Powered by Blogger.
RSS

Ketika Alam Mengajarkan Banyak Hal


Judul: Rengganis - Altitude 3088
Penulis: Azzura Dayana
Penyunting Bahasa: Mastris Radyamas
Penerbit: Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama, Agustus 2014
Ketebalan : 232 halaman
Ukuran : 20 cm
ISBN: 978-602-1614-26-6

Kegiatan mendaki gunung kini menjadi hobi yang banyak diminati. Sensasi sebuah pendakian bisa dirasakan melalui tulisan-tulisan yang mudah diakses, yang tersebar di blog, note fb, dan media sosial lain serta dilengkapi foto-foto menawan. Begitu pula acara-acara televisi yang menampilkan tayangan liputan sebuah perjalanan pendakian gunung. Maka tak ayal, keindahan sebuah gunung bisa tervisualisasikan lebih nyata.
Novel “Rengganis-Altitude 3088” karya Azzura Dayana, adalah salah satu contoh novel yang memperlihatkan bagaimana lika-liku sebuah perjalanan pendakian.    Dikisahkan tentang sekelompok anak muda yang merencanakan pendakian ke Pegunungan Hyang. Mereka, lima laki-laki dan tiga perempuan, berkumpul di Surabaya, berkeinginan sama, yaitu menjejak Puncak Rengganis. Mereka adalah Acil, Dewo, Fathur, Dimas, Rafli, Sonia, Nisa, dan Ajeng. Sebagai guide adalah Acil yang paling paham medan, sedangkan yang ditunjuk menjadi pemimpin adalah Dewo.

Selanjutnya diceritakan bagaimana proses perjalanan menuju Puncak Rengganis hingga kembalinya. Saat berangkat, kedelapannya merupakan tim yang solid. Bahu membahu, seia sekata. Namun dalam perjalanannya, friksi-friksi tak dapat dihindarkan. Rafli beberapa kali tidak sependapat dengan Dewo. Keduanya berselisih, bahkan pernah hingga sama-sama naik pitam. Untunglah yang lain bisa melerai. Namun ketegangan-ketegangan itu tak urung menimbulkan suasana tidak enak. Rafli yang ada rasa pada Sonia, secara refleks selalu ingin menjadi pelindung Sonia. Keputusan Dewo yang dirasanya tidak berpihak pada Sonia akan ditentangnya keras.

Dalam novel ini, pembaca dimanjakan oleh deskripsi setting yang sangat detil dan menarik. Keindahan alam selama perjalanan menuju Puncak Rengganis dibentangkan nyata. Keelokan hamparan sabana, jalur yang terjal dan menantang, deretan pinus yang kaku menjulang, juga hewan-hewan liar yang ditemui sepanjang jalan. Sungai Cikasur adalah salah satu kesederhanaan yang indah di bumi Argopuro. Sebuah sungai kecil beralur panjang dan sempit dengan airnya yang bersih dan jernih serta mengalir cukup deras. Suara gemuruh yang diciptakan oleh aliran air sungai, entah mengapa jadi terdengar merdu di telinga. Banyak tumbuhan selada air di sungai itu yang selalu dimanfaatkan pendaki untuk dimasak sebagai sayuran hangat. Tepian kiri dan kanan sungai dipenuhi rerumputan rumput tebal bernuansa hijau dan campuran antara putih dan coklat. Sungguh eksotik. (halaman 47).  

