Dalam
rentang perjalanan kehidupan seseorang akan ada banyak warna yang tergambar.
Apakah warna-warni itu sanggup mempelangikan hidup atau sekadar goresan warna
tak bermakna, bergantung pada tingkat pemahaman, nalar, dan kualitas diri.
Sejatinya, pulasan warna beraneka rupa akan menjadi bianglala yang mengayakan
hati.
Tasaro
GK, ingin berbagi mejikuhibiniu hidupnya kepada khalayak. Tak lain tentu
didasari niat untuk saling memungut hikmah yang terserak dari setiap episode
yang dijalaninya. Menariknya, Tasaro GK tidak mengekspos kisah asmaranya, namun
ia lebih mengagungkan bagian persahabatan dalam perjalanan hidupnya.
Barangkali pernah, dalam hidupmu,
engkau memiliki simpul persahabatan yang engkau percaya tak ada tandingannya.
Engkau mengandalkannya kadang lebih dibanding engkau memercayai kemampuanmu
sendiri. Engkau mengenangnya seperti halnya Padi melagukan Harmoni. Engkau
merasa tidak mungkin berdiri hari ini tanpa dirinya di masa lalu, meski di masa
nanti, di mana dia, engkau tak tahu lagi. (halaman 7)
Novel
“Aku Angin, Engkaulah Samudra” banyak berkisah tentang interaksi Tasaro dengan
karib-karibnya, sedari kecil hingga usia dewasa. Bagaimana serunya masa kecil
di kampung Gunung Kidul, lalu kepindahan ke Yogyakarta yang membuat tidak
nyaman, dan kebangkitan masa SMA. Berlanjut masa kuliah yang lebih bercorak,
hingga berprofesi sebagai kuli tinta yang penuh tantangan.
Aneka
rupa hal yang dijumpai. Menyenangkan, menyebalkan, menggetarkan, mengilukan.
Kesemuanya memberikan pelajaran. Dan tampak proses kedewasaan Tasaro beranjak
seiring benturan dan tempaan masalah yang dihadapi. Dari mengurusi kawan yang
terjerat narkoba hingga gejolak reformasi yang menggedor sisi heroik para
mahasiswa kala itu. Lalu profesi wartawan dengan kewajiban meliput
kejadian-kejadian yang kerap menciutkan nyali atau berlawanan dengan hati
nurani. Sebuah pengalaman yang mendewasakan. Di sini rupanya hadits Rasul
berperan. Barangsiapa yang hari ini lebih
baik dari kemarin adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan
kemarin, berarti orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari kemarin
adalah orang celaka (Hadits).
Kisah
persahabatan yang melatari novel ini bermuara pada nama Maruto
(merepresentasikan Tasaro) dan Samudro. Keduanya akrab di masa kecil lalu
terpisah ketika Maruto pindah ke Yogyakarta pada masa SMP. Sekian lama
menghilang, tiba-tiba Samu mengirim pesan pendek. Maru tercengang menatap layar
hp. Seakan tak percaya Samu-nya kembali. Dan benarlah itu Samu yang sudah
menjadi tentara dan bertugas di Aceh, yang kala itu sedang panas-panasnya
berkonflik antara GAM dengan TNI.
Aceh.
Nama itu kembali bergaung di benak Maru. Pertemanannya semasa kuliah dengan
orang-orang Aceh, membuatnya merasa memiliki kedekatan istimewa dengan negeri
rencong itu. Sejak dulu, ia berkeinginan kuat untuk menulis buku tentang Aceh.
Hingga kemudian Maru mewujudkan impiannya dengan menjejakkan kaki di Serambi
Mekah untuk memperkuat karakter penulisannya.
Berada
di episode ini, kita dihadapkan pada pemandangan negeri yang porak poranda
akibat perang tak berkesudahan, dengan bangsa sendiri. Sungguh memilukan. Bahwa
sengketa hanya membawa petaka. Perselisihan tak berujung perdamaian. Ada bagian
masyarakat Aceh yang telanjur sakit hati pada pemerintah Indonesia. Coba lihat sekarang. Mana ada rasa terima
kasih Indonesia kepada rakyat Aceh. Kami ditipu mentah-mentah. Kekayaan alam
disedot, rakyat tak mendapat sepeser pun. (hlm. 89)
Maru
terjebak dalam permainan intrik politik GAM, yang menggiringnya pada posisi
sebagai korban penculikan GAM. Maru tersaruk-saruk di hutan, menderita bersama
para tawanan lainnya. Hingga dalam sebuah kontak senjata antara pihak GAM dan
TNI, Maru berhasil lari dan ditemukan pihak TNI dalam keadaan tak sadarkan
diri.
Setelah
Maru kembali ke Bandung, sebuah kabar duka lain datang menghentak. Tsunami
menggulung Aceh. Tanah Rencong luluh lantak. Samu berjibaku menyelamatkan
orang-orang. Kegetiran menyeruak. Bencana ini kemudian seolah menjadi titik
awal bagi Aceh untuk memulai segalanya dari nol.
Seluruh
perjalanan Maru dan Samu ini ditulis dengan emosi yang kuat. Pembaca akan
merasakan beragam suka maupun duka yang mengiringi kisah ini. Tak ketinggalan
hikmah yang memaknai setiap kejadian. Maka, novel ini recommended untuk memperkaya wawasan dan kepekaan. Meski patut
disayangkan adanya banyak kesalahan editing pada pergantian PoV, semoga tidak
menggangu kenyamanan Anda membaca kisah persahabatan menyentuh ini.
Hari ini, ketika aku menoleh ke
tahun-tahun nan terlewati, aku makin percaya, setiap masa punya pahlawannya
sendiri-sendiri. Makhluk semacamku ini, yang senantiasa kelaparan akan
persahabatan, akan berdiri di tempat yang sama, memutar apa yang telah dibuang
oleh orang-orang kebanyakan. (halaman 567)
Judul
: Aku Angin Engkaulah Samudra
Penulis
: Tasaro GK
Penerbit
:Qanita-Mizan
Editor
: Indradya SP
Tahun
Terbit
: Pertama, 1 Februari 2014
Jumlah
Halaman : 572 halaman
ISBN
: 978-602-1637-20-3
#Resensi ini dimuat di qawwam.com tanggal 1 Juli 2014
0 comments:
Post a Comment