semanis nama Allana Izarra.. :)

Dan, ada satu lagi yang menarik. Para pembaca bisa berkesempatan mencicipi gurih serta renyahnya bitterballen love dan risoles andalan Aliya. Caranya? Sila mencoba meraciknya di dapur, karena Aliya membagikan resepnya dalam novel ini. Jadi setelah membaca, selamat memasak.. :)
Ini nih bitterballen, biasanya bentuknya bulat kayak gini.
(gambar diambil dari sini)



 
Nah, ini risoles.. udah pada tau, kan? :)
(gambar diambil dari sini)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS