Powered by Blogger.
RSS

Tentang Iman dan Kemanusiaan




Judul Buku                :  Maryam
Penulis                        :  Okky Madasari
Penerbit                      :  Gramedia Pustaka Utama
Cetakan                      :  Februari 2012
Tebal Buku                :  280 halaman
ISBN                           :  978-979-22-8009-8

Ketika pertama kali baca “Entrok”, saya langsung jatuh cinta sama novel itu. Meski ada hal-hal yang beraroma vulgar, tapi kisahnya demikian membumi, sehingga membacanya memberi efek candu. Gaya penuturannya lugas, tapi tetap terasa indah. Kemudian saya baca karya Okky Madasari lainnya berjudul “86”. Saya masih terkagum-kagum dengan novel ini, meski aroma jurnalisnya terlalu pekat. Tapi tetap dua jempol saya berikan. Setelah itu, saya baca “Pasung Jiwa”, dan mulai merasakan tidak nyaman dengan tema yang digelar serta cara eksekusinya. Terakhir, saya baca “Maryam”, rasanya semakin menipis kekaguman itu.

Temanya sangat tidak biasa, mengangkat kelompok Ahmadiyah, dengan latar tempat di Lombok. Tokoh utama, Maryam, adalah perempuan yang terlahir dari rahim seorang Ahmadi sejati. Ia tidak bisa menolak didikan ayah ibunya yang menggiringnya untuk menjadi seorang Ahmadi pula. Mereka shalat di masjid yang berbeda, serta mengikuti pengajian rutin yang berbeda pula dari orang-orang pada umumnya.

Ayah Ibu Maryam sangat menjaga putrinya agar tetap berada di lingkungan Ahmadi. Maryam patuh. Ia tidak pernah jatuh cinta kepada siapa pun. Hingga akhirnya saat kuliah, orang-orang mulai menjodoh-jodohkannya dengan pemuda Ahmadi juga. Namanya Gamal, empat tahun lebih tua dari Maryam, sedang mengerjakan skripsi di Teknik Mesin ITS. Secara alami, keduanya ternyata saling jatuh cinta.

Keadaan berbalik ketika Gamal pulang dari Banten untuk urusan skripsi. Ia menjauh. Tak lagi mau berinteraksi dengan komunitas Ahmadi-nya. Gamal berpindah jalan, melepas ke-Ahmadi-annya. Dan akhirnya Gamal benar-benar menghilang. Maryam patah hati. Ia berdarah-darah dalam luka yang terus membasah.

Selepas lulus kuliah di Surabaya, Maryam melesat ke Jakarta. Perjumpaannya dengan Alam, seorang non-Ahmadi, mampu menggeser posisi Gamal. Maryam pun menetapkan satu tujuan: hanya ingin hidup bahagia bersama Alam. Dan konsekuensinya tentu berimbas pada keharusan untuk keluar dari Ahmadi.  Maryam tak peduli. Ia hanya ingin hidup bahagia bersama lelaki yang mencintai dan dicintainya. Tak ingin lagi ia mengalami kehilangan seperti dulu. Maka ditentangnya ayah ibu tercinta. Maryam pun pergi meninggalkan keluarganya dan kampung kelahirannya, Gerupuk.

Ternyata bahagia masih sulit diraih. Aneka konflik mengepung kehidupan rumah tangga Maryam. Hingga cinta Maryam dan Alam pun karam. Kembali ke kampung menjadi pilihan Maryam untuk menenangkan gejolak hatinya.

Sekian tahun tak pulang, Gerupuk telah berubah. Rumahnya kosong. Telah terjadi pengusiran terhadap warga Ahmadi. Maryam teriris hatinya, membayangkan penderitaan yang dialami ayah ibu dan adiknya. Ia tak ada saat tragedi terjadi. Rasa bersalah yang bertubi, membuatnya berusaha sekuat tenaga mencari jejak keluarganya.

Bagaimana selanjutnya kisah Maryam, tidak akan saya ceritakan. Sinopsis cukup sampai di sini. Ada banyak perkembangan baru dalam status Maryam sebagai janda. Dan tentu saja perkembangan kaum Ahmadi berikutnya. Terlalu spoiler kalau diceritakan semua.

Apa sebetulnya yang ingin disampaikan buku ini? Mendedah siapa kaum Ahmadi? Tidak begitu. Sepertinya penulis ingin menyentuh sisi-sisi kemanusiaan di balik penyerangan terhadap kaum Ahmadi. Tapi yang terasa malah jadi seba nanggung. Tidak ada penjelasan tentang apa itu kaum Ahmadi. Apakah pembaca novel ini semuanya tahu apa itu Ahmadi? Hanya ada disebut-sebut tentang gambar seorang lelaki. Yang dimaksud tentu Ghulam Ahmad. Di antara bingkai-bingkai itu, terselip satu gambar tanpa bingkai. Gambar laki-laki itu. Yang dicintai dengan tulus oleh keluarganya. Yang menjadi perekat dan penyatu. Tapi yang sekaligus membuat hidup mereka kerap diwarnai nada sendu (halaman 59).

Penulis memosisikan diri di tengah. Tidak memihak. Ingin mengajak pembaca untuk menyelami luka hati penganut Ahmadi yang tersakiti akibat diusir dan diserang. Bahwa kaum Ahmadi hanya ingin hidup damai. Tidak mengganggu, dan tetap saling menghormati. Hei.. tunggu! Pihak pemerintah, MUI dan orang-orang yang menentang keberadaan Ahmadiyah, bukan berarti menginginkan ada yang tersakiti dan menderita. Esensinya adalah karena ajaran yang dibawa Ahmadi bertentangan dengan ajaran Rasulullah Muhammad SAW. Jadi ketika digambarkan kondisi Fatimah, adik Maryam, yang mendapat perlakuan diskriminatif di sekolah, rasanya simpati saya tidak terbangkitkan. Sepertinya itu bukan diskriminatif, tapi kompromistis. Toh Fatimah tetap bisa bersekolah, meski nilai Agama di bawah rata-rata, dan itu tersebab ke-Ahmadi-annya, bukan oleh buruknya nilai yang didapat.

Ilustrasi menyedihkan lainnya ketika ayah Maryam meninggal. Bahkan setelah terbujur kaku pun, mayat seorang Ahmadi tetap ditolak oleh warga. Apakah dalam hal ini, rasa kemanusiaan yang harus dikedepankan? Tetap saja, masalah aqidah adalah masalah yang prinsip. Hendaknya orang-orang Ahmadi menyadari itu.

Memang ternyata orang Ahmadi itu ngeyel. Digambarkan dalam beberapa dialog betapa mereka keukeuh untuk satu hal, sementara yang menjadi pokok permasalahan adalah hal yang lain. Gubernur sudah menyediakan tempat penampungan bagi warga Ahmadi yang terusir. Sudah mengupayakan bantuan rutin dari Dinas Sosial. Tapi orang-orang Ahmadi itu tetap saja mempertanyakan kenapa mereka tidak boleh tinggal di rumahnya yang dulu. Padahal sudah jelas, ajaran mereka itu yang merupakan jalan sesat yang tidak bisa diterima warga. Kembalinya mereka ke rumah yang dulu, hanya akan memicu kerusuhan kembali.

“Kalau selamanya harus tinggal di pengungsian seperti ini, bagaimana, Bu?” wartawan itu bertanya lagi.
“Ya bagaimana lagi?” perempuan itu balik bertanya.
“Sudah lama tinggal di sini, apakah terpikir untuk menuruti permintaan orang-orang itu...?”
Perempuan itu tampak bingung dengan pertanyaan wartawan.
“Maksudnya keluar dari Ahmadiyah agar bisa pulang lagi ke rumah,” jelas wartawan.
Perempuan itu menggeleng. “Namanya orang sudah percaya,” jawabnya. “Semakin susah, semakin yakin kalau benar,” lanjutnya.
Wartawan itu terdiam. Raut mukanya menunjukkan rasa kasihan, tak tega, sekaligus terharu. Tak jauh dari mereka, Maryam pun berkaca-kaca. Sementara perempuan yang bicara tetap seperti biasa-biasa saja. Demikian juga teman-temannya
(halaman 272).

Dalam epilog novel ini, tertulis surat yang dibuat Maryam untuk penguasa negeri, konon untuk ketiga kalinya. Isinya tentang penderitaan kaum Ahmadi selama hidup di tempat pengungsian. Maka yang diinginkan adalah keadilan, bukan bantuan. Dan tidak akan ada dendam akibat perlakuan buruk yang diterima di masa lalu. Fyuuh.. rasanya saya pingin bilang, “Cape deeh..!” Kok warga Ahmadi itu nggak ngerti-ngerti, ya?

Karakter Maryam dalam kisah ini terkesan goyah. Sebagai Ahmadi yang menjadi Ahmadi tersebab keturunan, ia mengalami kegalauan. Seperti anak-anak Ahmadi lainnya, saat sekolah mereka takut dengan pelajaran agama yang menyebutkan Ahmadiyah sebagai aliran sesat. Namun lama-lama, kata ‘sesat’ menjadi akrab dalam kesehariannya. Kehidupan sebagai Ahmadi kembali dijalani. Tapi, saat dewasa, keinginan melepaskan diri menggebu lagi. Dan memang Maryam pun kemudian keluar dari Ahmadiyah. Bahkan saat menikah dengan Alam, ia bersyahadat lagi.

Pasca perceraiannya, Maryam tetap bukan Ahmadi. Namun ia sangat kukuh membela keluarga dan kaum Ahmadi lainnya. Hal itu murni dilatari rasa cinta keluarga, dan bukan karena membela keimanan. Sebagai bukan Ahmadi, seharusnya Maryam paham betul, mengapa Ahmadiyah dilarang hidup di negeri ini. Tapi ia menutup mata. Semua berdasar rasa kemanusiaan belaka. Ini cukup mengesankan ambigu. Masalah iman bukan berarti harus minggir ketika kemanusiaan maju ke depan, toh?

Cover buku ini pun terasa kurang nge-klik di hati. Terdapat ilustrasi tokoh Maryam, sebatas pundak. Kenapa harus tanpa busana? Dan tangan Maryam yang menggenggam rumah, kok seperti ada tiga tangan, ya?

Terlepas dari masalah iman dan keyakinan, saya menarik satu pelajaran tentang menjadi orangtua. Betapa hati harus membentang seluas semesta, betapa sabar harus selalu melekat dalam dada, betapa cinta harus melimpah tanpa dipilah. Buah hati yang menjadi tumpuan, yang kepadanya digantungkan sejuta harap, yang digadang-gadang akan menjadi anak baik sesuai ajaran agama yang ditanamkan sejak kecil, setelah dewasa, tak ada lagi kuasa orangtua dalam memengaruhi jalan hidupnya. Orangtua harus siap menghadapi keadaan ketika kenyataan tak sesuai harapan. Di titik ini, saya meyakini dalam diri, sejak sekarang, jangan pernah putus doa dipanjatkan demi keselamatan putra-putri tercinta, terutama keselamatan aqidahnya.


  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Misteri Akademi Nusa






Judul Buku                :  Melintasi Batas
Penulis                        :  Sinta Yudisia
Penerbit                      :  Dar!Mizan
Cetakan                      :  I, 2005
Tebal Buku                :  296 halaman
ISBN                           :  979-752-253-9



Blurb:
Atas perintah majikannya, Intan diharuskan menemani Karina –seorang foto model ternama- bersekolah di Akademi Nusa, sekolah alternatif bagi anak-anak para petinggi negeri dan perwakilan negara asing. Sebuah sarana pendidikan yang memiliki fasilitas sangat lengkap dengan para pengajar berkualitas internasional.
Namun, banyak hal terjadi di sana! Apalagi, mengingat para siswanya yang hampir bermasalah. Ada anak bos mafiosa Italia, anak bangsawan Belanda, anak konglomerat minyak Timur Tengah, dan masih banyak lagi. Benarkah ada konspirasi terselubung di sekolah nan megah itu?
Akademi Nusa yang gemerlap laksana mercusuar di Kepulauan Nusa Penida, Bali, itu semakin sulit dijamah saat Intan dituding sebagai pecandu narkoba. Padahal, dia bukanlah siapa-siapa! Intan hanyalah anak seorang pembantu!
Belum jelas kasus yang menimpa Intan. Dua kali, Linda nyaris mati! Apa benar ada yang menginginkan kematiannya? Ataukah ada hal lain yang membuat Akademi Nusa begitu misteri dan sulit dijamah?
Harus ada manusia-manusia yang berani mengambil risiko: Melintasi Batas!

Sinopsis:
Cerita diawali dengan mendaratnya Karina di Pulau Dewata. Ia akan bersekolah di Akademi Nusa, sebuah sekolah eksklusif dengan kurikulum berbeda dari sekolah biasa. Karina tidak datang sendiri dari Jakarta. Mamanya menugaskan Intan, anak pembantu mereka, untuk menemani selama bersekolah di sana.
Rencana tinggal rencana. Akademi Nusa sangat ketat menerapkan peraturan. Selain siswa, tidak boleh ada orang lain yang masuk ke area sekolah. Intan kebingungan. Akhirnya ia mencari penginapan murah di sekitar itu.
Sebagai muslimah shalihah, Intan merasa tidak nyaman karena amanah tidak bisa dilaksanakan. Maka ia bertekad untuk bisa masuk ke dalam Akademi Nusa, demi mendampingi Karina. Di samping itu, bayaran tinggi yang dijanjikan Mama Karina, sangat dibutuhkan agar bisa menambah tabungannya untuk melanjutkan sekolah.
Dengan perjuangan alot, akhirnya Intan diizinkan masuk. Kebetulan kaki Karina terkilir cukup serius, sehingga butuh bantuan orang untuk mendorong kursi rodanya.
Sementara itu, suasana di antara para siswa terjadi perubahan dengan kedatangan siswa baru, Karina dan lainnya. Pertemanan antara Sabrina, Rendi, dan Jeremy, merenggang. Sabrina merasa sebal karena anak-anak baru itu lebih menarik perhatian para cowok seangkatannya. Begitu pun di antara sesama angkatan Karina sendiri, mulai timbul friksi.
Ketika pelajaran praktik terbang layang, terjadi insiden gawat. Parasut yang dikenakan Linda, teman seangkatan Karina, tidak mengembang. Kunci pengamannya rusak. Kakak kelasnya, Julie berusaha menolong. Mereka berdua mendarat dengan posisi jatuh bertumpang tindih, terbebat tali, dan terkurung payung. Julie luka ringan, sedangkan Linda cukup parah. Kakinya harus digips.
Pembina Akademi, Ibu Sukreni, menawarkan kepada Intan untuk menjadi pendamping Linda. Meski sering dibully secara verbal yang merendahkan posisinya sebagai pelayan, Intan tetap menerima tawaran itu. Karena dengan demikian, ia bisa berada lebih lama di dalam Akademi Nusa, sehingga bisa tetap memantau keadaan Karina.
Kedekatan Julie dengan Sabrina kemudian terus berlanjut. Keduanya mencium ketidakberesan pada diri Linda. Mereka mendapati Intan diperlakukan semena-mena oleh Linda. Dan penderitaan Intan tidak cukup di situ, beberapa hari kemudian ia dipanggil Ibu Sukreni lalu diminta test urine. Hasilnya positif menunjukkan bahwa Intan pengguna narkoba. Intan dilarang beraktivitas apa pun sampai penyelidikan mengenai keberadaan zat aditif berbahaya itu selesai.

Review:
Apa yang temen-temen rasakan ketika membaca blurb di atas? Ini novel yang keren, kan? Beraroma misteri dan detektif. Yup! Novel ini bukan seperti novel kebanyakan. Setidaknya menurut saya, ada sepuluh hal menarik:
1.      Idenya unik. Permasalahan yang terjadi pada anak-anak orang kaya. Mereka berkumpul dalam sebuah kamp eksklusif yang nyaman dengan fasilitas super lengkap. Kemudian dibenturkan dengan sosok Intan, gadis mandiri dari kalangan bawah.
2.      Pemilihan tokoh yang bukan sekedar remaja anak orang kaya Indonesia, tapi dari berbagai belahan dunia, cukup menarik dan variatif. Ada Irene Girbaud dari Perancis, Ayman Saad dari Mesir, Andre Fentini dari Italia, Julie Blanskerpoor dari Netherland, dan lain-lain.
3.      Deskripsi tokoh sangat detil. Gadis beralis tebal, bermata cekung, tulang pipi menonjol, berambut keriting, dan kulit kemerahan menandakan ia berasal dari wilayah Arabia (halaman 13). Deskripsi ini pun diselipkan dalam banyak narasi dan dialog, sehingga tidak melulu berupa penjelasan.
4.      Setting tempat tergambarkan dengan sangat baik. Pemandangan elok Bali, Nusa Penida, maupun seluk beluk sekolah Akademi Nusa benar-benar diuraikan detil.
5.      Memaparkan kondisi SDM tanah air dengan negara lain. Pembaca diajak berpikir mengenai potensi diri dan pengembangannya. Bagaimana kita harus dapat berkompetisi di dunia internasional. Bagaimana kita mengerahkan kemampuan mengolah kekayaan alam yang melimpah yang dimiliki negeri ini. Masalah serius tersebut, menyusup halus dalam cerita.
6.      Menyadarkan arti pentingnya keluarga. Anak-anak orang kaya dalam kisah ini, mengalami beragam masalah yang benang merahnya adalah kehilangan kehangatan sebuah keluarga. Tampak bahwa uang dan materi sama sekali tidak menjamin kebahagiaan seseorang. Berimbas pula pada kemandirian dan tanggung jawab. Sosok Intan, mewakili remaja dari keluarga yang penuh kasih sayang, meski latar ekonomi tidak mampu.
7.      Penulis sangat sabar menghembuskan unsur misteri yang melingkupi Akademi Nusa dan orang-orang yang ada di dalamnya. Membuat pembaca gregetan, tapi dipaksa menahan diri.
8.      Banyak informasi yang membuka wawasan pembaca. Tentang narkoba, kebudayaan Bali, dan pengetahuan umum lainnya termasuk wawasan keislaman.
9.      Bahasanya segar, ringan dan mengalir, mudah dicerna oleh pembaca remaja sekali pun.
10.  Mengangkat lokalitas budaya tanah air.

Mengiringi hal-hal yang menarik, ada juga yang terasa mengganjal:
1.      Logika yang agak sulit diterima untuk kondisi Intan sebagai pendamping Karina. Apa yang ada di benak Mama Karina ketika menugaskan Intan? Tidak mungkin sebagai siswa karena biayanya yang selangit. Apakah Mama Karina tidak tahu peraturan Akademi Nusa yang melarang siswanya ditemani, demi menanamkan kemandirian? Jadi, bagaimana caranya Intan diminta untuk memantau Karina sehari-hari? Dan ketika Intan sendirian karena dilarang ikut saat di dermaga, mengapa tidak langsung menghubungi Mama Karina?
2.      Masih tentang kelogisan cerita. Akademi Nusa dengan kualitas bertaraf internasional, dengan peraturan yang sangat ketat, kok bisa luluh pada Intan yang notabene cuma gadis sederhana yang bukan siapa-siapa.
3.      Cover yang kurang greng, dari pemilihan warna maupun ilustrasi. Gambar 3 orang lelaki rasanya tidak ada kaitannya dengan cerita lebih didominasi tokoh utama dari kaum perempuan.
4.      Ending kurang jelas. Mungkin maksudnya menggantung, tapi menggantungnya juga terasa kurang enak. Sepertinya pembaca diminta untuk melakukan analisa dari keterangan yang terkumpul di bagian akhir. Apabila demikian, memang akan didapat satu kesimpulan, meski jatuhnya jadi nebak-nebak. Yang jelas, cerita ini rasanya tidak ditutup dengan asyik.

Satu hal yang perlu diingat, novel ini terbit nyaris sepuluh tahun yang lalu. Maka, hal-hal yang mengganjal seperti di atas sudah tidak lagi ditemui dalam karya terbaru Mbak Sinta Yudisia. Dan untuk ukuran tahun 2005, novel ini tentu sangat keren pada zamannya.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Kisah Sebelas Mimpi




Judul : Pasukan Matahari
Penulis : Gol A Gong
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Tahun Terbit : Pertama, September 2014
Jumlah Halaman : 368 halaman
ISBN : 978-602-1614-43-3
Harga : 69.000,-
 

Ini review edisi suka-suka, yang edisi serius sekarang lagi ngantri di media cetak. Semoga dimuaatt.. Aamiin..

Novel ini masuk kategori novel inspiratif. Based on true story. Kisah perjalanan hidup Gol A Gong sebagai seorang penyandang disabel, yang diwakili oleh tokoh Doni. Kisahnya ini bukan saja menggugah, tapi memiliki daya menggerakkan. Dan tidak hanya bagi para penyandang disabel itu sendiri, tapi juga bagi para orangtua yang berputra seorang penyandang disabel.

Ini blurbnya:
Menjadi anak kampung dengan segala keterbatasan tak membuat delapan anak yang tergabung dalam geng Pasukan Semut menjadi rendah diri, juga tak punya mimpi. Kondisi dan lingkungan telah menempa mereka untuk tumbuh menjadi anak-anak yang memiliki mimpi menggapai langit.

Begitu juga empat anak yang tergabung dalam geng Empat Matahari. Meskipun tubuh keempat anak itu tak sempurna, namun mereka pun puya cita-cita menggapai langit. Meskipun mereka juga anak kampung dan juga fisik mereka cacat, tapi mereka yakin suatu saat nanti mimpi akan menjadi nyata.

Dan, anak Gunung Krakatau di Selat Sunda inilah yang berpuluh tahun kemudian menjadi saksi. Saksi bagi Pasukan Semut dan Empat Matahari bersama mimpi-mimpi mereka yang melangit.

Sinopsisnya kira-kira begini..
Doni kalang kabut karena permohonan cuti yang diajukannya sebulan lalu ditolak. Padahal cuti itu akan diisi dengan acara reuni yang dirancang 29 tahun lalu. Yup! Waktu itu Doni and the ganks masih berusia 11 tahun. Mereka berjanji di umur 40 tahun akan bertemu dan bersama-sama mendaki anak Gunung Krakatau.

Alih-alih dikabulkan cutinya, Doni malah disuruh meliput. Doni meradang. Tapi protesnya tetap tak digubris, dan atasannya justru mengisyaratkan bahwa bos mungkin akan melakukan pemecatan. Doni tak peduli, the show must go on.

Sebelum berangkat menuju Krakatau, Doni ingin membawa keluarganya pulang kampung. Tiga belas tahun ia tidak pulang ke Menes, kampungnya. Sebuah kampung kecil di wilayah Banten. Dalam perjalanan pulang, banyak hal terjadi. Sebuah pengalaman yang riang, sedih, haru, dan lucu.

Sesampainya di rumah, alur bergerak mundur. Terbentuknya Pasukan Semut dan Empat Matahari diceritakan Doni kepada kedua buah hati beserta anak-anak lain tetangga sekitar. Doni yang terlahir sempurna, terpaksa harus diamputasi tangannya hingga sikut pada usia sebelas tahun. Tangannya mengalami infeksi parah karena jatuh dari pohon seri saat bermain dengan Pasukan Semut.

Doni diamputasi tangannya sebatas sikut dan dirawat di RSUD Serang. Di sana ia bertemu dengan tiga pasien anak yang keren yang tabah dan penuh semangat, meski kehilangan kaki atau tangannya. Pertemanan yang seru, kocak, dan juga menyentuh. Bersama teman-temannya itu, Doni berhasil menemukan otak pelaku pencurian hp dan barang-barang lainnya di rumah sakit.

Saat kembali dari rumah sakit, Doni menjalani hari-harinya dengan kadar penerimaan yang tinggi. Perlakuan diskrimatif, tatapan aneh, ucapan melecehkan, kerap diterima, namun Doni bisa berlapang dada. Dukungan dari teman-teman dan sikap legowo orangtua, berpengaruh sangat signifikan.

Kepulangan ke Menes, memunculkan ide untuk mengajukan pensiun dini dari media cetak tempat Doni bekerja. Doni dan istrinya bersepakat untuk berkhidmat di kampung tersebut, mencoba buka usaha sendiri serta membina anak-anak kampung melalui taman bacaan yang ada di rumah orangtua Doni.

Pertemuan Doni dengan teman-teman lamanya, memantik api cemburu istrinya yang selama ini tersimpan dalam sekam. Sejak dulu, Doni dikabarkan ‘dekat’ dengan salah satu personel Pasukan Semut, bernama Nani. Doni gusar karena baginya itu hanya cinta monyet ala anak SD pada masa itu.

Bagaimana selanjutnya masalah Nani, apakah tetap menjadi duri dalam daging, lalu apa saja yang terjadi menuju terwujudnya reuni, sila dibaca sendiri, ya. Nggak perlu saya ungkap semua di sinopsis ini. Kalau spoiler, kan jadinya nggak seru.. :)

Review:
Novel ini bergerak maju mundur. Ketika di tengah, saat kilas balik ke masa kecil Doni, PoV berubah dari PoV 1 menjadi PoV tiga. Rasanya aneh juga sih, setelah sebelumnya terbiasa Doni sebagai aku, tiba-tiba Doni menjadi orang lain sebagai dia.

Deskripsi setting dan karakter sepertinya memang sudah menjadi keahlian penulis satu ini. Keren banget deh pokoknya. Dialog dan narasi ‘berbicara’ dalam olah setting dan karakter.

Tokoh utama nggak digambarkan sempurna. Istri Doni, disamping kelemahlembutannya, tampak kenyinyirannya bermedsos dengan selalu up date status dan upload foto. Dan ternyata, kadang ada juga keuntungannya dari aktif nyetatus itu. Catet ya, kadang-kadang. Jadi bukan ‘selalu’. Tetep aja, terlalu rajin nyetatus kayak gitu, rasanya nyebelin juga melihatnya, eh membacanya.

Sebagai novel inspiratif, kisah Doni ini patut diacungi jempol. Ada beberapa hikmah yang tersirat, yang saya akan sebutkan lima saja.

Pertama, jelas ini menginspirasi banget bagi para penyandang disabel. Bagaimana keuletan dan kesungguhan Doni untuk bisa berada di tengah orang-orang normal, sungguh mengagumkan dan menggugah, juga menyentuh. Hingga lantas Doni mahir main kelereng dengan satu tangan, jago main badminton dan meraih berbagai predikat juara, sampai setelah dewasa, mampu juga mengendarai motor dan menyetir mobil. Semua ditekuni melalui proses panjang, bukan sim salabim.

Kedua, bisa menjadi rujukan bagi para orangtua yang memiliki anak disabel. Bagaimana perlakuan orangtua Doni dalam membersamai putranya, benar-benar layak diacungi jempol. Dukungan positif orangtua dengan memberikan kepercayaan dan menumbuhkan kemandirian, sangat berperan membentuk kepribadian Doni pasca amputasi.

Ketiga,  mimpi adalah milik siapa saja, termasuk anak-anak dengan kekurangan fisik. Meski hanya memiliki satu tangan atau satu kaki, Pasukan Empat Matahari berhasil membuktikan bahwa kesungguhan tekad serta keyakinan doa, mengantarkan mereka pada terwujudnya mimpi.  Tidak ada alasan untuk ragu memancang mimpi. Termasuk anak kampung dengan keterbatasan akses pada kemajuan teknologi.

Keempat, bahu membahu dan saling mendukung antar teman, membuat suasana kondusif pada usaha mengejar mimpi. Dengan kondisi berlengan satu, Doni mendapat kekuatan dorongan moril untuk berani berkompetisi hingga mampu berprestasi. Persahabatan dalam suasana kekeluargaan yang kental di dalam Pasukan Semut dan Empat Matahari, sungguh sebuah kebersamaan yang indah.

Kelima, cinta buku dan gemar membaca merupakan modal utama untuk mengembangkan potensi diri. Melalui buku, wawasan dan pengetahuan akan lebih terbuka. Para pecinta buku dan penggila baca berada beberapa langkah lebih maju dibanding dengan bukan pecinta buku. Orangtua Doni yang menyediakan semacam rumah baca di rumahnya, membuat Doni akrab dengan buku dan berhasil menyebarkan virus membaca kepada teman-temannya.

Lalu apa ya, kekurangan novel ini? Ini seleratif kayaknya. Buat saya, novel ini asyik, mudah dicerna, dengan hikmah berlimpah. Kalaupun ini bisa disebut kekurangan, saya merasa konflik di dalam Pasukan Semut kurang menggigit. Mereka berdelapan tampak baik-baik saja. Sepertinya akan lebih seru kalau ada semacam friksi di antara mereka, lalu mereka berproses untuk berdamai.

Anyway, novel ini layak masuk daftar belanja para penyuka buku. Selain menghibur, novel ini sarat nilai.

Selamat membaca!

*maaf yaa, nggak ada kutipan kalimat dari novel. Soalnya nulis review ini tanpa buka novel (sstt.. novelnya lagi ada yang minjem)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS