Judul :
Burung Terbang di Kelam Malam
Penulis :
Arafat Nur
Penerbit : PT
Bentang Pustaka
Tebal Buku : xiv + 376
halaman
Cetakan : Pertama, Februari 2014
ISBN :
978-602-7888-93-7
Kiriman
buku tiba dari Bentang. Taraa.. sebuah novel berjudul Burung Terbang di Kelam Malam karya
Arafat Nur. Mata saya berbinar dengan reward kali ini. Karena saya kira, nama
Arafat Nur sudah merupakan jaminan karya yang bagus. Padahal saya belum pernah
baca novelnya sih.. hanya yang saya tahu, dia itu yang menang di DKJ dan
menyabet KLA juga.
Saya
buka halaman awal, oh.. lembar endors. Halaman berikut, oh masih lembar endors.
Halaman berikutnya, masih lembar endors juga! Total ada 26 orang yang
memberikan testimoni untuk novel ini. Mereka orang-orang ternama di dunia
sastra. Hadeuh.. agak berkurang antusias saya jadinya. Maaf saja, saya tidak
begitu suka dengan novel yang ramai endors.
Tapi
sudahlah, saya pun mulai membuka halaman berikut, yang berisi daftar isi. Saya
baca, judulnya panjang-panjang. Ini mengingatkan pada kawan baik saya, seorang
penulis bernama Arul Chandrana yang imajinasinya meledak-ledak. Dia juga gemar
menulis judul dengan kalimat panjang dan aneh. Eh, tapi kok.. Arafat Nur ini
pilihan bahasanya begitu ya? pikir saya. Engh.. saya agak risih membacanya. Ah,
sudahlah (lagi).. mungkin ini hanya sensasi judul. Saya pun lanjut membaca isi
novel ini.
Lembar
demi lembar saya nikmati... hmm.. ini bukan jenis novel yang biasa, dengan gaya
populer atau romantis yang manis. Kalimat-kalimat dalam novel ini terasa kaku,
tapi bukan kaku yang tidak menyenangkan. Terkadang saya merasa seperti sedang
membaca karya sastra lama, jaman pujangga baru.. J Alih-alih
merasa bosan dengan gaya bahasa begitu, saya malah terseret untuk terus
melanjutkan membaca kisah ini.
Jadi
kisahnya tentang apa? Tokoh utamanya seorang pemuda tampan rupawan bernama Fais.
Dia wartawan dan sedang mencoba untuk menulis novel. Karena wajahnya itu,
gadis-gadis cantik jelita demikian mudahnya bertekuk lutut. Namun Fais ini
bukan tipe play boy juga, malah dia
cuek dan nggak pernah tebar pesona.
Novel
yang akan ditulisnya adalah tentang Tuan Beransyah, seorang tokoh pengusaha
sukses yang licik, dan sedang mencoba peruntungan di dunia politik. Ia
mencalonkan diri menjadi walikota. Pencitraan dirinya boleh dibilang gemilang.
Dia seakan seorang yang alim dan dermawan. Fais benci bukan kepalang kepada
Tuan Beransyah. Ia bertekad untuk mengurai kebusukannya melalui novel yang akan
ditulisnya itu. Kesukaan Tuan Beransyah menambah istri, akan dibongkarnya.
Sebab Tuan Beransyah selalu pandai berkelit dari dugaan bahwa dirinya tukang kawin.
Fais
pun memulai petualangannya dengan menelusuri alamat-alamat tempat tinggal
bini-bini simpanan Tuan Beransyah. Dalam perjalanan itulah, aneka rupa masalah
dijumpainya. Bini-bini Tuan Beransyah itu beragam. Ada yang muda belia, ada
yang usia pertengahan, ada yang menuju paruh baya, ada pula yang memang sudah
tua. Untuk yang muda dan jenjang 30-an, mereka semua cantik-cantik. Dan dengan
daya pikat yang dimilikinya, Fais dengan mudah mendapatkan bahan catatan untuk
keperluan novelnya.
Interaksinya
dengan beraneka perempuan itu, membuat Fais gamang pada perasaannya sendiri.
Sesungguhnya ia sudah punya teman dekat yang serupa kekasih, bernama Safira.
Tapi ia bingung dengan kondisi dirinya yang masih merasa belum bisa untuk
terikat dalam satu hubungan. Dan kelanjutan kisahnya, bisa kalian baca sendiri
nanti, bila sudah membeli novel ini.
Lalu,
apakah novel ini menarik? Bagi saya, iya. Tokoh utamanya, meski saya sedikit
sebal dengan tampangnya yang menawan, tapi ia benar-benar merefleksikan burung
terbang di kelam malam. Ia melayang tak paham arah, sekelilingnya gelap sekelam
malam. Meski sesungguhnya ia punya sayap yang kuat. Hanya saja ia tak berinduk
tak bersemang. Seringkali langkahnya oleng. Namun di kali lain ia khusyuk
menegakkan sholat.
Karakter
Fais cukup ajeg sepanjang cerita. Ia seorang peragu, acuh tak acuh pada
lingkungan tetangganya, dan hasratnya mudah tergoda. Deskripsi karakter
tersampaikan lewat gerak-gerik, keputusan
yang diambil, dialog, serta penuturannya sendiri. Untuk bagian terakhir itu,
saya kadang merasa bosan karena beberapa kali Fais mengulangnya.
Tuan
Beransyah sendiri muncul hanya sedikit sekali. Padahal boleh dibilang ia tokoh
yang menghidupi kisah ini. Karakternya bisa ditangkap pembaca melalui dialog
tokoh-tokoh lain, konflik yang dialami tokoh pendukung, dan melalui deskripsi suasana
yang terjadi. Penulis kisah ini mahir menggambarkan pribadi Tuan Beransyah
tanpa harus memunculkannya sering-sering.
Karakter
tokoh-tokoh lain tidak terlalu rumit. Mereka seputar istri-istri simpanan Tuan
Beransyah dan orang-orang di sekitar Fais yang tidak banyak, mengingat
interaksi sosial Fais yang minim.
Sekarang
tentang bahasa yang mengalun di sekujur kisah. Ini bukan bahasa Melayu ala
Andrea Hirata yang mendayu, merdu merayu. Ternyata begini rupa orang Aceh bila
menyulam kata. Sedehana, tegas, dan lugas. Kesederhanaannya itu terkadang
menerbitkan senyum. Di lain waktu ia menggiriskan hati.
Namun
entah merupakan balas dendam atas Jawa yang bahasanya kerap digunakan bak bahasa
nasional, yang dipahami seluruh warga negara, dalam novel ini Arafat Nur
menyisipkan beberapa bahasa Aceh yang seolah bahasa tersebut sudah selayaknya
kami pahami. Pada kenyataannya, kami yang bukan orang Aceh harus menerka-nerka
maksud kata-kata itu, semisal: pesong dan kereta.
Membaca
novel ini, jangan berharap ada diksi yang memukau dengan sulaman kata-kata
indah. Jangan pula mencari quote-quote yang cetar menggelegar. Tidak akan
ketemu. Kalimat-kalimat dalam novel ini sungguh sederhana, apa adanya. Penulisnya
tidak berusaha menarik-narik perhatian pembaca dengan meliuk-liukkan kata. Tapi
dalam kepolosannya itu, kesan yang tercipta sungguh mendalam.
Lalu
tentang setting tempat. Aceh. Pembaca diajak menyelami Aceh pasca perang.
Deskripsi mengurai detil. Membuat hati pilu mengingat saudara sebangsa yang
mengalami penderitaan begitu rupa, akibat konflik berkepanjangan.
Di luar sana, masih
tampak jelas gambaran suram masa lalu yang terus membayangi sampai sekarang,
yang entah berakhir sampai kapan. Terlihat puing-puing sejumlah bangunan yang
rusak dan dibakar semasa perang dulu. Kendaraan-kendaraan rusak parah akibat kena
hantam pelontar roket pemberontak yang dulu kerap mengadang pasukan-pasukan
kecil pemerintah di jalan-jalan sepi sewaktu perang tengah gencar-gencarnya
melanda. (halaman 46).
Tidak
hanya gambaran kerusakan fisik, namun kondisi psikologis masyarakat yang kemudian
banyak mengalami perubahan. Gadis-gadis kecil yang kehilangan kakak-kakak
lelakinya, para pemuda yang tewas. Tak terhitung juga perempuan-perempuan yang
menjadi janda mendadak tersebab suaminya hilang lalu ditemukan terbujur
berkalang tanah. Para orangtua yang ditinggal pergi anak-anaknya. Dan rupa-rupa
kehilangan lainnya. Perubahan ini mengakibatkan pergeseran perilaku.
Aceh
yang terkenal sebagai serambi Mekah, ternyata memiliki banyak borok. Pergaulan
bebas anak muda tidak kalah mengerikan dengan yang terjadi di ibukota. Demikian
pun tingkat kriminal lainnya.
Aroma
kritik sosial memang menguar tajam dari novel ini. Pemerintahan yang korup,
politik yang kotor, penyedotan sumber kekayaan daerah, dan kondisi sosial
masyarakat yang carut marut, mendapat sorotan tajam.
Kota kecil ini memang
menyedihkan. Semakin hari tambah terpuruk ditinggalkan para penghuni yang pergi
dan mati. Semasa perang dulu, terlalu banyak orang mati dan dibantai.
Orang-orang Jawi yang terkenal rajin menggarap ladang di wilayah-wilayah
pedalaman terpaksa meninggalkan rumah dan kebunnya karena terusir oleh
pemberontak yang muak terhadap raut wajah mereka yang berhidung pesek.
(halaman 163)
Bahkan
tanpa tedeng aling-aling, dinyatakan kegeramannya kepada salah seorang presiden
negeri ini.
Dia memerhatikan aku
lagi, sikapnya seperti seorang penguasa besar. Aku jadi ingat presiden
perempuan negeri ini yang memerintahkan membunuh orang Aceh kali kedua, setelah
presiden sebelumnya yang bermata sipit dijatuhkan. Kira-kira begitulah lagak
perempuan ini ketika berhadapan denganku. (halaman 170)
Meski
novel ini mengungkap sisi gelap hiruk-pikuk politik, namun bukan berarti ia
novel yang membuat kening berkerut. Bahasanya cukup ringan, dengan dibumbui
gaya jenaka pada beberapa bagiannya.
Dibeberkan
juga kehidupan seorang wartawan dengan dunia pers yang tidak jauh dari cipratan
lumpur politik. Pers yang dimanfaatkan oleh tokoh politik merupakan kerjasama
kemunafikan yang serasi. Sungguh memuakkan. Namun para kuli tinta itu tak
berdaya, rupiah memang memiliki daya magis yang manis.
Lalu,
bagaimana dengan kisah romansa dalam novel ini? Saya merasakan hanyut pada
bagian menjelang akhir. Karena memang alur sejak awal terasa lambat,
kejutan-kejutan menghentak lebih terasa saat mendekati ending. Saya betul-betul
merasakan merindunya Fais kepada Shafira, situasi yang rumit di antara mereka,
rasa takut kehilangan yang mencekam, hingga genangan di pelupuk meluruh
membasahi pipi saya.
Lantas
adakah yang mengganjal dari novel ini? Yup! Seperti yang saya sebutkan di awal,
tentang risihnya saya membaca judul-judul bab, demikian pula rasa risih itu
terus berlanjut saat saya tenggelam dalam isi kisah ini. Penulis tidak sungkan
mengungkapkan hal-hal yang mengarah ke adegan dewasa. Sepintas terkesan vulgar.
Kalaupun ada yang tersirat halus, pembaca dewasa tentu bisa menangkap jelas
maksudnya. Maka, meski sejujurnya saya merasa tidak nyaman, saya menikmati saja
sisi lain dari kisah ini. Konon dalam karya sastra, memang disediakan ruang
untuk bereksplorasi di wilayah aktivitas ‘begituan’. Dan, dalam hal Fais ini,
mungkin penulis ingin menyampaikan bahwa Fais memang doyan ‘begituan’, namun
pada satu titik kemudian, cinta sejati lah yang menempati seluruh ruang hati.
Maka kontradiksi tersebut diperlukan untuk dramatisasi kisah, dan semacam
pelajaran kepada pembaca, betapa cinta terlarang tidak akan membuat jiwa
menjadi tenang.
Oh
ya, yang menarik juga dari novel ini adalah endingnya. Saya membaca novel ini
benar-benar menikmatinya dengan menyerahkan diri ke dalam cerita, tanpa
mereka-reka apakah si ini akan menjadi begitu atau si itu ternyata begini. Saya
hanyutkan diri begitu saja. Sehingga tiba pada ending, saya benar-benar merasakan
asyiknya terbelalak, menahan napas sejenak, dan bergumam ‘wow’...
#ini
review suka-suka, bukan untuk dikirim ke media... haha.. media mana pula yang
mau menerima resensi macam ini? :)
nah, review versi lain yang dimuat di media cetak, yang ini nih, dimuatnya di Koran Jakarta tanggal 22 April 2014
nah, review versi lain yang dimuat di media cetak, yang ini nih, dimuatnya di Koran Jakarta tanggal 22 April 2014
2 comments:
Paragraf terakhir resensinya ituuu... anuuu... nnngggg...
Mbak Ade, paragraf terakhir.. kenapa..?
Post a Comment