Judul Buku : Pasung Jiwa
Penulis : Okky Madasari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit : Cetakan I, Mei 2013
Tebal Buku : 328 halaman
ISBN : 978-979-22-9669-3
Apa yang
terlintas dalam benak, saat membincang kebebasan? Apakah dalam hidup ini
berlaku kebebasan? Seperti apakah kebebasan? Pertanyaan-pertanyaan itu
berkelindan dalam jalinan cerita “Pasung Jiwa” karya Okky Madasari. Novel yang merupakan
5 besar nominasi Khatulistiwa Literary Award 2013 ini, mendedah kebebasan
melalui tokoh Sasana dan Jaka Wani, yang bergulat melepaskan diri dari aneka
sergap perangkap dalam hidup mereka. Perangkap tubuhnya, pikirannya, tradisi,
keluarga, norma, agama, ekonomi, dan kekuasaan. Tapi, benarkah kesemua hal
tersebut merupakan perangkap?
Kalimat pertama
novel ini, Seluruh hidupku adalah
perangkap. Kalimat yang membetot perhatian, dan membuat penasaran. Lalu
dimulailah penuturan kisah Sasana, tak tanggung-tanggung, diawali sejak Sasana
masih dalam perut ibunya. Sasana terus berkisah tentang dirinya, keluarganya,
sekolahnya. Konflik mulai terasa membelit. Kepolosan Sasana kadang
mencengangkan. Seorang remaja putra yang terbentur dengan aturan keluarga yang
mengikat, dan tekanan lingkungan. Sikap yang ditampilkan Sasana, menggedor
pikiran pembaca, betapa seorang anak demikian gamang menghadapi keinginan
dirinya versus harapan orangtua. Tokoh ibu Sasana, dengan segala sikap
keibuannya, cukup mewakili perasaan para ibu yang cintanya kepada anak
sepanjang jalan. Sebuah sisi yang menyentuh dan cukup menguras air mata.
Dalam
perjalanannya kemudian, Sasana berjumpa dengan Cak Jek. Di sini Sasana
menemukan dirinya hidup ketika menjadi Sasa. Cak Jek lah yang menciptakan Sasa
dalam Sasana. Bermula sebagai sikap profesional sebagai penyanyi, namun Sasana
merasakan lain. Ini bukan hanya sebatas berdandan sebagai penyanyi dangdut
bernama Sasa, tapi Sasana menikmati dirinya menjelma Sasa. Sasa yang penyanyi
dangdut cantik dengan goyang menggoda.
Setelah melalui
berbagai peristiwa, Sasana terpisah dari Cak Jek. Lalu kisah pun berganti. Giliran
Cak Jek yang bertutur. Ia memulai hidup baru sebagai Jaka Wani, meski masih
kerap dibayangi kehidupan sebagai Cak Jek. Tapi ia mampu menyublim Cak Jek,
lalu dirinya berubah menjadi mesin, sebagai buruh pabrik televisi di Batam.
Novel ini
menggunakan PoV 1, baik ketika bertutur sebagai Sasana maupun Jaka Wani.
Pembaca lebih dekat dan merasai apa yang berkecamuk dalam pikiran dan emosi
kedua tokoh itu. Peristiwa-peristiwa mengejutkan terjadi. Pembaca dibawa
terhanyut dalam ketegangan-ketegangan serta gejolak emosi yang saling
berkejaran. Sedih, kesal, geram, lega, kecewa, silih berganti.
Pemilihan
cover cukup menggambarkan isi. Sosok perempuan cantik dibalik jeruji, dengan
baju gemerlap dan jemari berkutex rapi. Ia sosok perlawanan atas jati dirinya.
Lihat saja leher perempuan itu.
Sebagai bukan novel popular biasa, bahasa yang digunakan, tidak melulu membuat kening berkerut. Narasi dan dialog tetap asyik mengalir. Akrobat bahasa masih dalam taraf sedang. Penikmat novel garis tengah, antara pure sastra dan popular, masih bisa menikmatinya.
Ada label ‘novel
dewasa’ di novel ini. Sebuah langkah yang baik. Karena novel ini diwarnai
aktivitas seksual, kebanyakan yang anomali. Membuat bergidik. Bukan timing yang tepat bagi yang belum dewasa
untuk membacanya.
Perpindahan tokoh, menimbulkan inkonsistensi. Ketika Sasa mulai bertutur, terasa gayanya berbeda dengan ketika ia sebagai Sasana. Penggunaan kata ‘lho’ sering digunakan, sepertinya menunjukkan sisi kegenitan seorang perempuan.
Perpindahan tokoh, menimbulkan inkonsistensi. Ketika Sasa mulai bertutur, terasa gayanya berbeda dengan ketika ia sebagai Sasana. Penggunaan kata ‘lho’ sering digunakan, sepertinya menunjukkan sisi kegenitan seorang perempuan.
Aku
sedang benar-benar mandi madu lho (halaman 45).
Tapi memang bagus lho modelnya, aku jadi kelihatan tinggi dan seksi. Terus warnanya itu lho, merah jreng (halaman 46).
Tapi memang bagus lho modelnya, aku jadi kelihatan tinggi dan seksi. Terus warnanya itu lho, merah jreng (halaman 46).
Tapi selanjutnya, cara bertutur Sasana
dan Sasa tidak ada beda, sayang sekali.
Sebagaimana
karya Okky Madasari sebelumnya, novel ini menyuarakan perlawanan atas
ketidakadilan dan perjuangan untuk kebebasan dan kemanusiaan. Fakta-fakta hadir
membelalakkan mata, tentang apa yang dilakukan oleh orang-orang yang mengampu
kekuasaan dalam jabatan strategisnya. Perlakuan keji hingga menjijikkan,
menggiriskan hati dan mengguncang kesadaran.
Sayangnya, dalam
novel ini terlalu banyak hal yang ingin disampaikan penulis. Tentang geliat
psikologis pelaku lintas gender, kasih ibu yang tak terhingga sepanjang masa, sistem
lembaga pendidikan berdisiplin yang menjadi lembek ketika berhadapan dengan
materi dan kekuasaan, dominasi penguasa pabrik yang menzalimi para buruh,
jeritan lantang pelacur, gegap gempita reformasi, belenggu terapi kejiwaan bagi
pasien rumah sakit jiwa, topeng keagamaan dalam sebuah gerakan pembasmi kemaksiatan,
dll. Mengapa tidak mengambil sedikit saja, tapi bisa lebih menyelami
kedalamannya.
Terlepas dari
segala kelebihan novel ini juga kekurangan yang mengiringinya, sejatinya sebuah
karya dewasa akan membawa kebaikan bagi pembaca. Namun “Pasung Jiwa” tidak
melakukan tugas itu dengan baik. Di satu sisi ia mencerahkan, namun di banyak
sisi ia mengaburkan. Terutama dalam hal perbuatan lintas gender. Lalu,
aktivitas yang beririsan dengan kedok agama. Meski yang disuguhkan adalah fakta
nyata. Tidakkah sebaiknya disaring melalui saringan moral? Semisal ketika Sasa
dihujat massa tersebab goyang dangdutnya yang erotis . Memang benar, banyak
Sasa-Sasa dalam bentuk lain yang dibiarkan bebas melenggang tak tersentuh
hukum. Tapi dialog batin Sasa yang memberontak, potensial menimbulkan
multitafsir.
Aku melecehkan ajaran agama
dengan menyebarkan kemaksiatan. Blah! Ajaran agama mana yang aku nistakan? Aku
tak pernah berurusan dengan agama. Yang aku lakukan hanya nyanyi dan goyang.
Goyanganku disebut pornografi. Apa itu pornografi? Aku hanya sedang menari.
Goyangan yang sesuai dengan diriku, yang menyuarakan hatiku. Di mananya yang
porno? Apakah pantatku porno? Apakah selangkanganku porno? Semua orang
memilikinya, kan? Semua orang menyukai bagian-bagian itu, kan? Kenapa kalian
semua harus menipu diri kalian sendiri? (halaman 307)
Satu hal yang
dapat ditarik garis dari pergulatan batin Sasana dan Cak Jek, bahwa ringkihnya
iman sangat berpengaruh pada pola pikir dan pola pandang terhadap suatu
masalah. Tentang Sasana yang lintas gender, tentang Cak Jek yang bergumul
dengan semangat membela agama, demi Allah. Sesungguhnya ini PR berat bagi para
pendakwah, para penegak hukum agama yang mengusung amar ma’ruf nahi munkar. Betapa kondisi saudara-saudara seagama
yang berada di ujung kesadaran, sangat rentan goyah dan butuh diselamatkan.
Seperti dialog batin Sasana ini:
Aku juga
dianggap bersalah karena sudah menjadi Sasa. Kenapa? Sasa adalah aku. Aku
adalah Sasa. Bagaimana bisa aku bersalah ketika aku menjadi diriku sendiri?
Mereka bilang aku melawan takdir Tuhan. Takdir yang mana? Tuhan yang mana? Jika
Tuhan memang ada, bukankah Dia juga tahu apa yang terjadi pada diriku? Apakah
yang terjadi pada diriku bukan takdir Tuhan? Bukankah aku ada karena Dia yang
menciptakan? Bukankah Sasa ada karena Tuhan juga menghendakinya? (halaman
307-308)
Maka, membaca
novel ini, apakah Anda akan menyadari bahwa kebebasan itu ada ketika manusia
membebaskan dirinya untuk tunduk pada aturan? Atau Anda memilih cenderung
membebaskan pikiran dan tubuh untuk mengikuti gerak yang diperintahkan alam
pikiran, tanpa peduli nilai-nilai dalam masyarakat dan norma agama? Selamat
mewujud menjadi manusia merdeka sesuai garis Tuhan atau penganut kebebasan tak
bersyarat…
#Resensi ini dimuat di media online indoleader.com
#Resensi ini dimuat di media online indoleader.com
4 comments:
jadi ingat list buku yang ada di perpus SMA yang labelnya dewasa dan temanya kek gini xD
dan~ different opinion, gak seperti yang lain yang rasanya pendapatnya ngambang :))
Thanx yaa Mide, dah mampir.. :)
yg dah baca buku ini pendapatnya akan berbeda2 sepertinya.. karena memang permasalahan yg diurai di dalamnya bisa dilihat dari banyak sisi..
rata2 komen yang baca buku ini sama, terlalu banyak topik yang mau diangkat... padahal kalo fokus ke LGBT dan transgender aja juga udah keren ya kayaknya :D
Banyak baca review ttg buku ini ya, Mbak Astrid? Bukunya dah baca belom? Nanti reviewnya dishare ya di grup.. :)
Post a Comment