Powered by Blogger.
RSS

Menyelami Mimpi Sejuta Rupiah




Judul Buku                  :  Mimpi Sejuta Rupiah
Penulis                         :  Elie Mulyadi
Penerbit                       :  Mizania (imprint PT Mizan Pustaka
Terbit                           :  Cetakan I, November 2013
Tebal Buku                  :  388 halaman
Harga                          :  Rp.49.000
ISBN                           :  978-602-9255-74-4

Ada banyak kisah bertaburan di sekeliling kita. Dari yang penuh senyum dan tawa, hingga bercucuran air mata dan goresan luka hati. Kesemuanya bisa menjadi cermin yang menggugah kesadaran, bahwa hidup serupa rangkaian suka dan duka silih berganti. Bila kita pandai mencermati, lalu menjadikannya sebagai pelajaran berharga, maka hikmah yang didapat dari kisah tersebut, bukan mustahil akan membawa berkah.

Seorang penulis yang bergiat di ranah kepenulisan motivasi dan inspirasi, Eli Sumarliah Mulyadi dengan nama pena Elie Mulyadi, merangkai 26 kisah nyata ke dalam sebuah buku inspiratif berjudul “Mimpi Sejuta Rupiah”. Kisah-kisah ini mengajak pembaca untuk mensyukuri dan menjalani hidup dengan penuh cinta. Semisal saat ini Anda tengah mengalami keterpurukan, maka temukan bahwa ada orang lain yang mengalami nasib jauh lebih buruk, lalu ambil sikap baiknya dalam memaknai ketidakberpihakan nasib kepadanya.

Buku ini diawali dengan paparan tentang cinta. Bahwa cinta merupakan perasaan positif yang harus senantiasa mendasari setiap gerak langkah. Sehingga seberat apa pun beban yang menimpa, akan terasa ringan, sebab cinta akan melahirkan kesungguhan dan memberikan balasan terbaik. Formula cinta diurai melalui setiap huruf c, i, n, t, dan a, yaitu: cinta, integritas, niat ikhlas, tuntas, dan antusias.

Selanjutnya ada 5 bagian yang masing-masing diawali dengan petikan ayat AlQuran, yang disesuaikan dengan tema bagian tersebut. Bagian 1, bertajuk “Aku yakin, Aku Bisa” yang ditandai dengan petikan Q.S. Al-Isra’ (17) : 84, Setiap orang bekerja menurut keadaannya masing-masing. Dan hanya Tuhanmulah yang lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. Ada 4 kisah dalam bagian pertama, salah satunya yang diambil sebagai judul buku ini. “Mimpi Sejuta Rupiah” berkisah tentang seorang pemuda usia 20 tahun yang ditinggal meninggal oleh ibunya. Dalam taraf ekonomi yang sangat sederhana, sang ibu ternyata mewariskan uang satu juta rupiah kepada anak semata wayangnya itu. Sedang ayahnya telah lama tiada. Ia pun kemudian menata hidupnya seorang diri. 

Kisah ini memperlihatkan betapa doa seorang ibu sangat ampuh dalam kehidupan anak. Doa-doa yang dilangitkan ibu saat masih hidup, boleh jadi dikabulkan Allah justru saat nyawa telah berpisah dari raga. Si anak yang dulu hidupnya sembarangan, bahkan sering membolos, sehingga ijazah SMA pun tak punya, ternyata kesadarannya timbul setelah kepergian ibunya ke alam baka. Modal satu juta rupiah dikelolanya dengan kesungguhan tinggi sehingga membuahkan hasil. Godaan yang datang sebelumnya, berhasil ditepis,  karena ia memilih jalan yang lurus. Subhanallah, kesuksesan pun mengiringi si pemuda tersebut.

Bagian 2, bertajuk “Be The Best of You”, memuat 6 kisah yang menginspirasi pembaca untuk senantiasa melakukan yang terbaik. Ada perjuangan seorang pekerja lembaga pendidikan yang menangani proyek cukup besar dari Asian Development Bank. Ia berjibaku dengan waktu demi keberhasilan proyek tersebut. Kerja lembur dengan ritme padat mengharuskannya tidur maksimal 3 jam, juga setiap tengah malam ia menjadi seorang ‘ninja’ yang meloncat tembok melampaui pagar tempat kostnya saat pulang dan saat subuh ketika berangkat. Ada juga kisah seorang gadis yang baru meraih gelar Sarjana Kehutanan dari IPB, kala harus hidup di rimba belantara yang belum terjamah, demi mengolah proyek HTI (Hutan Tanam Industri). Satu demi satu kawan se-tim meninggalkannya karena kehidupan di Pulau Jawa lebih menjanjikan. Ia berjuang keras seorang diri, hingga beberapa tahun kemudian mendulang sukses. Berkat kegigihannya, ia menjadi direktur sebuah perusahaan perkebunan, memiliki ratusan hektar lahan, serta berkendaraan helikopter pribadi. Selain itu, ada pula kisah sukses seorang penulis dalam deraan penyakit thalassemia.

“Bukan Karena Hebatku” menjadi tema Bagian 3, berisi 7 kisah yang bertutur tentang dahsyatnya sebuah sinergi positif dalam melakukan hal apa pun. Lalu Bagian 4 bertema “Menemukan Cinta Sejati”. Bagian ini diawali dengan petikan QS.Al-Ra’d (13) : 11, Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri. Kisah pertama tentang keterpurukan saat mendapat PHK. Berlembar-lembar surat lamaran dilayangkan untuk memperoleh pekerjaan baru, tidak kunjung mendapat jawaban. Hingga akhirnya mencoba menggali potensi lain yang telah lama terkubur, yaitu menulis. Dengan ketekunan dan kesabaran, akhirnya honor dari media serta royalti novel-novel dapat menyangga kehidupannya. Kisah lainnya tentang pengalaman seorang dokter saat dalam keadaan terjepit harus mengkhitan seorang anak. Lalu ada juga kisah heroik tentang perjuangan seorang perempuan dalam menegakkan hak-hak buruh.

Bagian akhir mengambil tema “Memaknai Pencapaian”, menyajikan 6 kisah yang tak kalah inspiratif. Diawali dengan kisah seorang ibu yang senantiasa menyemangati keempat putranya agar yakin pada cita-cita mereka. Hal ini tersebab di masa lalu si ibu selalu dicemooh tidak dapat meraih mimpinya. Dan, subhanallah, cita-cita masa kecilnya, menjadi penyanyi, dokter, atlit, dan ibu rumah tangga yang sukses, lalu mewujud dalam perjalanan hidup anak-anaknya. Anak pertama mengundangnya pada konser nasyidnya, tahun berikut ia menghadiri wisuda sarjana kedokteran anak kedua, tahun berikutnya lagi mengunjungi anak ketiga yang sedang mengambil studi olahraga di Jerman, lalu tahun depannya lagi menikahkan putri bungsunya.

Maka sesungguhnya begitu banyak hal di sekeliling kita yang patut disyukuri dan dipetik hikmahnya. Sesederhana apa pun sebuah peristiwa, apatah lagi yang rumit, ia akan menyisakan ruang kesadaran untuk dimaknai sebagai perisai juga bekal agar menjalani hidup lebih baik. Kisah-kisah dalam buku ini, dari yang sederhana hingga yang rumit, mengajarkan pembaca akan hal tersebut.

#Resensi ini dimuat pada tanggal 30 Januari 2014 di nabawia.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Merajut Cinta dalam Makna Rumah




Judul Buku                  :  Home
Penulis                         :  Ifa Avianty
Penerbit                       :  Diva Press
Terbit                           :  Cetakan I, September 2013
Tebal Buku                  :  388 halaman
ISBN                           :  978-602-255-300-7
Harga                          :  Rp. 50.000

Baiti Jannati. Begitulah sejatinya makna sebuah rumah. Ia adalah surga bagi penghuninya. Karena di dalam rumah terhampar kedamaian, terbentang kebahagiaan. Kemana pun seseorang pergi, sejauh apa ia melangkah, maka rumah adalah tempatnya kembali.

Novel “Home” karya Ifa Avianty berkisah tentang sebuah rumah. Di dalam rumah tersebut ada Papa Kurt yang kaku, Mama Bea yang lembut, dan ketujuh putranya. Kisah diawali dari keinginan Papa Kurt untuk menjual rumah tersebut, yang kemudian menjadi konflik utama novel ini.

Mama Bea tidak setuju dengan ide suaminya untuk menjual rumah. Namun sebagai istri yang penurut, ia berusaha mengerti alasan yang diutarakan suaminya, bahwa perawatan rumah besar tersebut cukup menyulitkan, terutama dilihat dari segi biaya, termasuk di dalamnya pajak rumah yang tinggi. Posisi Papa yang sangat dominan, tidak membuatnya membawa masalah penting ini ke dalam perundingan keluarga. Tidak ada ajakan untuk membicarakan terlebih dahulu usulan tersebut, namun Papa langsung memutuskan. Anggota keluarga hanya menerima pemberitahuan.

Sebelum dijual, Papa berniat membenahi rumah tersebut, mengecat ulang dan memperbaiki bagian-bagian yang rusak. Masalahnya, ketika rumah sedang diperbaiki, di mana mereka tinggal? Papa merasa itu bukan hal yang harus dipusingkan, toh ia memiliki 7 putra. Namun Mama meragukan anak-anaknya mau menerima orangtuanya tinggal sementara, mengingat hubungan Papa dengan anak-anak yang kurang hangat selama ini.

Cerita pun bergulir dengan beberapa flashback. Dari ketujuh putra Papa Kurt-Mama Bea, yang mendapat porsi menjadi tokoh utama adalah si sulung, Wisnu. Dimulai dari masa kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, bergulir cerita tentang Wisnu. Persahabatannya dengan Truly yang berlanjut hingga ke pelaminan, hadir dalam kisah yang unik, lucu, juga menyentuh.

Karena keluarga ini adalah keluarga besar, maka untuk menguatkan jalan cerita, bermunculanlah banyak nama. Selain ketujuh putra, ada juga ketujuh menantu, lalu para om dan tante, para sepupu, dan cucu-cucu. Tentu saja tidak semua ikut ambil bagian dalam cerita, beberapa hanya disebut namanya. Namun tak urung agak sedikit memusingkan juga.

Dari ketujuh menantu, yang paling dekat dengan Papa dan Mama adalah Truly, istri Wisnu. Truly-lah yang lebih sering memberi perhatian, berupa sapa di telepon maupun datang berkunjung. Sedangkan dari sisi finansial, kehidupan putra sulung Papa-Mama tidak se-cemerlang adik-adiknya. Wisnu ‘hanya’ seorang kepala sekolah sebuah SMA swasta, sedangkan Truly menjalankan bisnis katering.

Maka ketika rumah besar itu direnovasi, Papa dan Mama lebih memilih tinggal di rumah Wisnu yang mungil. Peran Truly semakin tampak besar untuk berusaha mengeratkan hubungan suami dan ayah menantunya, yang selama ini tampak dingin dan canggung. Truly pun menggalang kekuatan di antara para menantu. Ia berharap semua akan mengajak para suami, untuk bersama-sama menentang rencana penjualan rumah tersebut.

Novel ini sungguh penuh cinta. Ia memperlihatkan betapa cinta-lah yang menjadi perekat hubungan, menjadi pemecah kebekuan, sehingga sebuah keluarga yang kaku dan kikuk mampu berubah menjadi keluarga yang mesra dan hangat. Bahwa cinta, yang mengantarkan pada pemahaman akan arti sebuah ketulusan, kasih sayang, dan kebersamaan.

Makna rumah yang ingin disampaikan oleh novel ini tercermin dari kutipan berikut: ...terlalu banyak kenangan, sejarah, dan cinta yang terjadi di sini. Rumah ini bukan sekedar rumah fisik, namun juga rumah hati, di mana seluruh keluarga, termasuk keluarga besar pulang untuk me-refresh hati... (halaman 380). Maka rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk berlindung dari panas dan hujan semata, namun lebih jauh dari itu, ia adalah tempat kembali, tempat segala cinta bermuara. Dan ketika masing-masing anggota keluarga telah menemukan pasangannya, kemudian keluar dari rumah demi memulai hidup baru, maka itu bukan berarti mereka benar-benar pergi dan menjauh. Karena jiwa-jiwa mereka seyogianya tetap tertinggal untuk senantiasa kembali dan berkumpul bersama demi merajut cinta, merekat hubungan yang terpisahkan jarak , dan mendekatkan hati.

Melalui novel ini, penulis pun menyadarkan pembaca mengenai kehidupan pasangan lansia. Apa yang ada di benak mereka, bagaimana perasaan dan kebutuhannya, serta kondisi fisik dan mental yang menyertai hari-hari tua mereka.  Hal ini menggugah kesadaran bahwa suatu saat, pembaca muda akan tiba pada fase tersebut. Bila sepanjang usia muda itu masih sanggup membahagiakan orang tua, semua harus dilakukan penuh ketulusan, karena masa senja itu kadang hanya hadir sesaat. Bila orang tua berpulang ke haribaanNya, akan tertinggal rasa penyesalan. Menyesal mengapa ketika masih ada, tidak berbakti sepenuh hati.

Cara penulis bertutur yang menggunakan PoV satu untuk tokoh-tokohnya, cukup mengasyikkan. Apalagi dengan bahasa yang ringan, mengalir, santai, beberapa terkesan kocak, menjadikan novel ini menyenangkan untuk dilahap hingga halaman terakhir. Walau kadang terasa membingungkan mengingat banyaknya tokoh yang berbicara. Namun sepertinya memang khas penulis ini yang kerap menghadirkan banyak tokoh. Pembaca mengidentifikasi karakter melalui eksplorasi emosi dan sikap para tokoh dalam setiap kesempatannya bertutur. Sayangnya, tidak terhindarkan karakter yang goyang, dalam arti tidak ajeg. Namun secara keseluruhan, novel ini enak dinikmati, disamping hikmahnya yang luhur yang terkandung di dalamnya.

#Resensi ini dimuat pada hari Selasa, 28 Januari 2014 di Annida-online

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Pencarian Cinta Seorang Geek





Judul Buku :  Geek In High Heels
Penulis  :  Octa NH
Penerbit  :   Stiletto Book
Jumlah Hal :   205 halaman
Terbit  :  Cetakan I, Desember 2013
ISBN  :   978-602-7572-20-1


Athaya, freelancer web designer, mengaku geek, tapi sangat modis. Tergila-gila pada high heels yang selalu dipadankannya dengan warna cat kuku. Namun nasib cintanya tidak secantik penampilannya. Di usianya yang menjelang 30, masih jomblo, setelah sebelumnya beberapa kali putus dari pacarnya dengan alasan tidak jelas.

Cerita bermula saat Athaya kabur dari sebuah acara makan malam keluarga, dalam rangka perkenalan calon suami sepupunya. Dibombardir dengan pertanyaan menyebalkan seputar dirinya yang masih belum punya pacar, menjadi alasan kuat pelariannya. Sebuah kafe yang ditemuinya ketika berlari menjauh dari restoran tempat acara tersebut, segera dimasuki Athaya.

Di kafe tersebut, Athaya ‘berebut’ meja dengan seorang cowok manis berkacamata, yang tentu saja dimenangkan Athaya. Saat duduk sendiri di meja itu, tiba-tiba Athaya punya ide aneh, mengiklankan dirinya di blog sebagai cewek yang sedang mencari calon suami.

Selanjutnya, seorang klien ganteng bernama Ibra, mendekati dan menunjukkan perhatian kepada Athaya. Pada saat yang sama, Athaya pun bertemu kembali dengan lelaki yang dulu memberikan meja di kafe ketika Athaya kabur dari acara makan malam keluarga. Lelaki itu, namanya Kelana, ternyata seorang penulis novel best seller yang terkenal.

Athaya dikepung gundah. Ia berada di antara dua pilihan, Ibra yang baik tapi workaholic atau Kelana yang asyik tapi sering menghilang juga karena terikat deadline menulis.

Novel ini nuansa chicklitnya kental sekali. Dengan tokoh utama perempuan dewasa muda, memiliki karir baik, tinggal di perkotaan. Dan tentu saja mengangkat problematika kisah cintanya. Ditulis dengan gaya bahasa yang ringan, segar, dan santai. Sangat khas metropop.

Tentang iklan Athaya di blog, ternyata itu menjadi semacam plant harvest, yang kemudian muncul menjadi penyelesaian pada ending kisah ini. Sebuah langkah yang layak diapresiasi.

Profesi Athaya sebagai web designer, mendapat porsi yang baik dalam deskripsinya. Cukup memperlihatkan bahwa Athaya adalah seorang geek. Sedang kecintaannya pada high heels, tidak semata berupa kesukaan mengenakannya, namun high heels menjadi semacam candu yang dibutuhkan saat Athaya ditimpa gulana. Ia akan berburu high heels di mal, menghidu aroma wanginya, lalu memajangnya di dekat komputer sehingga ia bisa tetap bekerja.

Novel ini asyik dinikmati sebagai selingan ringan bermutu yang menyenangkan. Dan karena ini bukan bacaan bertema berat, Anda tidak perlu banyak protes dengan adegan serba kebetulan yang terjadi di dalamnya . Dengan riwayat berkali-kali putus cinta, yang membuat nasib kisah cinta Athaya tampak mengenaskan, secara kebetulan ia berjumpa dengan Kelana, laki-laki yang tiba-tiba jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Kemudian Athaya dijatuhi cinta pula oleh Ibra, seorang pria dewasa yang mapan, ganteng, dan penuh perhatian. Lalu kebetulan lagi, Athaya bertemu kembali dengan Kelana.

Konflik seputar galaunya Athaya, menyisipkan pesan bahwa cinta harus dilandasi kejujuran. “Daripada lo terus dihantui perasaan lo sendiri. Lagian, semakin lama lo nggak jujur, semakin lama juga lo bikin dia menderita. Apa lo tega kalau dia mengharapkan lo sementara lo sendiri kayak gini? Mendingan lo ngebebasin dia buat nyari orang yang tepat di luar sana.” (halaman 189)
“Lo cinta salah satunya. Lo tahu yang mana. Lo juga tahu bakal menyakiti yang mana. Jadi, mending lo jujur aja.” (halaman 189)

Dan tagline pada cover yaitu: Tunggulah, cinta akan menemukanmu, menyiratkan isu utama novel ini adalah tentang cinta yang akan tiba pada waktunya. Cinta itu cukup ditunggu. Tidak perlu dicari. Ketika datang orang dan waktu yang tepat, dia akan ada, dan kamu akan menemukannya. Seperti cinta itu yang juga akan menemukanmu. (halaman 9)

#Resensi ini dimuat pada hari Minggu, 26 Januari 2014 di indoleader.comhttp://indoleader.com/index.php/resensi/1844-pencarian-cinta-seorang-geek

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Refleksi Perjalanan Cinta dan Cita-Cita




Tak ada yang abadi dalam hidup ini. Episode dalam kehidupan senantiasa berputar. Kemampuan memaknai lakon yang terjadi, lalu menangkap hikmah di dalamnya, dapat digali melalui perenungan dan senantiasa mengasah hati. Keberserahan diri kepadaNya, pun menentukan proses penerimaan setiap babak dalam kehidupan. Karena tidak ada penerimaan, tidak ada keikhlasan, tanpa melewati sebuah proses.  Sebuah proses yang dalam perjalanannya akan memperlihatkan seberapa baik ia mampu meng-up grade kualitas diri.
Adalah Tasaro GK, penulis cerdas asal Gunung Kidul, menuturkan proses perjalanan hidupnya dalam buku bertajuk “Sewindu”. Bilangan sewindu atau delapan tahun ini merupakan usia pernikahannya dengan perempuan bernama Alit Tuti Marta, yang dengan penuh cinta disebut Tasaro sebagai wanita terpilih baginya. Panjang atau singkatkah rentang usia tersebut, menjadi tidak penting, karena justru ruh dari perjalanan itulah yang memiliki nilai lebih.
Buku ini terdiri dari dua bagian. Bagian Satu, mengisahkan periode awal pernikahan Tasaro. Masa-masa beradaptasi sebagai pasangan baru, menjalani hubungan jarak jauh, menumpang di rumah mertua, hingga akhirnya menempati rumah baru, lalu berinteraksi dengan tetangga baru. Sedang Bagian Dua, merupakan refleksi kurun sewindu dengan beberapa nostalgi turut mewarnai.
Pada babak awal pernikahannya, Tasaro-Alit berjibaku dengan keterbatasan finansial. Mereka pun beradu dalam perbedaan-perbedaan yang kemudian mendewasakan. Tanpa aksi yang muluk, Tasaro memperlihatkan kepada pembaca bahwa pada ujungnya, cinta-lah yang bicara, meski lewat jalan yang sederhana. Sejatinya, demikianlah cinta. Ia menjadi payung yang meneduhkan dan melindungi.
Semangat yang Tasaro bagi melalui episode demi episode yang dilewati, terasa menggebu dalam derap mimpi-mimpinya. Kegigihannya belajar mengaji Quran yang dimulai pada usia yang tak lagi muda, sungguh patut digarisbawahi. Bayangkan, ketika anak-anak usia SD sudah lancar mengaji, Tasaro baru mulai belajar huruf hijaiyah pada usia 22 tahun! Benar-benar mengeja ‘alif, ba, ta’.
Kesadaran beragama terus mengental. Tasaro berpikir, ia harus keras terhadap dirinya sendiri saat menyangkut kedisiplinan beragama (halaman 106). Para suami yang selama ini merasa tenang-tenang saja, harus tertampar dengan ini. Betapa seorang Tasaro yang merasa keawamannya soal agama termasuk kebangetan, memiliki kesadaran penuh untuk menjadi imam dalam keluarga.
Sisi lain yang menarik dari pola pandang Tasaro adalah hal pendidikan. Kini ia mengelola lembaga pendidikan usia dini yang menganut model pendidikan yang mengeksplor potensi anak. Di PAUD yang dikelolanya, anak-anak berinteraksi dengan buku. Belajar melalui dongeng. Jangan sampai anak miskin imajinasi. Dan ini berkaca dari pengalamannya. Tasaro tidak ingin standar pendidikan terlalu memuja otak kiri. Sudah saatnya meninggalkan konsep standar kepintaran anak-anak hanya diukur dengan angka semata (halaman 290). Tasaro membuktikan, menduduki jabatan General Manager ‘hanya’ dengan ijazah D2-nya. Karena kemampuan dan potensinya boleh jadi menyamai lulusan S2.
Selain sisi-sisi yang serius, banyak bagian dalam buku ini yang menampilkan sisi humanis, romantis dan sentimentil. Kenangan-kenangan tentang kehalusan budi serta ketangguhan Ibunda dan Ibu Mertua. Juga serpihan masa kecil yang menyenangkan, masa SMP yang tragis karena kerap di-bullying, masa SMA yang mulai mengubah dirinya untuk berprestasi, masa kuliah yang indah saat berkegiatan aneka rupa, hingga bagaimana menjadi ayah yang keren, lalu bagaimana berinteraksi dan bersosialisasi dalam masyarakat.  
Sebagai seorang yang berprofesi penulis, Tasaro bertutur tentang pilihan hidupnya untuk ‘hanya’ menjadi penulis. Ditinggalkannya dunia kerja, kantornya yang nyaman dan fasilitas yang mengikutinya. Sungguh sebuah kisah penuh semangat yang membangun.
Yang paling menyentuh adalah kisah tentang Bapak. Bagaimana Tasaro bisa mendamaikan hati dengan Bapak yang telah meninggalkan keluarga selagi usia remaja? Mengapa ia sulit menemukan catatan menyenangkan, indah, damai, untuk dikenang antara dirinya dan Bapak? (halaman 348) Inilah bagian yang paling menggedor jiwa.
Boleh dibilang, buku ini komplet. Ia membuat tersenyum, tertawa, hingga berderai air mata. Dengan cover berwarna hijau manis, bergambar sebatang pohon kehidupan dihiasi delapan daun berbentuk lambang cinta, buku ini merupakan buku inspiratif yang lezat dan bergizi. Ditulis dengan bahasa yang segar, mengalir, diiringi sentuhan yang mengharu biru. Tasaro GK dalam karya perdana di ranah non fiksi, tidak kalah mengasyikkan dengan buku-buku fiksinya yang selama ini memikat banyak pembaca.
Membaca buku ini, pembaca diajak menikmati proses pergerakan Tasaro dalam masa bertumbuhnya menjadi pribadi yang matang. Inilah tuturnya: Delapan tahun ini, sebagaimana waktu mengubah dunia, saya kira, banyak pula pergeseran pemikiran dan orientasi hidup yang menyertai kami. Jika dulu, saat rumah tangga muda habis waktu memikirkan bagaimana kami makan, memiliki tempat tinggal, atau berpakaian layak, kini ada kebutuhan lain yang lebih fundamental, di posisi mana kami berada di tengah-tengah masyarakat? Peran apa yang harus kami ambil? (halaman 166)

Judul Buku                :  Sewindu
Penulis                        :  Tasaro GK
Penerbit                      :  Metagraf (creative imprint of Tiga Serangkai)
Tebal Buku                :  x + 382 halaman
ISBN                           :  978-602-9212-78-5
Terbit                         :  Cetakan I, April 2013

#Resensi ini dimuat di media online pada hari Rabu, 22 Januari 2014: rimanews.comhttp://www.rimanews.com/read/20140118/137184/refleksi-perjalanan-cinta-dan-cita-cita

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS