Judul: Rengganis - Altitude 3088
Penulis:
Azzura Dayana
Penyunting
Bahasa: Mastris Radyamas
Penerbit:
Indiva Media Kreasi
Cetakan: Pertama,
Agustus 2014
Ketebalan :
232 halaman
Ukuran : 20
cm
ISBN:
978-602-1614-26-6
Kegiatan
mendaki gunung kini menjadi hobi yang banyak diminati. Sensasi sebuah pendakian
bisa dirasakan melalui tulisan-tulisan yang mudah diakses, yang tersebar di
blog, note fb, dan media sosial lain serta dilengkapi foto-foto menawan. Begitu
pula acara-acara televisi yang menampilkan tayangan liputan sebuah perjalanan
pendakian gunung. Maka tak ayal, keindahan sebuah gunung bisa tervisualisasikan
lebih nyata.
Novel
“Rengganis-Altitude 3088” karya Azzura Dayana, adalah salah satu contoh novel
yang memperlihatkan bagaimana lika-liku sebuah perjalanan pendakian. Dikisahkan tentang sekelompok anak
muda yang merencanakan pendakian ke Pegunungan Hyang. Mereka, lima laki-laki
dan tiga perempuan, berkumpul di Surabaya, berkeinginan sama, yaitu menjejak Puncak
Rengganis. Mereka adalah Acil, Dewo, Fathur, Dimas, Rafli, Sonia, Nisa, dan Ajeng.
Sebagai guide adalah Acil yang paling
paham medan, sedangkan yang ditunjuk menjadi pemimpin adalah Dewo.
Selanjutnya diceritakan bagaimana
proses perjalanan menuju Puncak Rengganis hingga kembalinya. Saat berangkat,
kedelapannya merupakan tim yang solid. Bahu membahu, seia sekata. Namun dalam
perjalanannya, friksi-friksi tak dapat dihindarkan. Rafli beberapa kali tidak
sependapat dengan Dewo. Keduanya berselisih, bahkan pernah hingga sama-sama
naik pitam. Untunglah yang lain bisa melerai. Namun ketegangan-ketegangan itu
tak urung menimbulkan suasana tidak enak. Rafli yang ada rasa pada Sonia,
secara refleks selalu ingin menjadi pelindung Sonia. Keputusan Dewo yang
dirasanya tidak berpihak pada Sonia akan ditentangnya keras.
Dalam novel ini, pembaca dimanjakan
oleh deskripsi setting yang sangat detil dan menarik. Keindahan alam selama
perjalanan menuju Puncak Rengganis dibentangkan nyata. Keelokan hamparan
sabana, jalur yang terjal dan menantang, deretan pinus yang kaku menjulang,
juga hewan-hewan liar yang ditemui sepanjang jalan. Sungai Cikasur adalah salah satu kesederhanaan yang indah di bumi
Argopuro. Sebuah sungai kecil beralur panjang dan sempit dengan airnya yang
bersih dan jernih serta mengalir cukup deras. Suara gemuruh yang diciptakan
oleh aliran air sungai, entah mengapa jadi terdengar merdu di telinga. Banyak
tumbuhan selada air di sungai itu yang selalu dimanfaatkan pendaki untuk
dimasak sebagai sayuran hangat. Tepian kiri dan kanan sungai dipenuhi
rerumputan rumput tebal bernuansa hijau dan campuran antara putih dan coklat.
Sungguh eksotik. (halaman 47).
Selain kecantikan alam yang
menyenangkan mata, diceritakan juga sisi historis jejak peninggalan istana
putri Raja Majapahit, Dewi Rengganis. Cerita tersebut beredar dalam berbagai
versi. Mengapa Prabu Brawijaya membangunkan sebuah istana di puncak gunung yang
indah itu, terdapat beberapa alasan yang entah mana yang paling benar. Legenda
tersebut pun masih mengandung misteri. Terutama pada bagian menghilangnya sang
Dewi serta para dayangnya, di sebuah danau. Konon
katanya, sang dewi ini bukan seorang wanita biasa. Dia adalah seorang pertapa
yang memiliki ilmu kanuragan, hal yang lumrah dan tenar dalam kehidupan masa
lalu di zaman kerajaan. (halaman 41)
Maka, hal yang beraroma mistis turut
mewarnai perjalanan mereka. Keanehan-keanehan terjadi. Puncaknya ketika salah
seorang dari tim ini raib, pergi entah ke mana. Pada saat yang kritis itu,
kekompakan dan kerjasama tim sangat menentukan. Bagaimana jika pulang tanpa
jumlah yang lengkap seperti saat kedatangan?
Namun kemistisan suatu tempat bukan
hal yang perlu dibesar-besarkan. Pendaki kita mengajarkan tentang ini. Tidak selalu terjadi hal yang seperti itu
pada para pendaki. Hanya beberapa saja yang pernah mengalami beberapa
keganjilan. Aku pun sebenarnya ingin sekali tidak percaya, tapi ... entahlah.
Alam gaib memang ada. Tugas kita hanyalah berhati-hati dan menjaga iman kita,
kata Fathur. (halaman 220)
Perjalanan sebuah pendakian bukan
sekadar petualangan yang seru dan mengasyikkan. Alam adalah guru yang mengajarkan
banyak hal. Kita harus peka dan cerdas mencermatinya. Bagaimana seharusnya kita
memperlakukan alam ditunjukkan oleh kedelapan pendaki ini. Leave nothing but footprint, take nothing but picture, kill nothing but
ego (Hal. 208) Menjelang kepulangan, mereka melakukan operasi semut,
membersihkan sampah-sampah. Kantung-kantung plastik besar berisi sampah dibawa
turun untuk dibuang di beberapa tempat sampah yang mereka lewati di tepi jalan.
Pengetahuan-pengetahuan seputar
pendakian yang hadir dalam novel ini pun akan menambah wawasan pembaca. Dalam
keadaan darurat, semisal kehabisan makanan, dapat memanfaatkan tumbuhan dan
dedaunan yang ternyata banyak sekali yang bisa dimakan. Namun harus
diperhatikan karena ada tumbuhan beracun. Salah satu cara mengetahuinya dengan
menggosokkan daun tersebut ke tangan. Bila tidak terasa gatal, berarti aman.
Lalu pilih yang tumbuhan atau batangnya tidak berbulu.
“Berarti
sebenarnya alam ini sangat memanjakan kebutuhan kita, ya?”
“Asal kita
pandai memilih, menjaga, dan memanfaatkannya.”
“Selalu ada
keringanan untuk setiap beban. Selalu tersedia solusi untuk setiap masalah dan
musibah. Alam juga seperti itu sifatnya.” (halaman 216)
Tak ada
gading yang tak retak, demikian pun buku ini. Pada bagian awal, ritmenya agak
terasa membosankan karena cerita masih datar dan belum tampak konflik yang
menggigit. Beranjak ke bagian tengah barulah terasa gejolaknya, dan mengikat
pembaca untuk tidak melepas buku ini sebelum selesai hingga akhir. Terlalu
banyaknya tokoh juga kurang memperlihatkan perwatakan yang kuat. Penjelasan tentang tokoh di halaman akhir buku, justru terasa mengganggu. Tentu akan lebih menawan bila gambaran tokoh tersebut hadir menapasi jalan cerita.
Anyway, buku ini
sangat layak direkomendasikan. Di tengah gencarnya gempuran bacaan beraroma
vulgar bagi pembaca usia muda, maka buku ini hadir bak oase di tengah gurun. Bahasanya
santun dengan diksi yang apik. Sisi romansa di dalamnya tidak terlalu
ditonjolkan namun tetap terasa manisnya. Ditambah dengan
pengetahuan-pengetahuan yang akan membuka wawasan pembaca.
Selamat bertualang bersama buku ini
dan menemukan kearifan di dalamnya.
#Resensi ini diikutsertakan pada Lomba Menulis ResensiNovel Indiva 2015
13 comments:
Ini bukan sekuel novel sebelumnya ya mbak?
Bukan, Mbak Lyta. Memang sama-sama tentang perjalanan sebuah pendakian, namun masing-masing ceritanya berdiri sendiri.
Waduh.. Langsung melipir baca resensi mb Linda... Hihihi... Good luck, Mbak :-)
Aiih Yantii.. merendah untuk meninggi.. hihi..
Tentang petualangan yah. Topik yang seru. Mistisnya pasti bikin penasaran
Iya, Mbak Anggraini.. ini ttg petualangan yg asik banget. Dan mistisnya itu bikin serem-serem seru gt deh.. :)
Aku belum baca yang ini, baru Altitude 3676. Tapi soal detail cerita, saya juga mengakui kepiawaian Mbak Azzura Dayana. Dan hal-hal mistis dengan pendakian tetap seru diikuti jalan ceritanya, terutama bagi saya yang suka penasaran. Semoga bisa baca naskah utuhnya deh. Sukses selalu ya, Mbak Linda Satibi ... Salam santun dari Yogyakarta. Kayla Mubara. @KMubarokah
Trimakasiih sdh berkenan mampir, Mbak Kayla.
Detil sepertinya menjadi keunggulan Mbak Azzura, ya.
Salam santun juga, Mbak.. sukses selalu..
rekomend banget ini untuk dibaca terutama anak muda :)
Aku belum nulis, baru mau baca ulang, semoga terkejar
Ayoo Mbak Naqi, semangaaatt.. :)
Makasih yaa mb linda reviewnya :)
Baca juga unek2 saya di review Rengganis di sini: http://azzura-dayana.blogspot.co.id/2016/01/menjawab-rengganis.html
sukses ya. bener nih bagus buat alternatif bacaan.
Post a Comment