Powered by Blogger.
RSS

And The Mountains Echoed - Dan Gunung-gunung pun Bergema



Judul : And The Mountains Echoed
Penulis : Khaled Hosseini
Penerbit : Quanta - PT Mizan Pustaka
Tebal Buku : 516 Halaman
ISBN : 978-602-9225-93-8
Tahun Terbit : Cetakan Ke-I, Juli 2013

                      Cetakan ke-II, Oktober 2013

Blurb:
Kulihat peri kecil muram
Di keteduhan pohon kertas
Kumengenal peri kecil muram
Yang tertiup angin suatu malam

Abdullah sangat menyayangi Pari, adik satu-satunya. Sejak ibu meninggal dan ayah mereka menikah lagi dengan Parwana, Abdullah menjadi ayah, sekaligus ibu bagi Pari. Bagi Abdullah, Pari adalah bumi, langit, sekaligus semestanya. Dalam kehidupan pedesaan Afghanistan yang keras dan kejam, Pari adalah seberkas cahaya matahari bagi Abdullah.

Lalu, ayahnya menjual Pari kepada pasangan kaya di Kabul demi kelangsungan hidup keluarga mereka di musim dingin. Abdullah limbung, dunianya hancur. Tak ada lagi Pari, tak ada lagi kehidupan.

And The Mountains Echoed, novel ketiga Khaled Hosseini yang menggemakan kehidupan keras di Afghanistan. Lewat novel ini, Hosseini berkisah bagaimana pilihan yang kita ambil akan bergaung hingga ke generasi selanjutnya. Bagaimana cinta yang tulus, akan bergema ke seluruh semesta, memanggil jiwa-jiwa yang kehilangan belahannya. 

Alhamdulillah request buku ini dikabulkan sama Mizan. Udah lama banget pingin baca, baru kesampean sekarang. So, telat yaa review buku ini sekarang. Orang-orang mah udah zaman kapan baca buku ini. It's Ok ae lah, better late than never.. :)

Ini buku kedua karya Khaled Hosseini yang aku baca, meski dalam jejeran karyanya, ini adalah novel ketiga. Yang pertama kubaca, pastilah The Kite Runner. Buku yang mengguncang perasaan, dan susah move on berhari-hari dari buku itu.

Ketika baca buku The Mountains Echoed ini, nggak bisa dipungkiri, aku punya ekspektasi yang paling nggak, buku ini menyamai The Kite Runner. Secara Khaled Hosseini, konon memang ahlinya mengaduk emosi pembaca. Halaman-halaman awal, aku terhanyut. Bahkan mata mendanau, emosi terseret dalam duka yang menyayat. Tapi semakin lanjut ke halaman berikutnya, emosi kurasakan mengendur. Entahlah, aku tidak lagi merasa terikat kuat.

Kisah diawali dengan dongeng yang dituturkan Baba kepada Abdullah dan Pari. Dongeng Baba itu terasa ngilu, tentang seorang ayah yang kehilangan anak kesayangannya. Dan ketika cerita bergerak, kemudian Baba pun mengalami nasib yang sama.

Secara singkat, cerita novel ini adalah tentang Abdullah dan Pari. Bocah kecil kakak beradik dari sebuah kampung miskin di Afghanistan. Desa Shadbagh namanya. Mereka memiliki paman yang bekerja di Kabul, pada keluarga kaya raya, yang tak memiliki anak. Sang nyonya jatuh cinta kepada Pari. Ia ingin memiliki anak cantik dan cerdas itu. Dengan uang berlimpah yang dimilikinya, Pari pun akhirnya menjadi 'anak' di keluarga kaya tersebut, keluarga Wahdati.

Jangan dikira Baba adalah ayah yang kejam karena tega menjual anaknya. Di sinilah letak kekuatan Hosseini. Keterpaksaan akibat kemiskinan yang menjerat serta rasa kehilangan dan rindu yang mencekik, mengakibatkan Baba membenci dirinya sendiri. Perasaan Baba terdeskripsikan dengan sangat baik, sehingga pembaca bisa merasakan kepedihan yang sungguh mengiris itu.

Yang lebih mencelos hati adalah apa yang terjadi pada Abdullah. Separuh jiwanya kosong, hilang bersama kepergian Pari. Bagaimana ia menguntai kenangan tatkala Pari masih di sampingnya, adalah bagian yang menusuk hati. Tak hanya Abdullah, seekor anjing kampung yang setia pada Pari, turut berduka, hingga akhirnya ajal menjemput dalam rindu yang tak berbalas.

Cerita terus berlanjut mengisahkan paman Nabi, yaitu paman yang bekerja pada Keluarga Wahdati. Kemudian orang-orang yang terkait dengan Pari dan Abdullah. Masing-masing dari sudut pandangnya sendiri. Seperti biasa, Hosseini sangat detil mendeskripsikan apa yang terjadi, emosi yang tercipta, serta lekuk setting yang melatari. Keahliannya yang satu ini, tak tertandingi.

Ada kejutan yang muncul dari Tuan Wahdati. Sejujurnya, aku nggak kepikir tentang hal itu. Oh, ternyata Tuann Wahdati itu.......... Ah, aku nggak suka. Lalu Paman Nabi yang ganteng itu hingga akhir hayatnya tidak menikah.. mengapa oh mengapa..

Banyaknya tokoh yang bercerita membuatku agak sedikit merasa kurang nyaman. Aku terlampau jatuh sayang kepada Abdullah dan Pari. Tapi porsi keduanya tidak lebih dominan dibanding tokoh-tokoh lain: Paman Nabi, Nila Wahdati, Parwana, Markos, Pari (anak Abdullah). Tapi aku salut pada Hosseini. Kemampuannya meramu beragam sudut pandang, PoV 3 dan PoV1 dengan banyak tokoh, nggak mengganggu jalan cerita. Semua karakternya tetap ajeg alias konsisten.

Seperti halnya The Kite Runner yang berlatar waktu sangat panjang, demikian pun novel ini. Bermula dari musim gugur 1952 hingga musim dingin 2010. Setting tempat pasti Afghanistan, walaupun ternyata Desa Shadbagh itu fiktif, tapi tentu mencerminkan desa miskin di Afghanistan kala itu. Ada juga Paris dan Yunani. Sudah bisa dibayangkan ya, gimana detil deskripsi yang disuguhkan buat pembaca. Benar-benar memanjakan. Hosseini memang nggak ada matinya untuk urusan ini.

So, nggak nyesel baca buku ini. Meski nggak sedahsyat The Kite Runner, tapi ceritanya apik dengan alur berliku. Kalaupun nanti ada novel keempat yang akan dilahirkan, para pembaca di seluruh dunia pasti akan tetap menantikannya. Khaled Hosseini sepertinya memang punya kemampuan menyihir.



 



  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Asiyah, Sang Mawar Gurun Fir'aun




Judul : Asiyah-Sang Mawar Gurun Fir’aun
Penulis : Sibel Eraslan
Penerjemah : Ahmad Saefudin, Hyunisa Rahmanadia, Erwin Putra
Penerbit : Kaysa Media-Grup Puspa Swara
Tahun Terbit : 2014
Jumlah Halaman : vi + 444 halaman
ISBN : 978-979-1479-75-2
Ketika ada pilihan buku tentang Aisyah atau Asiyah, mana yang dipilih? Saya memilih Asiyah. Kenapa? Karena buku tentang Aisyah cukup banyak, dan saya sudah membaca beberapa. Tapi Asiyah.. sejujurnya saya belum pernah membaca buku tentangnya. Saya hanya tahu kalau Asiyah tergolong ke dalam lima wanita mulia yang dijamin Allah masuk surga. Sosok yang lebih detil tentangnya, masih samar bagi saya. Yang saya pahami hanya sekadar permukaannya saja, bahwa Asiyah memiliki iman yang teguh dan akidah yang kuat.

Novel “Asiyah-Sang Mawar Gurun Fir’aun” karya Sibel Eraslan, betul-betul membuka wawasan saya tentang Asiyah. Ada dua bagian besar dalam novel ini. Yang pertama, mengisahkan Raja Akhenaten, orang nomor satu di Mesir, yang bijaksana. Namun ia mendapat perlawanan dari dalam kerajaannya sendiri, yang menentang keyakinan Sang Raja yang menganut ajaran Nabi Yusuf, beriman kepada Tuhan yang Esa. Para penentangnya itu ingin mengembalikan keyakinan mereka pada dewa atau tuhan yang banyak. Amarna sebagai pusat pemerintahan, porak poranda akibat penyerangan itu.

Pada bagian ini pembaca akan berkenalan dengan para tokoh utama. Empat anak istimewa ikut serta bersama rombongan orang-orang dari Amarna, ikut dalam perjalanan menuju Memphis. Keempatnya kemudian mendapat pendidikan di Akademi Kerajaan di bawah bimbingan Apa, abdi setia Raja Akhen. Apa yaitu seorang guru yang andal di antara para guru, tak berbahaya bagi istana, dan tak mencurigakan bagi pendeta.

Keempat anak istimewa itu adalah: Yes atau Asiyah, Pare-Amon atau Ra, Karonaim atau Ka, dan Ha-Amon atau Ha. Mereka tumbuh bersama. Masing-masing memiliki kecerdasan dan keunggulan. Asiyah yang berwajah elok dan bertubuh molek, memiliki kecerdasan pikiran serta kebeningan hati. Ra yang sangat menonjol sifat kepemimpinannya, berwajah mempesona dan kemampuannya berbicara langsung menarik banyak perhatian. Sedangkan Ka, anak muda jenius yang menguasai dengan baik ilmu kimia, astronomi, musik, dan selalu sibuk dengan kegiatan-kegiatan baru dan teori-teori ilmu pengetahuan baru. Terakhir, Ha, berperawakan tinggi dan gagah seperti Ra, memahami semua ramalan seni secara detil, dan tampak sangat cocok menjadi seorang penasihat.

Bagian kedua mengisahkan perjalanan hidup Ratu Asiyah, sang permaisuri Raja Ra. Empat sekawan dari masa kecil kembali bersama, namun membawa ambisi masing-masing. Bagian ini tak kalah asyik dengan bagian pertama. Di sini terkuak bagaimana isi hati Asiyah lebih dalam. Kemudian pertemuannya dengan bayi Musa, kecintaannya yang luar biasa kepada Musa, serta kekuatannya menjaga keimanan terhadap Tuhan Yang Satu. Lalu adapula Tahnem dan Sare, dua orang abdi setianya.

Saya betul-betul menikmati membaca buku ini, secara saya nggak terlalu suka pada novel sejarah. Tapi novel ini berhasil mengikat saya. Saya terhanyut dalam alun rasa dan emosi yang dibawa Asiyah. Saya bisa merasakan kesepian Asiyah. Bisa menyelami kerinduannya pada rumah impiannya, dan bukan pada istana mewah nan megah. Bagaimana perjuangannya menghadapi Ra, perlindungannya pada Musa, dan keteguhannya menjaga iman.

Kehadiran Musa dalam kehidupan Asiyah sangat berarti. Keistimewaan Musa sudah tampak sejak bayi. Saat tangisnya menyayat hati Asiyah tersebab haus ingin minum susu. Berbondong-bondong wanita diminta untuk menjadi ibu susu, namun bayi Musa tetap menangis. Hingga akhirnya ibunda Musa datang, lalu menyusuinya, barulah Musa diam dan lahap menyusu. Asiyah lantas memperjuangkan agar Yakobed, ibunda Musa, bisa tetap berada dekat Musa, di lingkungan istana. Sungguh perjuangan yang berat. Hingga akhirnya Musa kemudian dibesarkan oleh dua ibu yang masing-masing memiliki tempat tersendiri di hati Musa.

Bukan berarti buku ini sempurna. Dalam beberapa bagian ada pengulangan-pengulangan kalimat. Begitu pun sajak-sajak yang panjang, cukup membuat pegal. Namun bila dihayati dan dicerna mendalam, akan terasa juga keindahannya.

Saya tidak akan mengurai bagaimana jalan cerita Asiyah, agar Anda bisa lebih menikmati kisahnya tanpa terganggu spoiler. Yang pasti, saya tidak ragu merekomendasikan novel ini untuk dibaca pada Ramadan suci sekarang. Keteguhan Aisyah pada akidah akan mengusik kesadaran kita tentang bagaimana posisi kita sekarang. Lihatlah ujian dan tekanan yang dialami Asiyah. Betapa layak baginya mendapat keistimewaan sebagai wanita mulia penghuni surga.

Simak blurbnya:
Pagi itu, Nil menangis untuk saudara perempuannya..

Seluruh ikan yang berada di dalamnya, mutiara-mutiara yang berada di tepiannya, anemon yang berada jauh di dalamnya, pohon-pohon akasia yang berada di sudutnya, gurun-gurun yang menjaga bukit-bukit rahasia di dalamnya...

Semua menangis...

Setangkai mawar akan tetap indah, meskipun telah tiada. Meninggalkan kesan yang tak terlupakan. Asiyah adalah mawar yang tumbuh mekar mewangi di gurun-gurun Mesir. Memegang teguh akidahnya, percaya akan Allah yang Mahatunggal, bahkan hingga jilatan lidah api menyentuh kulitnya.

Asiyah, seorang ibu yang mengasuh bayi Musa yang ditemukannya terhanyut di Nil, seorang muslimah yang sungguh pantas menjadi teladan.

*) makasiii yaa.. Ade Delina Putri yang dah ngasi buku ini.. maaaf, reviewnya telat.. ^_^

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Bulan Merah : Kisah Para Pembawa Pesan Rahasia



 Judul                            : Bulan Merah
Penulis                          : Gin
Penerbit                       : Qanita - Mizan
Editor                          : Indradya SP
Tahun Terbit                : Pertama, 2014
Jumlah Halaman          : 256 halaman
ISBN                           :  978-602-1637-33-3

Seorang pejuang kemerdekaan bukan saja mereka yang mengangkat senjata, beradu fisik dengan pihak musuh. Ada juga para pahlawan yang bertaruh dengan nyawanya, demi menyampaikan pesan-pesan rahasia untuk para pejuang pergerakan. Mereka harus mengusahakan agar pesan bisa tersampaikan dengan baik, lalu gegas mengambil balasannya. Semua harus dilakukan dengan cepat, sebelum patroli kolonial datang mengendus lalu menciduknya, yang bisa berujung pada hilangnya nyawa sang pembawa pesan.

Adalah Bulan Merah, sebuah grup musik keroncong, yang mengambil peran sebagai pembawa pesan. Pertunjukan Bulan Merah bukan pertunjukan musik keroncong biasa. Karena beberapa penonton yang datang juga bukan penonton biasa. Para penonton yang tak biasa itu ternyata menyimak dengan saksama lirik lagu Krontjong Padang Bulan yang telah disisipkan pesan di dalamnya. Pesan-pesan rahasia. Pesan-pesan rahasia itu kemudian akan berbalas pesan rahasia lainnya sebelum pertunjukan purna. (halaman 12)

Bulan Merah bermula dari ide Bumi, untuk melanjutkan grup musik keroncong warisan Rawi, yang telah dibekukan sejak Rawi meninggal. Rawi adalah sahabat baik Said, ayah Bumi, yang mengasuh Bumi, dan adiknya Siti, setelah orangtua Bumi dan Siti meninggal saat keduanya masih kecil. Said tewas di tangan patroli Belanda, karena perannya sebagai pembawa pesan. Said adalah salah seorang pembawa pesan terbaik yang dimiliki para pejuang. Entah sudah berapa pesan penting berhasil Said sampaikan. Salah satu pesan terbaik yang berhasil disampaikan adalah pesan dari deri grdung Khatolieke Jongenlingen Bond, Oost-Java Bioscoop, dan Indonesische Club-gebouw. (halaman 57)

Hidup dalam pengasuhan Rawi, seorang pemimpin grup musik keroncong, membuat potensi seni yang dimuliki Bumi dan Siti terus terasah dengan baik. Meski hanya mendengarkan, kemampuan keduanya dalam bermusik, khususnya keroncong, tidak bisa dipandang sebelah mata. Dengan darah seni yang mengalir kuat itu, Bumi dan Siti bertekad menghidupkan kembali grup musik keroncong rintisan Rawi. Bumi ingin menjadikan musik keroncong sebagai alat penyampai pesan rahasia. Tugas mulia ayahnya ingin ia teruskan.

Bumi sudah memikirkan dengan matang, bagaimana cara pesan rahasia itu bisa tersampaikan. Kelompok musik keroncong Rawi terkenal dengan lagu-lagu yang mereka gubah sendiri. Tak pernah sekali pun mereka membawakan lagu milik orang lain. Begitulah pesan-pesan rahasia itu disampaikan. Aku akan menggubah setiap pesan rahasia yang ada dengan menyisipkannya ke dalam lagu. Tidak akan ada yang menaruh curiga karena lirik-lirik dalam lagu itu bias. Tak bisa dicerna begitu saja. Hanya kita yang akan memahami maksud lirik-lirik sandi itu. (halaman 88)

Memang tak semua pesan akan saya masukkan ke dalam lagu. Tentu surat-surat tetap menjadi jalan utama menyampaikan pesan-pesan rahasia. Selama pertunjukan itulah kita harus cepat-cepat bertukar pesan. Bisa lewat kertas-kertas yang dilipat sekecil mungkin. Karena begitu pertunjukan usai, semua pembawa pesan harus sudah meninggalkan tempat. Sekali lagi, harus cepat meninggalkan tempat sebelum patroli menyadarinya. (halaman 89)

Maka dimulailah perjuangan Bumi dan Siti, yang disokong penuh oleh Ratna Melati, vokalis utama grup musik keroncong Rawi pada masa jayanya dulu. Ratna Melati menjadi seperti ibu bagi Bumi dan Siti.

Ternyata tidak mudah menghidupkan kembali grup musik keroncong warisan Rawi. Para pemain utama yang dulu, telah mengundurkan diri karena faktor usia. Sementara para pemain cadangan yang masih berusia muda telah bergabung dengan kelompok musik keroncong lain. Bumi dan Siti pun berjibaku merekrut pemain. Para kandidat banyak yang menolak dengan alasan beragam. Tapi alasan kuat adalah karena peran sebagai pembawa pesan perjuangan. Nyali mereka ciut mengingat bakal berurusan dengan patroli keamanan.

Setelah perjuangan yang melelahkan dalam mencari para pemain yang bersedia bergabung, akhirnya grup musik keroncong bentukan Bumi dan Siti dapat terwujud. Grup musik keroncong tersebut dinamai “Bulan Merah”. Mereka pun memulai pertunjukan sambil membawa misi rahasia, membawa pesan-pesan perjuangan.

Ketika  instrumen agak panjang di tengah lagu dimainkan, dua vokalis “Bulan Merah” tiba-tiba turun dari panggung dan membaur dengan para penonton. Mereka mengajak penonton untuk menari bersama, menikmati alunan musik keroncong. Pada saat itulah pembawa pesan harus maju. Tepat ketika para vokalis mengulurkan tangan seperti hendak bersalaman, mereka harus cepat-cepat saling menukar pesan berupa lipatan-lipatan kecil kertas yang sesegera mungkin harus dimasukkan ke dalam saku baju masing-masing.

Tahun demi tahun berganti. Berbagai kota disinggahi. Berpuluh-puluh pesan telah dikabarkan. Perjuangan “Bulan Merah” tidak selamanya mulus. Seringkali mereka dicurigai dan diinterogasi. Namun pemerintah kolonial kesulitan mendapat bukti yang pasti. Bumi selalu mengatakan bahwa mereka sepenuhnya seniman dan buruh tani milik Rawi.

Kisah perjuangan para pembawa pesan ini menjadi tema yang menarik, karena peran para pembawa pesan sepertinya luput dari catatan sejarah. Sesungguhnya mereka adalah bagian dari perjuangan. Pengorbanannya tak berbeda dengan para pejuang lainnya. Bila ketahuan, tertangkap, ditembak di tempat, atau digantung di tanah lapang untuk disaksikan banyak orang. Hal ini dilakukan kompeni agar masyarakat tak ada yang berani-berani menjadi pembawa pesan.

Konflik dan intrik sepanjang perjalanan sebagai pembawa pesan memberi pengetahuan baru kepada pembaca mengenai situasi zaman pergerakan dulu. Dengan kemasan fiksi yang menarik, dilengkapi unsur romance yang lembut, penulis novel ini berhasil mengantarkan pembaca untuk mengenali sisi lain dari sejarah negeri ini. Selamat membaca!

*) Resensi ini dimuat pada hari Sabtu tanggal 6 Juni 2015 di duajurai.com

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

Misteri Gua Jepang : Melacak Jejak Rahasia Harta Karun



 Judul                           :  Misteri Gua Jepang
Penulis                         :  Iwok Abqary
Illustrator                    : Indra Bayu
Penerbit                       :  Kiddo (Gramedia Grup)
Tebal Buku                  :  v + 152 halaman
Cetakan                       : Pertama, Juni 2015
ISBN                           :  978-979-91-0865-4

Memang beda ya, cerita anak yang ditulis oleh penulis kawakan. Kayak yang satu ini nih, Misteri Gua Jepang by Iwok Abqary. Ceritanya asyik, bahasanya enak, dan plotnya rapi. Novel ini merupakan rangkaian Seri Misteri Favorit yang di;uncurkan oleh Penerbit Kiddo. Beraroma detektif karena di dalamnya terdapat suatu misteri yang menarik untuk dipecahkan. Seruu..

Cerita diawali dengan kekesalan Adon karena rencana liburan ke Yogyakarta, batal. Ayah mengalihkan tujuan ke Pantai Pangandaran karena keinginan Kek Pardi. Kek Pardi adalah kakek jauh Adon yang tinggal bersama keluarga Adon. Kakek jauh itu maksudnya kakak dari kakeknya Adon.

Hubungan Adon dan Kek Pardi yang memang tidak terlalu dekat semakin terasa tidak nyaman. Adon kesal, mengapa Kek Pardi memilih Pantai Pangandaran. Tapi ternyata Pantai Pangandaran adalah tempat wisata yang menarik. Akhirnya Adon pun mulai menikmati liburannya.

Suatu malam, Adon terkejut karena tempat tidur Kek Pardi kosong. Adon memang sekamar dengan Kek Pardi di hotel. Lalu Adon turun ke lobby dan mendapati Kek Pardi tengah mengobrol dengan seorang pria. Adon jadi bertanya-tanya. Kemudian menghubungkan dengan perilaku Kek Pardi. Saat baru tiba di Pantai Pangandaran, Kek Pardi langsung ingin segera mengunjungi cagar alam. Di dalam cagar alam itu terdapat beberapa gua. Salah satunya adalah Gua Jepang. Tapi belum sempat masuk ke dalam gua, Kek Pardi pingsan di pintu gerbang.

Setelah mengamati dan menyelidiki, Adon semakin yakin kalau Kek Pardi menyimpan rahasia tentang Gua Jepang. Dan itu berhubungan dengan harta karun peninggalan Jepang. Bersama Ujang, pemandu wisata cilik yang akrab sejak hari pertama, Adon kemudian terlibat dalam petualangan seru dan menegangkan.

Bagaimana kisah serunya? Baca aja yaa.. berasa kembali ke masa kecil deh. Suka banget baca cerita-cerita petualangan ala detektif gini. Kalo versi luar, tetep serial Lima Sekawan juaranya. Versi lokalnya, aku ngefans banget sama serial Noni.. sampe termimpi-mimpi si Godek-nya.. hehe..

Oh ya, yang menarik juga dari novel ini, ada sisipan kotak-kotak info yang memuat fakta unik tentang hal-hal yang terdapat dalam cerita. Misal: tentang Gua Jepang, pedang samurai, Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, dan lain-lain. Kotak info itu dilengkapi pula dengan ilustrasi yang lebih memperjelas keterangannya. Jadi selain menghibur, novel ini juga menambah pengetahuan.

Deskripsi settingnya juga asyik dan detil. Pembaca betul-betul bisa membayangkan suasana tempat yang menjadi lokasi para tokoh beraksi. Hal ini menambah wawasan pembaca tentang daerah wisata di tanah air.

Buat orangtua juga bagus lho, baca buku ini. Setidaknya bisa belajar dari ayahnya Adon, gimana kalau anak kehilangan barangnya yang mahal. Bayangin aja, kamera DSLR punya Adon hadiah dari Ayah, hilang. Dan Ayah tenang ae menghadapinya. Sementara ibunya lumayan ada intro mau ngomel tuh. Hadeuh..
“Ya ampun, makanya hati-hati dong. Itu kamera pemberian Ayah, kan?” Ibu menggelengkan kepalanya.
“Ya sudahlah, bukan rezekimu berarti. Sudah, ayo habiskan kepitingnya!” Ayah menengahi.
(halaman 79)

See? Ayah nyantai banget, ya.. kayak cuma kehilangan kaos kaki yang harganya sepuluh-duapuluh ribu doang. Dan di halaman berikut juga, handphone Adon hilang. Oh, tidak.. kalau aku mah udah ngomel sepanjang pantai kayaknya.. wkwkwk..

Back to the novel,  ini adalah novel seri kesepuluh. Semua seri mengangkat setting di tanah air. Bagus banget untuk pengayaan pelajaran IPS. Anak-anak memang perlu pengetahuan macam begini, yang dikemas dalam sebuah cerita yang asyik. Jadi nggak berasa kayak baca pelajaran.

So, novel anak ini recommended buat anak-anak. Ceritanya keren, bikin penasaran, dan bikin pinter.. :)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS