Powered by Blogger.
RSS

Buktikan Cinta Kepada Rasulullah




Judul Buku: Sunah-Sunah kecil Berpahala Besar
Penulis: Muhammad Safrodin
Penerbit: Bunyan (PT Bentang Pustaka)
Terbit: Maret 2014
ISBN: 978-602-291-014-5
Tebal: viii + 248 hal

Mengamalkan sunnah Rasul merupakan bukti kecintaan kita kepada manusia terpuji itu. Apa yang beliau lakukan, kita tiru dan amalkan menjadi amalan yang menetap yang akan berbuah pahala kebaikan. Seperti halnya seseorang yang mengidolakan tokoh atau artis, maka kebiasaan dan taca cara berperilakunya kerap diikuti. Apalagi perilaku akhlak Rasulullah yang sempurna, tentu seharusnya menjadi panutan dan kita teladani dalam kehidupan sehari-hari.

Singkirkan anggapan bahwa mengikuti sunnah Rasul adalah hal yang berat. Kedudukan beliau sebagai Rasul dengan predikat ma’shum, sementara kita hanya manusia biasa, tidak lantas membuat kita harus jeri, merasa tidak akan sanggup menjalani sunnahnya. Sebab ada sunnah-sunnah yang sederhana yang bisa kita lakukan, dan tetap bernilai pahala besar.

Buku “Sunah-Sunah Kecil Berpahala Besar” yang ditulis oleh Muhammad Safrodin, mengurai tentang amalan-amalan ringan yang biasa dilakukan Rasulllah. Meski ringan, ia berpahala besar, dan mengandung rahasia besar di baliknya. Dari mulai yang berkaitan dengan ritual ibadah, seperti: shalat-shalat sunah, puasa-puasa sunah, shalat tepat waktu, berwudu, dan lain-lain, hingga hal-hal yang nampak sepele, seperti: mengibaskan seprai saat hendak tidur, quicknap (tidur siang sebentar), tidur dalam keadaan suci, bersiwak, dan lain-lain.

Bab pertama dibuka dengan pembahasan tentang ‘Merapatkan dan Meluruskan Saf’. Tidak sekadar untuk kerapian saf shalat, namun di dalamnya terkandung hikmah dan filosofi yang dalam. Bahwa seorang imam atau pemimpin, bertanggung jawab atas pengikut yang ada dalam barisannya.

Saf yang tertata rapi menunjukkan bahwa jemaah memiliki keasadaran sosial yang tinggi serta kekompakan yang baik. Sebaliknya, saf yang amburadul dan tidak teratur memperlihatkan bahwa jemaah tidak memiliki kekompakan yang baik serta terlihat tidak rukun. (halaman 3)

Pembahasan dikuatkan dengan hadits-hadits serta petikan Al-Quran yang relevan. Pembaca diajak memahami dalil-dalilnya yang dipaparkan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Dijelaskan pula beberapa keutamaan melakukan sunah ini, serta ancaman atau akibat bagi yang melalaikannya. Lalu disebutkan juga langkah-langkah merapikan saf. Tak ketinggalan, ulasan dari sisi medis. Kerapatan saf salat ternyata berkaitan erat dengan kesehatan tulang kaki.

Selanjutnya ada pula uraian mengenai ‘Menyempurnakan Shalat’, yang diawali dengan hadits yang menggugah kesadaran. Rasulullah dengan kecerdasannya, menggunakan metafora yang menarik. Hadits tersebut berbunyi, Sejahat-jahat pencuri adalah yang mencuri dari sholatnya. Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mencuri dari shalat?” Rasulullah menjawab, Dia tidak sempurnakan rukuk dan sujudnya. (HR Ahmad)  

Dalam upaya menyempurnakan shalat, sangat penting mengutamakan sikap thuma’ninah, sehingga terhindar dari ketergesaan. Sikap ini hendaknya kemudian mewujud dalam sikap sehari-hari seorang muslim. Ketenangan dalam thuma’ninah akan menjadi sarana pengendalian diri yang baik. Di samping itu, hikmah lainnya adalah sebagai teknik relaksasi. Berikutnya uraian dari sisi medis pun disajikan dengan lengkap.

Hal-hal mengenai shalat, dikupas pada bab-bab sesudahnya, tentang jenis-jenis shalat sunah dan shalat tepat waktu. Dalil-dalil yang menguatkan disampaikan terperinci. Tidak hanya hadits dan Al-Quran, namun fakta kesehatan pun disertakan sebagai dalil ilmiah.

Setelah sunah dalam shalat, sunah lainnya adalah tentang wudu, yaitu: menyempurnakan wudu dan berwudu sebelum mandi besar. Kemudian dibahas juga tentang macam-macam puasa sunah serta menyegerakan berbuka dan mengakhirkan sahur.

Sementara itu, sunah yang berhubungan dengan kegiatan tidur, dibahas juga. Perangai tidur Rasulullah memiliki adab-adab yang menunjukkan karakter kepribadian beliau. Rasulullah sangat cinta kebersihan, maka sebelum beranjak tidur, beliau selalu membersihkan tempat tidur dengan mengibaskan alas tempat tidur atau seprai. Selain itu, sebelum tidur Rasulullah senantiasa melakukan shalat witir, mematikan lampu dan menutup pintu, mencuci tangan, dan berwudu. Sedangkan pada saat tidur, Rasulullah tetap menjaga auratnya agar tidak terbuka.

Semua kebiasaan yang dilakukan Rasulullah itu bisa dilaksanakan secara bertahap. Dimulai dari yang paling ringan hingga yang agak berat. Diharapkan pembiasaan tersebut nantinya akan menetap sebagai amalan yang istiqomah.

Dengan penjelasan yang terperinci dan komprehensif, buku ini menuntun pembaca untuk menyelami sunah-sunah Rasulullah dari berbagai sudut pandang. Seyogianya lalu tumbuh kesadaran akan pentingnya men-dawamkan sunah-sunah tersebut. Selain mengejar pahala, mengerjakan sunah Rasul merupakan pembuktian cinta kepada beliau. Karenanya, jangan tunda lagi, segeralah lakukan, dengan harapan akan tergolong ke dalam barisannya di yaumil akhir kelak.

Maka, buku ini sangat baik direkomendasikan bagi pembaca yang ingin memahami kedalaman makna sunah-sunah Rasulullah. Dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti, buku ini cocok untuk berbagai kalangan usia dan latar belakang profesi.

Mari buktikan cinta kita kepada Rasulullah, Sang Kekasih Allah. Allaahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘ala aali Muhammad.

#Resensi ini dimuat di media indoleader.com pada tanggal 27 Juni 2014

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kelindan Cinta, Klenik, Dangdut, dan Santri



Kelindan Cinta, Klenik, Dangdut, dan Santri

Judul Buku: Kelir Slindet
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2014
ISBN: 978-602-03-0356-7
Tebal: viii + 256 hal

Seorang putera daerah, menyuarakan kegelisahannya. Kontradiksi tarik menarik antara dua kutub, menjadi hal yang disorot. Ada kepercayaan pada agama dengan aroma kota santri yang menguar, namun kepercayaan pada klenik merupakan aroma lain yang terhidu. Ada grup kasidah yang santun dengan misi sucinya dalam syi’ar agama, namun grup dangdut dengan segala goyang erotiknya tetap akrab dalam keseharian. Ada cinta polos remaja kencur, yang tak berdaya oleh cinta orang dewasa yang penuh manipulasi. Hal-hal yang berkebalikan, berkelindan dalam konflik yang abadi, yang kemudian melestarikan kemaksiatan dan kedangkalan pikiran.

Kedung Darma Romansha, bertutur liar tentang tanah tercintanya, Indramayu. Sebuah kabupaten yang berada di jalur pantura, yang penuh dengan rupa-rupa masalah khas kelas bawah, yang entah diketahui atau tidak oleh para pemimpin yang terhormat negeri ini. Jikapun mereka tahu, entah apakah mereka kemudian pura-pura sibuk dengan hal lain. Dan masyarakat desa itu, tetap bergumul dengan segala keruwetan, kebodohan, dan kemaksiatan.

Novel ini diawali dengan tingkah si tokoh utama yang menggebu-gebu keinginannya untuk mengintip gadis pujaan hatinya yang sedang berlatih kasidah. Tokoh utama, yang kemudian diketahui bernama Muhaimin, namun lidah orang Indramayu melafalkannya dengan ‘Mukimin’, kesengsem pada Safitri, vokalis utama grup kasidah pimpinan kakaknya, Ustadz Musthafa.

Gayung bersambut, Safitri pun jatuh suka pada Mukimin, lengkap dengan seluruh kekonyolan dan ketololannya saat mereka duduk bersisian berdua. Pada saat demikian, Mukimin selalu gentar mengucap kata cinta. Keberaniannya melesap ke dalam bumi. Dan Safitri terpaksa menelan kecewa karena kata cinta yang dinanti, urung didengarnya. Namun ia tahu, bisa merasakan betapa cinta Mukimin terpanah dalam ke dasar hatinya.

Halangan besar menghadang. Latar belakang keluarga Safitri yang suram, sangat tidak layak bagi keluarga Mukimin yang terpandang. Ibu Safitri seorang mantan pelacur (telembuk), dan ayahnya hanya petani kecil, pemabuk, dan doyan telembuk. Sedang Mukimin, putra Haji Nasir, seorang haji kaya raya, yang juga seorang Kuwu, dengan pamor besar. Kakaknya, Ustadz Musthafa, adalah guru mengaji di mushola ayahnya.

Keadaan bertambah kusut, ketika ternyata Musthafa pun jatuh hati kepada Safitri, dan langsung datang melamarnya. Safitri gamang. Di tengah desakan ibunya yang memaksa untuk menerima lamaran tersebut, Safitri menguatkan nyali untuk menolak. Saritem, ibu Safitri, berang. Kesempatan untuk memperbaiki strata sosialnya, hilang sudah.

Safitri tidak peduli. Ia hanya ingin menikah dengan Mukimin. Namun keduanya baru 14 tahun, manalah mungkin bisa naik ke pelaminan. Maka mereka pun tetap saling cinta dalam diam.
Jalinan cinta Mukimin-Safitri sampai ke telinga Haji Nasir. Mukimin didamprat habis-habisan oleh ayahnya. Kisah kasihnya harus diakhiri. Bahkan Haji Nasir mengirim utusan menemui Saritem untuk menyampaikan hubungan anaknya dengan Mukimin. Saritem naik pitam. Ia merasa terhina. Didatanginya rumah Haji Nasir, lalu kalap mengumbar sumpah serapah.

Orang-orang ramai membicarakan keluarga Safitri. Safitri gundah bukan buatan. Ia mogok sekolah dan keluar dari grup kasidahnya. Saritem tambah meradang. Ditambah dengan sikap acuh tak acuh suaminya, Sukirman, membuat keluarga itu semakin panas.

Safitri mengurung diri di kamar. Ia tertekan, tak berdaya. Hasrat menyanyinya menjadi pelarian. Impiannya masa kecil untuk menjadi penyanyi dangdut, dilampiaskannya di kamar, sendirian. Ia bergoyang seronok, melenggok genit, melengkingkan suara, mengumbar senyum menggoda. Hingga puncaknya, ia betul-betul mewujudkan itu di panggung dangdut. Ia bagai menjadi Safitri yang lain.

Novel ini serupa jeritan sang penulis yang sesak oleh silang sengkarut di desanya, Desa Cikedung. Desa ini terletak di sebelah barat kota Indramayu. Ada pemilihan Kuwu, yang sarat dengan intrik licik khas politik negeri ini. Ada kekuatan klenik yang tetap mengakar, menjerat. Ada budaya erotik yang menjejali otak. Ada kemiskinan abadi yang menjadi alasan bagi perempuan bodoh untuk menjajakan tubuhnya kepada lelaki hidung belang yang tidak jauh miskin darinya. Ada orkes-orkes dangdut dengan para penyanyinya yang hilang akal memamerkan goyang menjijikkan yang membangkitkan birahi. Karut marut yang sempurna.

Demi menguatkan ke-Indramayu-annya, Kedung Darma Romansha dengan fasih menabur bahasa Dermayon di sekujur novelnya. Bahasa Dermayon yaitu bahasa Indramayu yang berbeda dengan bahasa Sunda. Meski berada di Tanah Sunda, namun bahasa Indramayu bercampur dengan bahasa Jawa dan Cirebonan. Tidak sedikit pula umpatan-umpatan kasar yang tidak pantas, namun sepertinya di sana adalah hal biasa. Dan Kedung tidak berniat menutupi, karena justru ia tidak ingin novelnya kehilangan ruh Indramayu-nya.

Tokoh Safitri, dengan namanya yang terdengar agamis, tercekik oleh rupa-rupa masalah. Kondisi dirinya yang anak mantan telembuk dengan ayah brengsek, kerap menjadi sasaran empuk olok-olok teman-temannya. Dan paras cantik dengan bibir merah kepundung, yang membuat para lelaki, bahkan lelaki alim, berusaha berebut cintanya, menjadi bahan gunjingan sekampung bahwa Safitri punya ilmu pengasihan. Suaranya yang merdu pun tidak membuat orang yakin bahwa ia memang punya daya tarik tersendiri. Keyakinan pada klenik lebih menguasai pikiran masyarakat sehingga segala sesuatu dihubung-hubungkan pada ilmu hitam. Safitri dalam usia mudanya, digambarkan cukup kuat dengan gempuran derita. Kekukuhan cintanya pada Mukimin, ketegarannya menghadapi pertengkaran ayah ibunya, ketidakpeduliannya pada gosip seputar dirinya, memperlihatkan betapa ia berusaha tetap berdiri teguh. Namun kemudian Safitri seperti menyamar menjadi orang lain. Ia menjadi penyanyi dangdut kelas rakyat. Bergoyang dan menerima banyak saweran. Masyarakat geger. Maka, ia menjadi sosok misterius, yang penulis segan mengungkap siapa Safitri sebenarnya.

Adapun Mukimin, bocah belasan tahun yang pembangkang. Gemar membolos dan lebih suka bergabung dengan teman-temannya yang urakan. Ayahnya, Haji Nasir, nelangsa melihat kelakuan anak bungsunya itu. Dan semakin lengkap keterpurukannya merasa gagal menjadi ayah, ketika mendapati Musthafa, sulungnya, ternyata tidak se-alim chasingnya. Potret ayah seperti ini, menggedor kesadaran pembaca, betapa mendidik anak bukanlah hal mudah. Butuh kedekatan dan komunikasi harmonis yang terbuka antar keluarga.

Potret lain, membidik masyarakat dengan kebiasaan bergunjing. Kesalahan orang riuh dibincangkan, dan ditambah-tambahkan agar lebih sedap. Tak peduli bahwa kasak-kusuknya akan melukai bahkan dapat menghancurkan objek yang digunjingkan. Pada titik ini, dimanakah pendidikan agama yang selalu bergaung? Tidakkah ia masuk ke dalam hati?

Meski sarat dengan kemuraman, novel ini tetap menghadirkan nilai-nilai pekerti dan agama yang luhur. Begitu banyak orang ingin memakai jalan singkat, sehingga dirinya mereka jual kepada jin atau setan. Sementara dikatakan di dalam Alquran kalau Alloh memerintahkan iblis untuk ‘sujud’ kepada Adam. Tapi sekarang rasa-rasanya itu sudah mulai terbalik. (halaman 170)

Bahwa segala sesuatu tidak boleh dilakukan tergesa, karena semua ada waktunya, tercermin dari nasihat Zaki, anak kedua Haji Nasir, kepada adiknya, Mukimin. Semua ada waktunya, Min. Tidak bisa seorang anak berumur delapan tahun memakai sepatu ukuran 41. Terlalu besar. Semua hanya menunggu waktu yang tepat. Sabar. Kendalikan dirimu. (halaman 144)

Sebagai penyair, Kedung Darma Romansha, tampak bebas dalam bernovel. PoV 3 yang dipilih, tiba-tiba berkombinasi dengan munculnya PoV 1 dari tokoh bernama Didi, yang muncul tiga kali dalam jalinan kisah ini. Adegan nyerempet vulgar sesekali mewarnai. Alur bergerak maju, namun pada bagian akhir, tetiba kisah mundur ke tujuh tahun sebelumnya, pada saat menjelang pemilihan Kuwu. Entah mengapa, bagian itu disimpan di sana.

Kegelisahan Safitri dengan mempertanyakan nasibnya pada Tuhan, ditutup dengan su’uz zhon kepadaNya. Jiwa santri penulis memperlihatkan tanggung jawabnya. Membayang pula Tuhan dalam benaknya. Ia bertanya-tanya, ‘apakah benar ini semua Kau yang merencanakan? Jika benar, untuk apa?’ Tentu Tuhan punya rencana yang baik untuknya. (halaman 212)

Pada akhirnya, membaca novel ini cukup menyenangkan. Bahasa yang mengalun sepanjang kisah, terasa indah. Ia bukan diksi yang genit. Deskripsi setting pun sangat memadai. Pula deskripsi tokoh dan geraknya. Namun siapa yang bisa menebak, mengapa judulnya ‘Kelir Slindet’? Slindet itu sendiri adalah seafood mirip kerang, bentuknya lonjong. Bagian luarnya berwarna hijau, dagingnya kuning. Ada juga yang mengatakan kerang laut. Mungkin slindet ini semacam petunjuk dari penulis untuk mengungkap misteri Safitri. Dan sepertinya akan lebih tergambar nanti pada buku lanjutan dari trilogi ini.

Bagi penyuka novel metropop, chicklit, dan sejenis novel-novel yang relatif ringan, maka novel ini kurang cocok bagi Anda. Tetapi jika Anda menggemari novel dengan nuansa beda, dengan bahasa tertata, maka novel ini layak masuk ke dalam koleksi Anda.

Selamat menyelami kegetiran Safitri..

Malam yang lelah. Udara murung. Langit kelam, serupa bayangan samar dalam kepalanya. Hantu seperti inilah yang sebenarnya paling ditakuti. Hantu yang menempel dalam setiap ingatan. Sungguh meresahkan dan mengerikan. Ia membayangkan hatu-hantu itu berperang. Hantu baik dan hantu jahat, semua ada dalam dirinya. Ia harus melepaskan hantu-hantu itu. Tapi tak bisa. Hantu itu menempel seperti usia. Kadang Safitri tersenyum sendiri, lalu menangis dengan cepat. Cikedung tak akan melupakan peristiwa ini. Cikedung yang sembunyi dalam kesepiannya. Cikedung yang polos dan urakan. Cikedung yang berdiri dengan gagah di dalam impian orang-orangnya. (halaman 212)

Begitulah akhirnya, perjalanan tak harus sampai pada apa yang dipikirkan manusia. Semua orang mendesak untuk berjalan paling depan. Lantas siapa yang berada di belakang jika semua orang ingin berada di paling depan? (halaman 241)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Married by Accident yang Beda




Judul Buku : Meski Cinta Saja Tak Pernah Cukup
Penulis : Deasylawati P.
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Cetakan I, Maret 2014
Tebal Buku : 368 halaman
ISBN : 978-602-1614-07-5

Ini novel pertama karya Deasylawati yang saya baca. Mungkin terlambat ya, karena karya-karya Mbak Deasy ini sudah berderet-deret. Dan melihat track recordnya, buku-buku buah karyanya bukan buku-buku biasa. Komplet, ada fiksi dan non-fiksi. Fiksi dengan beragam tema dan genre, ada novel thriller, novel kocak, novel romance, novel tentang difabel, novel yang berisi kritik tajam pada dunia medis, dan sebagainya. Demikian juga non-fiksi, ada peruntukan bagi remaja dan dewasa. Tak ketinggalan buku anak-anak pun digarapnya. Benar-benar penulis jempolan kan?

Novel “Meski Cinta Saja Tak Pernah Cukup”, bertutur tentang dunia rumah tangga yang dialami oleh sepasang pengantin baru, Silmi dan Yunan. Mereka menikah by accident. Bukan karena hamil duluan lho, tapi ini pernikahan tak terduga yang harus dijalani demi nama baik keluarga dan utamanya demi kebahagiaan seorang ayah yang ingin menyaksikan pernikahan putri tercintanya, pada saat didera penyakit jantung hebat.

Yunan yang memang sejak lama menaruh hati pada Silmi, merasa bahagia tak terkira. Sebaliknya, Silmi yang sama sekali nggak kepikiran akan menjadi istri Yunan, susah payah menjalani hari bersama Yunan dengan segala sifatnya yang berseberangan dengan dirinya. Silmi yang teratur dan rapi, sementara Yunan cenderung cuek dan sembarangan. Silmi yang tegas dan disiplin, sedang Yunan penganut jam karet dengan sikap santainya.

Silmi dan Yunan bekerja pada kantor yang sama, sebuah penerbitan. Silmi editor, Yunan staf divisi kreatif. Keduanya sudah saling mengenal sifat masing-masing. Namun rupanya ketika berada dalam biduk rumah tangga, nggak mudah mengendalikan biduk agar tetap tenang.

Pencetus konflik Yunan dan Silmi dipicu oleh rasa cemburu Yunan pada Daniar yang tampak dekat dengan Silmi. Padahal Yunan sudah sejak lama bersahabat baik dengan Daniar. Namun api cemburu terus saja memantik pertengkaran.

Novel ini, kalau saya boleh sotoy, sepertinya adalah novel yang cukup ringan dibanding karya-karya Deasylawati lainnya. Ini tentang konflik seputar adaptasi pasangan baru dalam menapaki hidup berumah tangga. Letupan konflik di dalamnya tergolong biasa. Ada saingan-saingan dalam merebut cinta, ada egoisme dalam interaksi pasangan, ada benci tapi rindu, dan seputar itu.

Prolog novel ini cukup memikat, membuat saya terikat, dan tak ingin melepaskannya. Sayangnya, emosi yang terbangun kuat di awal, ternyata tidak demikian di bagian tengah. Pada prolog dikisahkan kakak adik yang terpisah dalam suasana sangat memilukan. Betapa saya merasa ikut meronta, menjerit, melolong memanggil nama ‘Syahdan’ ketika Naila ditarik menjauh dari kakaknya itu. Dan betapa hati saya juga mencelos bersama Syahdan saat mendapati tempat Naila telah kosong. Naila lenyap.

Tentu pembaca, termasuk saya, akan menebak-nebak seperti apakah kelak pertemuan kakak beradik itu pada bagian isi novel. Sejujurnya saya menginginkan sebuah suasana dan alur yang beda dan menghentak pada moment pertemuan tersebut. Tapi, ternyata Mbak Deasy mengarahkan pada sesuatu yang kurang menarik minat saya. Bukan berarti buruk, karena selanjutnya Mbak Deasy dengan kepiawaiannya, mampu mengolah kisah ini menjadi kisah yang cukup dinamis.

Faktor kebetulan kerap terjadi dalam sebuah fiksi, bahkan lebih parah bila itu terjadi dalam sinetron. Di novel ini, beberapa kebetulan pun turut mewarnai. Bahkan menjadi faktor utama. Bagaimana kebetulannya Daniar bertemu dengan Silmi, dan kebetulan juga Yunan memang jatuh hati pada Silmi, lalu kebetulan lagi ada Dell yang cinta mati pada Yunan. Belum lagi, dokter muda Rifki, yang beberapa kali selalu ‘tak sengaja’ berada dalam interaksi Yunan-Silmi-Daniar-Dell. Tapi ya, namanya juga cerita ya, tokoh-tokohnya pasti kait mengait satu dengan lainnya. Hanya saja, saya kurang suka pada model serba kebetulan seperti ini. Mungkin ini seleratif, sih.. :)

Lalu, tentang ingatan masa kecil yang hilang. Saya nggak tau juga, apakah memang daya ingat seorang anak usia 5 tahun itu, sangat kabur. Saya sendiri masih bisa mengingat dengan baik, bagaimana dulu suasana sekolah TK saya ketika pertama kali masuk di Kelas Nol Kecil (sekarang sebutannya: Kelompok A). Nah, Naila yang kehilangan kakak semata wayang, kok bisa segitu lupanya sama sosok Syahdan? Dan apakah wajah seseorang demikian berubahnya sehingga tidak lagi bisa dikenali saat dewasa? Syahdan, ketika diinformasikan tentang adiknya yang hilang, kenapa masih tampak ragu? Saya kira, reaksinya akan lebih tepat bila ia membuka ingatan dengan menelusuri wajah adiknya, lalu dia berpikir, Oh iya, benar wajahnya adalah wajah adikku. Bukankah alis Naila saling bertaut, dan merupakan ciri yang sangat khas, seperti halnya lesung pipit?

Novel ini menggunakan dua PoV. Ada PoV 3, dikombinasi dengan dengan PoV 1 dari sisi Naila. Penempatan perubahan PoV-nya tidak bergantian. Porsi PoV Naila jauh lebih sedikit. Tapi nggak mengganggu kenyamanan membaca, sih. Cuma kayaknya lebih enak kalau sistematis per bab.

Yang saya suka dari novel ini adalah pesannya ngena banget. Nyampe ke hati deh. Bahwa cinta itu bukan segalanya, tapi bukan berarti ia boleh tak ada. Cinta itu harus ada, karena tanpanya semua jadi hampa. Tapi cinta bukan untuk menuntut kesempurnaan.

Kita ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai. Tetapi untuk belajar mencintai seorang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna. Dan karena cinta itu memang harus diupayakan. (halaman 287)

Kemudian tentang cinta yang membuat buta. Seperti cintanya Dell kepada Yunan. Betapa cinta bukan untuk menjadi alasan agar tetap memaksakan diri menyatu, apalagi dengan menyakiti perasaan sesama perempuan. Cinta seharusnya membuat bahagia, bila ia berlandaskan cinta kepada Allah. Poligami sebagai aturan Allah, bukan untuk menjadi alat pemenuhan nafsu.

Tapi bagaimana jika kau yang menjadi yang pertama, dan ditawari akan ada yang menjadi yang kedua? Sanggupkah dirimu? Dellia memejamkan matanya kali ini. Menahan bulir-bulir lembut yang siap luruh membasahi kedua pipinya. Karena kau mencintai seseorang bukan karena Allah. Itulah yang menjadikan cinta itu menyakitkan! (halaman 316)

So, novel ini cukup menyenangkan. Cocok untuk yang masih lajang maupun yang sudah dobel. Unsur romance-nya lumayan dapet juga. Deskripsi settingnya pun asyik. Tapi, kenapa judulnya itu, ya? Mungkin supaya terasa romantic-nya. Sebagai penyuka judul simpel, saya lebih suka judul lain. Ini kepanjangan.  Walaupun cukup pas menggambarkan isi novel.

Ok, selamat memburu novel ini, nggak akan nyesel kok. Setidaknya bisa menjadi motivasi buat menghangatkan cinta bagi pasutri, dan cukup menjadi provokator bagi yang masih lajang. Jadi, lajangers, siap-siap ngiri aja.. :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS