Judul Buku : Meski Cinta Saja Tak Pernah Cukup
Penulis : Deasylawati P.
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Cetakan I, Maret 2014
Tebal Buku : 368 halaman
ISBN : 978-602-1614-07-5
Penulis : Deasylawati P.
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Cetakan I, Maret 2014
Tebal Buku : 368 halaman
ISBN : 978-602-1614-07-5
Ini novel pertama karya
Deasylawati yang saya baca. Mungkin terlambat ya, karena karya-karya Mbak Deasy
ini sudah berderet-deret. Dan melihat track
recordnya, buku-buku buah karyanya bukan buku-buku biasa. Komplet, ada
fiksi dan non-fiksi. Fiksi dengan beragam tema dan genre, ada novel thriller, novel
kocak, novel romance, novel tentang difabel, novel yang berisi kritik tajam
pada dunia medis, dan sebagainya. Demikian juga non-fiksi, ada peruntukan bagi
remaja dan dewasa. Tak ketinggalan buku anak-anak pun digarapnya. Benar-benar
penulis jempolan kan?
Novel “Meski Cinta Saja
Tak Pernah Cukup”, bertutur tentang dunia rumah tangga yang dialami oleh
sepasang pengantin baru, Silmi dan Yunan. Mereka menikah by accident. Bukan karena hamil duluan lho, tapi ini pernikahan tak
terduga yang harus dijalani demi nama baik keluarga dan utamanya demi
kebahagiaan seorang ayah yang ingin menyaksikan pernikahan putri tercintanya,
pada saat didera penyakit jantung hebat.
Yunan yang memang sejak
lama menaruh hati pada Silmi, merasa bahagia tak terkira. Sebaliknya, Silmi
yang sama sekali nggak kepikiran akan menjadi istri Yunan, susah payah
menjalani hari bersama Yunan dengan segala sifatnya yang berseberangan dengan
dirinya. Silmi yang teratur dan rapi, sementara Yunan cenderung cuek dan
sembarangan. Silmi yang tegas dan disiplin, sedang Yunan penganut jam karet
dengan sikap santainya.
Silmi dan Yunan bekerja
pada kantor yang sama, sebuah penerbitan. Silmi editor, Yunan staf divisi
kreatif. Keduanya sudah saling mengenal sifat masing-masing. Namun rupanya
ketika berada dalam biduk rumah tangga, nggak mudah mengendalikan biduk agar
tetap tenang.
Pencetus konflik Yunan
dan Silmi dipicu oleh rasa cemburu Yunan pada Daniar yang tampak dekat dengan
Silmi. Padahal Yunan sudah sejak lama bersahabat baik dengan Daniar. Namun api
cemburu terus saja memantik pertengkaran.
Novel ini, kalau saya
boleh sotoy, sepertinya adalah novel yang cukup ringan dibanding karya-karya
Deasylawati lainnya. Ini tentang konflik seputar adaptasi pasangan baru dalam menapaki
hidup berumah tangga. Letupan konflik di dalamnya tergolong biasa. Ada
saingan-saingan dalam merebut cinta, ada egoisme dalam interaksi pasangan, ada
benci tapi rindu, dan seputar itu.
Prolog novel ini cukup
memikat, membuat saya terikat, dan tak ingin melepaskannya. Sayangnya, emosi yang
terbangun kuat di awal, ternyata tidak demikian di bagian tengah. Pada prolog
dikisahkan kakak adik yang terpisah dalam suasana sangat memilukan. Betapa saya
merasa ikut meronta, menjerit, melolong memanggil nama ‘Syahdan’ ketika Naila
ditarik menjauh dari kakaknya itu. Dan betapa hati saya juga mencelos bersama
Syahdan saat mendapati tempat Naila telah kosong. Naila lenyap.
Tentu pembaca, termasuk
saya, akan menebak-nebak seperti apakah kelak pertemuan kakak beradik itu pada
bagian isi novel. Sejujurnya saya menginginkan sebuah suasana dan alur yang
beda dan menghentak pada moment pertemuan tersebut. Tapi, ternyata Mbak Deasy
mengarahkan pada sesuatu yang kurang menarik minat saya. Bukan berarti buruk, karena
selanjutnya Mbak Deasy dengan kepiawaiannya, mampu mengolah kisah ini menjadi
kisah yang cukup dinamis.
Faktor kebetulan kerap
terjadi dalam sebuah fiksi, bahkan lebih parah bila itu terjadi dalam sinetron.
Di novel ini, beberapa kebetulan pun turut mewarnai. Bahkan menjadi faktor
utama. Bagaimana kebetulannya Daniar bertemu dengan Silmi, dan kebetulan juga
Yunan memang jatuh hati pada Silmi, lalu kebetulan lagi ada Dell yang cinta
mati pada Yunan. Belum lagi, dokter muda Rifki, yang beberapa kali selalu ‘tak
sengaja’ berada dalam interaksi Yunan-Silmi-Daniar-Dell. Tapi ya, namanya juga
cerita ya, tokoh-tokohnya pasti kait mengait satu dengan lainnya. Hanya saja,
saya kurang suka pada model serba kebetulan seperti ini. Mungkin ini seleratif,
sih.. :)
Lalu, tentang ingatan
masa kecil yang hilang. Saya nggak tau juga, apakah memang daya ingat seorang
anak usia 5 tahun itu, sangat kabur. Saya sendiri masih bisa mengingat dengan
baik, bagaimana dulu suasana sekolah TK saya ketika pertama kali masuk di Kelas
Nol Kecil (sekarang sebutannya: Kelompok A). Nah, Naila yang kehilangan kakak
semata wayang, kok bisa segitu lupanya sama sosok Syahdan? Dan apakah wajah
seseorang demikian berubahnya sehingga tidak lagi bisa dikenali saat dewasa? Syahdan,
ketika diinformasikan tentang adiknya yang hilang, kenapa masih tampak ragu?
Saya kira, reaksinya akan lebih tepat bila ia membuka ingatan dengan menelusuri
wajah adiknya, lalu dia berpikir, Oh iya,
benar wajahnya adalah wajah adikku. Bukankah alis Naila saling bertaut, dan
merupakan ciri yang sangat khas, seperti halnya lesung pipit?
Novel ini menggunakan
dua PoV. Ada PoV 3, dikombinasi dengan dengan PoV 1 dari sisi Naila. Penempatan
perubahan PoV-nya tidak bergantian. Porsi PoV Naila jauh lebih sedikit. Tapi
nggak mengganggu kenyamanan membaca, sih. Cuma kayaknya lebih enak kalau
sistematis per bab.
Yang saya suka dari
novel ini adalah pesannya ngena banget. Nyampe ke hati deh. Bahwa cinta itu
bukan segalanya, tapi bukan berarti ia boleh tak ada. Cinta itu harus ada,
karena tanpanya semua jadi hampa. Tapi cinta bukan untuk menuntut kesempurnaan.
Kita
ada di dunia bukan untuk mencari seseorang yang sempurna untuk dicintai. Tetapi
untuk belajar mencintai seorang yang tidak sempurna dengan cara yang sempurna.
Dan karena cinta itu memang harus diupayakan. (halaman 287)
Kemudian tentang cinta
yang membuat buta. Seperti cintanya Dell kepada Yunan. Betapa cinta bukan untuk
menjadi alasan agar tetap memaksakan diri menyatu, apalagi dengan menyakiti
perasaan sesama perempuan. Cinta seharusnya membuat bahagia, bila ia
berlandaskan cinta kepada Allah. Poligami sebagai aturan Allah, bukan untuk
menjadi alat pemenuhan nafsu.
Tapi
bagaimana jika kau yang menjadi yang pertama, dan ditawari akan ada yang
menjadi yang kedua? Sanggupkah dirimu? Dellia memejamkan matanya kali ini.
Menahan bulir-bulir lembut yang siap luruh membasahi kedua pipinya. Karena kau
mencintai seseorang bukan karena Allah. Itulah yang menjadikan cinta itu
menyakitkan! (halaman 316)
So, novel ini cukup
menyenangkan. Cocok untuk yang masih lajang maupun yang sudah dobel. Unsur
romance-nya lumayan dapet juga. Deskripsi settingnya pun asyik. Tapi, kenapa
judulnya itu, ya? Mungkin supaya terasa romantic-nya. Sebagai penyuka judul
simpel, saya lebih suka judul lain. Ini kepanjangan. Walaupun cukup pas menggambarkan isi novel.
Ok, selamat memburu novel
ini, nggak akan nyesel kok. Setidaknya bisa menjadi motivasi buat menghangatkan
cinta bagi pasutri, dan cukup menjadi provokator bagi yang masih lajang. Jadi,
lajangers, siap-siap ngiri aja.. :)
0 comments:
Post a Comment