Selain kecantikan alam yang menyenangkan mata, diceritakan juga sisi historis jejak peninggalan istana putri Raja Majapahit, Dewi Rengganis. Cerita tersebut beredar dalam berbagai versi. Mengapa Prabu Brawijaya membangunkan sebuah istana di puncak gunung yang indah itu, terdapat beberapa alasan yang entah mana yang paling benar. Legenda tersebut pun masih mengandung misteri. Terutama pada bagian menghilangnya sang Dewi serta para dayangnya, di sebuah danau. Konon katanya, sang dewi ini bukan seorang wanita biasa. Dia adalah seorang pertapa yang memiliki ilmu kanuragan, hal yang lumrah dan tenar dalam kehidupan masa lalu di zaman kerajaan. (halaman 41)

Maka, hal yang beraroma mistis turut mewarnai perjalanan mereka. Keanehan-keanehan terjadi. Puncaknya ketika salah seorang dari tim ini raib, pergi entah ke mana. Pada saat yang kritis itu, kekompakan dan kerjasama tim sangat menentukan. Bagaimana jika pulang tanpa jumlah yang lengkap seperti saat kedatangan?

Namun kemistisan suatu tempat bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Pendaki kita mengajarkan tentang ini. Tidak selalu terjadi hal yang seperti itu pada para pendaki. Hanya beberapa saja yang pernah mengalami beberapa keganjilan. Aku pun sebenarnya ingin sekali tidak percaya, tapi ... entahlah. Alam gaib memang ada. Tugas kita hanyalah berhati-hati dan menjaga iman kita, kata Fathur. (halaman 220)

Perjalanan sebuah pendakian bukan sekadar petualangan yang seru dan mengasyikkan. Alam adalah guru yang mengajarkan banyak hal. Kita harus peka dan cerdas mencermatinya. Bagaimana seharusnya kita memperlakukan alam ditunjukkan oleh kedelapan pendaki ini. Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but ego (Hal. 208) Menjelang kepulangan, mereka melakukan operasi semut, membersihkan sampah-sampah. Kantung-kantung plastik besar berisi sampah dibawa turun untuk dibuang di beberapa tempat sampah yang mereka lewati di tepi jalan.

Pengetahuan-pengetahuan seputar pendakian yang hadir dalam novel ini pun akan menambah wawasan pembaca. Dalam keadaan darurat, semisal kehabisan makanan, dapat memanfaatkan tumbuhan dan dedaunan yang ternyata banyak sekali yang bisa dimakan. Namun harus diperhatikan karena ada tumbuhan beracun. Salah satu cara mengetahuinya dengan menggosokkan daun tersebut ke tangan. Bila tidak terasa gatal, berarti aman. Lalu pilih yang tumbuhan atau batangnya tidak berbulu.
“Berarti sebenarnya alam ini sangat memanjakan kebutuhan kita, ya?”
“Asal kita pandai memilih, menjaga, dan memanfaatkannya.”
“Selalu ada keringanan untuk setiap beban. Selalu tersedia solusi untuk setiap masalah dan musibah. Alam juga seperti itu sifatnya.” (halaman 216)
           
            Tak ada gading yang tak retak, demikian pun buku ini. Pada bagian awal, ritmenya agak terasa membosankan karena cerita masih datar dan belum tampak konflik yang menggigit. Beranjak ke bagian tengah barulah terasa gejolaknya, dan mengikat pembaca untuk tidak melepas buku ini sebelum selesai hingga akhir. Terlalu banyaknya tokoh juga kurang memperlihatkan perwatakan yang kuat. Penjelasan tentang tokoh di halaman akhir buku, justru terasa mengganggu. Tentu akan lebih menawan bila gambaran tokoh tersebut hadir menapasi jalan cerita.

Anyway, buku ini sangat layak direkomendasikan. Di tengah gencarnya gempuran bacaan beraroma vulgar bagi pembaca usia muda, maka buku ini hadir bak oase di tengah gurun. Bahasanya santun dengan diksi yang apik. Sisi romansa di dalamnya tidak terlalu ditonjolkan namun tetap terasa manisnya. Ditambah dengan pengetahuan-pengetahuan yang akan membuka wawasan pembaca.

Selamat bertualang bersama buku ini dan menemukan kearifan di dalamnya.

#Resensi ini diikutsertakan pada Lomba Menulis ResensiNovel Indiva 2015

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Cinderella Syndrome : Ketika Pernikahan Menjadi Begitu Penting di Mata Perempuan




Judul: Cinderella Syndrome
Penulis: Leyla Hana
Penyunting Bahasa: Woro Lestari
Penerbit: Salsabila - Pustaka Al-Kautsar
Cetakan: Pertama, 2012
Jumlah hal.: 240 halaman
ISBN: 978-602-98544-2-8

Menarik banget deh novel ini. Ceritanya membumi. Mewakili perasaan kaum wanita terhadap lembaga pernikahan. Ada 3 tokoh yang bertutur sendiri-sendiri. Erika, Violet, Annisa. Masing-masing menggunakan PoV 1. Yuk, kita berkenalan dengan ketiganya.

Erika, wanita cerdas, high educated, cantik, sangat menentang pernikahan. Ia tidak mau menikah. Baginya, pernikahan hanya akan membuat susah. Wanita akan terbelenggu pada sebuah ikatan yang mengekang. Dan, cinta, hanya perasaan yang bisa membuat seseorang bertindak bodoh. Seperti ibunya, yang diperlakukan semena-mena oleh ayahnya. Dipoligami, tanpa keadilan. Namun atas nama cinta, ibunya bertahan. Bahkan hingga jiwanya terganggu.

Violet, penulis novel romance yang belum terkenal, bersifat kekanakan meski sudah berusia 25 tahun. Sebagai anak semata wayang yang dimanjakan orangtuanya, ia tumbuh menjadi gadis yang tidak mandiri. Ke mana-mana harus selalu diantar, karena ia bisa dipastikan akan tersesat kalau jalan sendiri. Melihat ibunya yang seorang ibu rumah tangga sejati, Vio merasa ngeri sendiri. Bagaimana mungkin seorang perempuan mengerjakan begitu banyak pekerjaan rumah tangga sepanjang hari?

Annisa, seorang guru TK lulusan D1 berpenghasilan 200 ribu sebulan. Sering digunjing tetangga sebagai perawan tua. Hidupnya serasa tak berarti karena pekerjaannya tak membanggakan orangtua dengan jumlah penghasilan yang minim. Di usianya yang ke-28, ia nyaris putus asa karena merasa dirinya seorang pecundang.

Ketiga tokoh ini tidak saling terkait satu sama lain. Masing-masing dengan konfliknya, yang memiliki benang merah, yaitu tentang kesiapan menikah. Erika, dalam usianya yang kepala 3, merasa yakin tidak akan menikah. Baginya, sulit untuk mempercayai sosok laki-laki sebagai pendamping dan pelindung keluarga. Namun, pernikahan memang menjadi momok terbesar untukku. Rasanya aku takkan pernah siap menghadapinya. Entah kenapa, sepertinya Tuhan memang selalu mempertemukanku dengan wanita-wanita yang mengalami kegagalan dalam pernikahan. (halaman 98)

Violet, gadis berusia 25 tahun itu hanya menulis dan menulis saja yang ada dalam pikirannya. Ia membiarkan saja hidup mengalir apa adanya. Aku tak pernah memikirkan kehidupan selain kehidupan yang sedang kujalani ini. Jadi, menikah? Yang benar saja! (halaman 66)

Annisa, sudah gerah dengan julukan ‘perawan tua’ yang seolah ditahbiskan oleh semua orang kepadanya. Ya, usia dua puluh delapan tahun adalah usia yang rawan untukku. Ibuku pun sudah sangat khawatir karena aku belum juga mendapat calon suami. Aku harus bagaimana? Aku juga ingin menikah, tapi belum ada calonnya. (halaman 71)

Dalam perjalanannya kemudian ketiga perempuan itu berjumpa dengan seorang laki-laki yang mulai merasuki hati. Erika yang terkenal judes dan galak pada makhluk berjenis kelamin laki-laki, tiba-tiba merasakan getaran lain saat interaksinya semakin intens dengan Lukman, rekan kerjanya. Violet, yang selama 25 tahun hidupnya tidak pernah merasakan kisah cinta indah berbunga seperti yang ada dalam novel-novelnya, merasa yakin ketiban cinta pada editornya. Sang editor, Arfan, telah memikat hatinya dan melambungkan mimpi-mimpinya. Lain lagi Annisa, ia menjatuhkan harap pada ayah muridnya, seorang duda keren dan kaya.

Konflik demi konflik terjalin apik. Tidak dibuat-buat dan didramatisir. Semua mengalir dan asik diikuti. Dengan bahasa ringan, renyah, nggak bikin boring, namun tidak kosong makna.

Perpindahan bab selalu membuat penasaran, membuat terikat ingin terus membacanya. Walaupun adegannya biasa, tapi nggak bisa ketebak juga kelanjutannya. Dan endingnya.. hmm.. suka deh.. hehe.. pas sama keinginanku.

Rasanya ini novel yang paling aku suka dari novel-novel Mbak Ela. Paling seru dan paling asik. Bukan berarti novel yang lain nggak bagus lho. Tapi kita kadang punya satu favorit dari deretan yang bagus-bagus kan?

Apa nggak ada kekurangannya novel ini? Nggak juga sih. Antar tokoh kadang terasa masih itu-itu juga. Seperti mendengar suara hati Mbak Ela aja.. haha.. maaap atas kesotoyanku ini, Mbak..

Akhirul kata, novel ini recommended buat lajangers maupun yang udah nge-dobel. Prinsip-prinsip tentang pernikahan juga makna suci sebuah lembaga pernikahan, bisa menjadi ilmu yang mencerahkan para lajangers. Sedangkan buat yang udah nikah, novel ini menyadarkan kembali bagaimana sebuah pernikahan harus dibangun. Dan yang tak kalah penting, bagaimana menempatkan cinta pada tempat yang tepat, sehingga membuahkan kebahagiaan hakiki.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

And The Mountains Echoed - Dan Gunung-gunung pun Bergema



Judul : And The Mountains Echoed
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Quanta - PT Mizan Pustaka
Tebal Buku : 516 Halaman
ISBN : 978-602-9225-93-8
Tahun Terbit : Cetakan Ke-I, Juli 2013

                      Cetakan ke-II, Oktober 2013

Blurb:
Kulihat peri kecil muram
Di keteduhan pohon kertas
Kumengenal peri kecil muram
Yang tertiup angin suatu malam

Abdullah sangat menyayangi Pari, adik satu-satunya. Sejak ibu meninggal dan ayah mereka menikah lagi dengan Parwana, Abdullah menjadi ayah, sekaligus ibu bagi Pari. Bagi Abdullah, Pari adalah bumi, langit, sekaligus semestanya. Dalam kehidupan pedesaan Afghanistan yang keras dan kejam, Pari adalah seberkas cahaya matahari bagi Abdullah.

Lalu, ayahnya menjual Pari kepada pasangan kaya di Kabul demi kelangsungan hidup keluarga mereka di musim dingin. Abdullah limbung, dunianya hancur. Tak ada lagi Pari, tak ada lagi kehidupan.

And The Mountains Echoed, novel ketiga Khaled Hosseini yang menggemakan kehidupan keras di Afghanistan. Lewat novel ini, Hosseini berkisah bagaimana pilihan yang kita ambil akan bergaung hingga ke generasi selanjutnya. Bagaimana cinta yang tulus, akan bergema ke seluruh semesta, memanggil jiwa-jiwa yang kehilangan belahannya. 

Alhamdulillah request buku ini dikabulkan sama Mizan. Udah lama banget pingin baca, baru kesampean sekarang. So, telat yaa review buku ini sekarang. Orang-orang mah udah zaman kapan baca buku ini. It's Ok ae lah, better late than never.. :)

Ini buku kedua karya Khaled Hosseini yang aku baca, meski dalam jejeran karyanya, ini adalah novel ketiga. Yang pertama kubaca, pastilah The Kite Runner. Buku yang mengguncang perasaan, dan susah move on berhari-hari dari buku itu.

Ketika baca buku The Mountains Echoed ini, nggak bisa dipungkiri, aku punya ekspektasi yang paling nggak, buku ini menyamai The Kite Runner. Secara Khaled Hosseini, konon memang ahlinya mengaduk emosi pembaca. Halaman-halaman awal, aku terhanyut. Bahkan mata mendanau, emosi terseret dalam duka yang menyayat. Tapi semakin lanjut ke halaman berikutnya, emosi kurasakan mengendur. Entahlah, aku tidak lagi merasa terikat kuat.

Kisah diawali dengan dongeng yang dituturkan Baba kepada Abdullah dan Pari. Dongeng Baba itu terasa ngilu, tentang seorang ayah yang kehilangan anak kesayangannya. Dan ketika cerita bergerak, kemudian Baba pun mengalami nasib yang sama.

Secara singkat, cerita novel ini adalah tentang Abdullah dan Pari. Bocah kecil kakak beradik dari sebuah kampung miskin di Afghanistan. Desa Shadbagh namanya. Mereka memiliki paman yang bekerja di Kabul, pada keluarga kaya raya, yang tak memiliki anak. Sang nyonya jatuh cinta kepada Pari. Ia ingin memiliki anak cantik dan cerdas itu. Dengan uang berlimpah yang dimilikinya, Pari pun akhirnya menjadi 'anak' di keluarga kaya tersebut, keluarga Wahdati.

Jangan dikira Baba adalah ayah yang kejam karena tega menjual anaknya. Di sinilah letak kekuatan Hosseini. Keterpaksaan akibat kemiskinan yang menjerat serta rasa kehilangan dan rindu yang mencekik, mengakibatkan Baba membenci dirinya sendiri. Perasaan Baba terdeskripsikan dengan sangat baik, sehingga pembaca bisa merasakan kepedihan yang sungguh mengiris itu.

Yang lebih mencelos hati adalah apa yang terjadi pada Abdullah. Separuh jiwanya kosong, hilang bersama kepergian Pari. Bagaimana ia menguntai kenangan tatkala Pari masih di sampingnya, adalah bagian yang menusuk hati. Tak hanya Abdullah, seekor anjing kampung yang setia pada Pari, turut berduka, hingga akhirnya ajal menjemput dalam rindu yang tak berbalas.

Cerita terus berlanjut mengisahkan paman Nabi, yaitu paman yang bekerja pada Keluarga Wahdati. Kemudian orang-orang yang terkait dengan Pari dan Abdullah. Masing-masing dari sudut pandangnya sendiri. Seperti biasa, Hosseini sangat detil mendeskripsikan apa yang terjadi, emosi yang tercipta, serta lekuk setting yang melatari. Keahliannya yang satu ini, tak tertandingi.

Ada kejutan yang muncul dari Tuan Wahdati. Sejujurnya, aku nggak kepikir tentang hal itu. Oh, ternyata Tuann Wahdati itu.......... Ah, aku nggak suka. Lalu Paman Nabi yang ganteng itu hingga akhir hayatnya tidak menikah.. mengapa oh mengapa..

Banyaknya tokoh yang bercerita membuatku agak sedikit merasa kurang nyaman. Aku terlampau jatuh sayang kepada Abdullah dan Pari. Tapi porsi keduanya tidak lebih dominan dibanding tokoh-tokoh lain: Paman Nabi, Nila Wahdati, Parwana, Markos, Pari (anak Abdullah). Tapi aku salut pada Hosseini. Kemampuannya meramu beragam sudut pandang, PoV 3 dan PoV1 dengan banyak tokoh, nggak mengganggu jalan cerita. Semua karakternya tetap ajeg alias konsisten.

Seperti halnya The Kite Runner yang berlatar waktu sangat panjang, demikian pun novel ini. Bermula dari musim gugur 1952 hingga musim dingin 2010. Setting tempat pasti Afghanistan, walaupun ternyata Desa Shadbagh itu fiktif, tapi tentu mencerminkan desa miskin di Afghanistan kala itu. Ada juga Paris dan Yunani. Sudah bisa dibayangkan ya, gimana detil deskripsi yang disuguhkan buat pembaca. Benar-benar memanjakan. Hosseini memang nggak ada matinya untuk urusan ini.

So, nggak nyesel baca buku ini. Meski nggak sedahsyat The Kite Runner, tapi ceritanya apik dengan alur berliku. Kalaupun nanti ada novel keempat yang akan dilahirkan, para pembaca di seluruh dunia pasti akan tetap menantikannya. Khaled Hosseini sepertinya memang punya kemampuan menyihir.



 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asiyah, Sang Mawar Gurun Fir'aun




Judul : Asiyah-Sang Mawar Gurun Fir’aun
Penulis : Sibel Eraslan
Penerjemah : Ahmad Saefudin, Hyunisa Rahmanadia, Erwin Putra
Penerbit : Kaysa Media-Grup Puspa Swara
Tahun Terbit : 2014
Jumlah Halaman : vi + 444 halaman
ISBN : 978-979-1479-75-2
Ketika ada pilihan buku tentang Aisyah atau Asiyah, mana yang dipilih? Saya memilih Asiyah. Kenapa? Karena buku tentang Aisyah cukup banyak, dan saya sudah membaca beberapa. Tapi Asiyah.. sejujurnya saya belum pernah membaca buku tentangnya. Saya hanya tahu kalau Asiyah tergolong ke dalam lima wanita mulia yang dijamin Allah masuk surga. Sosok yang lebih detil tentangnya, masih samar bagi saya. Yang saya pahami hanya sekadar permukaannya saja, bahwa Asiyah memiliki iman yang teguh dan akidah yang kuat.

Novel “Asiyah-Sang Mawar Gurun Fir’aun” karya Sibel Eraslan, betul-betul membuka wawasan saya tentang Asiyah. Ada dua bagian besar dalam novel ini. Yang pertama, mengisahkan Raja Akhenaten, orang nomor satu di Mesir, yang bijaksana. Namun ia mendapat perlawanan dari dalam kerajaannya sendiri, yang menentang keyakinan Sang Raja yang menganut ajaran Nabi Yusuf, beriman kepada Tuhan yang Esa. Para penentangnya itu ingin mengembalikan keyakinan mereka pada dewa atau tuhan yang banyak. Amarna sebagai pusat pemerintahan, porak poranda akibat penyerangan itu.

Pada bagian ini pembaca akan berkenalan dengan para tokoh utama. Empat anak istimewa ikut serta bersama rombongan orang-orang dari Amarna, ikut dalam perjalanan menuju Memphis. Keempatnya kemudian mendapat pendidikan di Akademi Kerajaan di bawah bimbingan Apa, abdi setia Raja Akhen. Apa yaitu seorang guru yang andal di antara para guru, tak berbahaya bagi istana, dan tak mencurigakan bagi pendeta.

Keempat anak istimewa itu adalah: Yes atau Asiyah, Pare-Amon atau Ra, Karonaim atau Ka, dan Ha-Amon atau Ha. Mereka tumbuh bersama. Masing-masing memiliki kecerdasan dan keunggulan. Asiyah yang berwajah elok dan bertubuh molek, memiliki kecerdasan pikiran serta kebeningan hati. Ra yang sangat menonjol sifat kepemimpinannya, berwajah mempesona dan kemampuannya berbicara langsung menarik banyak perhatian. Sedangkan Ka, anak muda jenius yang menguasai dengan baik ilmu kimia, astronomi, musik, dan selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan baru dan teori-teori ilmu pengetahuan baru. Terakhir, Ha, berperawakan tinggi dan gagah seperti Ra, memahami semua ramalan seni secara detil, dan tampak sangat cocok menjadi seorang penasihat.

Bagian kedua mengisahkan perjalanan hidup Ratu Asiyah, sang permaisuri Raja Ra. Empat sekawan dari masa kecil kembali bersama, namun membawa ambisi masing-masing. Bagian ini tak kalah asyik dengan bagian pertama. Di sini terkuak bagaimana isi hati Asiyah lebih dalam. Kemudian pertemuannya dengan bayi Musa, kecintaannya yang luar biasa kepada Musa, serta kekuatannya menjaga keimanan terhadap Tuhan Yang Satu. Lalu adapula Tahnem dan Sare, dua orang abdi setianya.

Saya betul-betul menikmati membaca buku ini, secara saya nggak terlalu suka pada novel sejarah. Tapi novel ini berhasil mengikat saya. Saya terhanyut dalam alun rasa dan emosi yang dibawa Asiyah. Saya bisa merasakan kesepian Asiyah. Bisa menyelami kerinduannya pada rumah impiannya, dan bukan pada istana mewah nan megah. Bagaimana perjuangannya menghadapi Ra, perlindungannya pada Musa, dan keteguhannya menjaga iman.

Kehadiran Musa dalam kehidupan Asiyah sangat berarti. Keistimewaan Musa sudah tampak sejak bayi. Saat tangisnya menyayat hati Asiyah tersebab haus ingin minum susu. Berbondong-bondong wanita diminta untuk menjadi ibu susu, namun bayi Musa tetap menangis. Hingga akhirnya ibunda Musa datang, lalu menyusuinya, barulah Musa diam dan lahap menyusu. Asiyah lantas memperjuangkan agar Yakobed, ibunda Musa, bisa tetap berada dekat Musa, di lingkungan istana. Sungguh perjuangan yang berat. Hingga akhirnya Musa kemudian dibesarkan oleh dua ibu yang masing-masing memiliki tempat tersendiri di hati Musa.

Bukan berarti buku ini sempurna. Dalam beberapa bagian ada pengulangan-pengulangan kalimat. Begitu pun sajak-sajak yang panjang, cukup membuat pegal. Namun bila dihayati dan dicerna mendalam, akan terasa juga keindahannya.

Saya tidak akan mengurai bagaimana jalan cerita Asiyah, agar Anda bisa lebih menikmati kisahnya tanpa terganggu spoiler. Yang pasti, saya tidak ragu merekomendasikan novel ini untuk dibaca pada Ramadan suci sekarang. Keteguhan Aisyah pada akidah akan mengusik kesadaran kita tentang bagaimana posisi kita sekarang. Lihatlah ujian dan tekanan yang dialami Asiyah. Betapa layak baginya mendapat keistimewaan sebagai wanita mulia penghuni surga.

Simak blurbnya:
Pagi itu, Nil menangis untuk saudara perempuannya..

Seluruh ikan yang berada di dalamnya, mutiara-mutiara yang berada di tepiannya, anemon yang berada jauh di dalamnya, pohon-pohon akasia yang berada di sudutnya, gurun-gurun yang menjaga bukit-bukit rahasia di dalamnya...

Semua menangis...

Setangkai mawar akan tetap indah, meskipun telah tiada. Meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Asiyah adalah mawar yang tumbuh mekar mewangi di gurun-gurun Mesir. Memegang teguh akidahnya, percaya akan Allah yang Mahatunggal, bahkan hingga jilatan lidah api menyentuh kulitnya.

Asiyah, seorang ibu yang mengasuh bayi Musa yang ditemukannya terhanyut di Nil, seorang muslimah yang sungguh pantas menjadi teladan.

*) makasiii yaa.. Ade Delina Putri yang dah ngasi buku ini.. maaaf, reviewnya telat.. ^_^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS