Kelindan Cinta, Klenik, Dangdut,
dan Santri
Judul Buku: Kelir Slindet
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2014
ISBN: 978-602-03-0356-7
Tebal: viii + 256 hal
Penulis : Kedung Darma Romansha
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Terbit: Maret 2014
ISBN: 978-602-03-0356-7
Tebal: viii + 256 hal
Seorang putera daerah,
menyuarakan kegelisahannya. Kontradiksi tarik menarik antara dua kutub, menjadi
hal yang disorot. Ada kepercayaan pada agama dengan aroma kota santri yang menguar,
namun kepercayaan pada klenik merupakan aroma lain yang terhidu. Ada grup
kasidah yang santun dengan misi sucinya dalam syi’ar agama, namun grup dangdut
dengan segala goyang erotiknya tetap akrab dalam keseharian. Ada cinta polos
remaja kencur, yang tak berdaya oleh cinta orang dewasa yang penuh manipulasi.
Hal-hal yang berkebalikan, berkelindan dalam konflik yang abadi, yang kemudian
melestarikan kemaksiatan dan kedangkalan pikiran.
Kedung Darma Romansha,
bertutur liar tentang tanah tercintanya, Indramayu. Sebuah kabupaten yang
berada di jalur pantura, yang penuh dengan rupa-rupa masalah khas kelas bawah,
yang entah diketahui atau tidak oleh para pemimpin yang terhormat negeri ini.
Jikapun mereka tahu, entah apakah mereka kemudian pura-pura sibuk dengan hal
lain. Dan masyarakat desa itu, tetap bergumul dengan segala keruwetan,
kebodohan, dan kemaksiatan.
Novel ini diawali
dengan tingkah si tokoh utama yang menggebu-gebu keinginannya untuk mengintip
gadis pujaan hatinya yang sedang berlatih kasidah. Tokoh utama, yang kemudian
diketahui bernama Muhaimin, namun lidah orang Indramayu melafalkannya dengan ‘Mukimin’,
kesengsem pada Safitri, vokalis utama grup kasidah pimpinan kakaknya, Ustadz
Musthafa.
Gayung bersambut,
Safitri pun jatuh suka pada Mukimin, lengkap dengan seluruh kekonyolan dan
ketololannya saat mereka duduk bersisian berdua. Pada saat demikian, Mukimin
selalu gentar mengucap kata cinta. Keberaniannya melesap ke dalam bumi. Dan
Safitri terpaksa menelan kecewa karena kata cinta yang dinanti, urung
didengarnya. Namun ia tahu, bisa merasakan betapa cinta Mukimin terpanah dalam
ke dasar hatinya.
Halangan besar
menghadang. Latar belakang keluarga Safitri yang suram, sangat tidak layak bagi
keluarga Mukimin yang terpandang. Ibu Safitri seorang mantan pelacur (telembuk),
dan ayahnya hanya petani kecil, pemabuk, dan doyan telembuk. Sedang Mukimin,
putra Haji Nasir, seorang haji kaya raya, yang juga seorang Kuwu, dengan pamor
besar. Kakaknya, Ustadz Musthafa, adalah guru mengaji di mushola ayahnya.
Keadaan bertambah
kusut, ketika ternyata Musthafa pun jatuh hati kepada Safitri, dan langsung
datang melamarnya. Safitri gamang. Di tengah desakan ibunya yang memaksa untuk
menerima lamaran tersebut, Safitri menguatkan nyali untuk menolak. Saritem, ibu
Safitri, berang. Kesempatan untuk memperbaiki strata sosialnya, hilang sudah.
Safitri tidak peduli.
Ia hanya ingin menikah dengan Mukimin. Namun keduanya baru 14 tahun, manalah
mungkin bisa naik ke pelaminan. Maka mereka pun tetap saling cinta dalam diam.
Jalinan cinta
Mukimin-Safitri sampai ke telinga Haji Nasir. Mukimin didamprat habis-habisan
oleh ayahnya. Kisah kasihnya harus diakhiri. Bahkan Haji Nasir mengirim utusan
menemui Saritem untuk menyampaikan hubungan anaknya dengan Mukimin. Saritem
naik pitam. Ia merasa terhina. Didatanginya rumah Haji Nasir, lalu kalap
mengumbar sumpah serapah.
Orang-orang ramai
membicarakan keluarga Safitri. Safitri gundah bukan buatan. Ia mogok sekolah
dan keluar dari grup kasidahnya. Saritem tambah meradang. Ditambah dengan sikap
acuh tak acuh suaminya, Sukirman, membuat keluarga itu semakin panas.
Safitri mengurung diri
di kamar. Ia tertekan, tak berdaya. Hasrat menyanyinya menjadi pelarian.
Impiannya masa kecil untuk menjadi penyanyi dangdut, dilampiaskannya di kamar,
sendirian. Ia bergoyang seronok, melenggok genit, melengkingkan suara, mengumbar
senyum menggoda. Hingga puncaknya, ia betul-betul mewujudkan itu di panggung
dangdut. Ia bagai menjadi Safitri yang lain.
Novel ini serupa jeritan
sang penulis yang sesak oleh silang sengkarut di desanya, Desa Cikedung. Desa
ini terletak di sebelah barat kota Indramayu. Ada pemilihan Kuwu, yang sarat
dengan intrik licik khas politik negeri ini. Ada kekuatan klenik yang tetap
mengakar, menjerat. Ada budaya erotik yang menjejali otak. Ada kemiskinan abadi
yang menjadi alasan bagi perempuan bodoh untuk menjajakan tubuhnya kepada
lelaki hidung belang yang tidak jauh miskin darinya. Ada orkes-orkes dangdut
dengan para penyanyinya yang hilang akal memamerkan goyang menjijikkan yang
membangkitkan birahi. Karut marut yang sempurna.
Demi menguatkan
ke-Indramayu-annya, Kedung Darma Romansha dengan fasih menabur bahasa Dermayon
di sekujur novelnya. Bahasa Dermayon yaitu bahasa Indramayu yang berbeda dengan
bahasa Sunda. Meski berada di Tanah Sunda, namun bahasa Indramayu bercampur dengan
bahasa Jawa dan Cirebonan. Tidak sedikit pula umpatan-umpatan kasar yang tidak
pantas, namun sepertinya di sana adalah hal biasa. Dan Kedung tidak berniat
menutupi, karena justru ia tidak ingin novelnya kehilangan ruh Indramayu-nya.
Tokoh Safitri, dengan
namanya yang terdengar agamis, tercekik oleh rupa-rupa masalah. Kondisi dirinya
yang anak mantan telembuk dengan ayah brengsek, kerap menjadi sasaran empuk
olok-olok teman-temannya. Dan paras cantik dengan bibir merah kepundung, yang
membuat para lelaki, bahkan lelaki alim, berusaha berebut cintanya, menjadi
bahan gunjingan sekampung bahwa Safitri punya ilmu pengasihan. Suaranya yang
merdu pun tidak membuat orang yakin bahwa ia memang punya daya tarik
tersendiri. Keyakinan pada klenik lebih menguasai pikiran masyarakat sehingga
segala sesuatu dihubung-hubungkan pada ilmu hitam. Safitri dalam usia mudanya,
digambarkan cukup kuat dengan gempuran derita. Kekukuhan cintanya pada Mukimin,
ketegarannya menghadapi pertengkaran ayah ibunya, ketidakpeduliannya pada gosip
seputar dirinya, memperlihatkan betapa ia berusaha tetap berdiri teguh. Namun
kemudian Safitri seperti menyamar menjadi orang lain. Ia menjadi penyanyi
dangdut kelas rakyat. Bergoyang dan menerima banyak saweran. Masyarakat geger.
Maka, ia menjadi sosok misterius, yang penulis segan mengungkap siapa Safitri
sebenarnya.
Adapun Mukimin, bocah
belasan tahun yang pembangkang. Gemar membolos dan lebih suka bergabung dengan
teman-temannya yang urakan. Ayahnya, Haji Nasir, nelangsa melihat kelakuan anak
bungsunya itu. Dan semakin lengkap keterpurukannya merasa gagal menjadi ayah,
ketika mendapati Musthafa, sulungnya, ternyata tidak se-alim chasingnya. Potret ayah seperti ini,
menggedor kesadaran pembaca, betapa mendidik anak bukanlah hal mudah. Butuh
kedekatan dan komunikasi harmonis yang terbuka antar keluarga.
Potret lain, membidik
masyarakat dengan kebiasaan bergunjing. Kesalahan orang riuh dibincangkan, dan
ditambah-tambahkan agar lebih sedap. Tak peduli bahwa kasak-kusuknya akan
melukai bahkan dapat menghancurkan objek yang digunjingkan. Pada titik ini,
dimanakah pendidikan agama yang selalu bergaung? Tidakkah ia masuk ke dalam
hati?
Meski sarat dengan
kemuraman, novel ini tetap menghadirkan nilai-nilai pekerti dan agama yang
luhur. Begitu banyak orang ingin memakai
jalan singkat, sehingga dirinya mereka jual kepada jin atau setan. Sementara
dikatakan di dalam Alquran kalau Alloh memerintahkan iblis untuk ‘sujud’ kepada
Adam. Tapi sekarang rasa-rasanya itu sudah mulai terbalik. (halaman 170)
Bahwa segala sesuatu
tidak boleh dilakukan tergesa, karena semua ada waktunya, tercermin dari
nasihat Zaki, anak kedua Haji Nasir, kepada adiknya, Mukimin. Semua ada waktunya, Min. Tidak bisa seorang
anak berumur delapan tahun memakai sepatu ukuran 41. Terlalu besar. Semua hanya
menunggu waktu yang tepat. Sabar. Kendalikan dirimu. (halaman 144)
Sebagai penyair, Kedung
Darma Romansha, tampak bebas dalam bernovel. PoV 3 yang dipilih, tiba-tiba
berkombinasi dengan munculnya PoV 1 dari tokoh bernama Didi, yang muncul tiga
kali dalam jalinan kisah ini. Adegan nyerempet vulgar sesekali mewarnai. Alur
bergerak maju, namun pada bagian akhir, tetiba kisah mundur ke tujuh tahun
sebelumnya, pada saat menjelang pemilihan Kuwu. Entah mengapa, bagian itu
disimpan di sana.
Kegelisahan Safitri
dengan mempertanyakan nasibnya pada Tuhan, ditutup dengan su’uz zhon kepadaNya.
Jiwa santri penulis memperlihatkan tanggung jawabnya. Membayang pula Tuhan dalam benaknya. Ia bertanya-tanya, ‘apakah benar
ini semua Kau yang merencanakan? Jika benar, untuk apa?’ Tentu Tuhan punya
rencana yang baik untuknya. (halaman 212)
Pada akhirnya, membaca
novel ini cukup menyenangkan. Bahasa yang mengalun sepanjang kisah, terasa
indah. Ia bukan diksi yang genit. Deskripsi setting pun sangat memadai. Pula
deskripsi tokoh dan geraknya. Namun siapa yang bisa menebak, mengapa judulnya ‘Kelir
Slindet’? Slindet itu sendiri adalah seafood
mirip kerang, bentuknya lonjong. Bagian luarnya berwarna hijau, dagingnya
kuning. Ada juga yang mengatakan kerang laut. Mungkin slindet ini semacam
petunjuk dari penulis untuk mengungkap misteri Safitri. Dan sepertinya akan
lebih tergambar nanti pada buku lanjutan dari trilogi ini.
Bagi penyuka novel
metropop, chicklit, dan sejenis novel-novel yang relatif ringan, maka novel ini
kurang cocok bagi Anda. Tetapi jika Anda menggemari novel dengan nuansa beda,
dengan bahasa tertata, maka novel ini layak masuk ke dalam koleksi Anda.
Selamat menyelami
kegetiran Safitri..
Malam
yang lelah. Udara murung. Langit kelam, serupa bayangan samar dalam kepalanya.
Hantu seperti inilah yang sebenarnya paling ditakuti. Hantu yang menempel dalam
setiap ingatan. Sungguh meresahkan dan mengerikan. Ia membayangkan hatu-hantu
itu berperang. Hantu baik dan hantu jahat, semua ada dalam dirinya. Ia harus
melepaskan hantu-hantu itu. Tapi tak bisa. Hantu itu menempel seperti usia.
Kadang Safitri tersenyum sendiri, lalu menangis dengan cepat. Cikedung tak akan
melupakan peristiwa ini. Cikedung yang sembunyi dalam kesepiannya. Cikedung
yang polos dan urakan. Cikedung yang berdiri dengan gagah di dalam impian
orang-orangnya. (halaman 212)
Begitulah
akhirnya, perjalanan tak harus sampai pada apa yang dipikirkan manusia. Semua
orang mendesak untuk berjalan paling depan. Lantas siapa yang berada di
belakang jika semua orang ingin berada di paling depan? (halaman
241)
2 comments:
mba ini penuturannya nyastra ya?
Iya Sar, nyastra.. tapi asik kok.. nggak bikin kriwil.. wkwkwk..
Post a Comment