Judul Buku : Kesturi dan Kepodang Kuning
Penulis : Afifah Afra
Penerbit : PT Elex Media Komputindo
Terbit : Cetakan I, Mei 2013
Tebal Buku : vi + 312 halaman
ISBN : 602-220-099-7
Harga : Rp. 49.800
Persahabatan
bisa terjadi antara dua makhluk hidup yang berlainan dunia, dunia manusia
dengan dunia fauna. Uniknya, persahabatan itu dapat terjalin antara seorang
bayi mungil dengan burung-burung. Mereka bisa bersenda dan bercengkrama
selayaknya dua sahabat karib. Itulah persahabatan bayi bernama Kesturi dan
burung kepodang kuning. Kisah persahabatan unik ini terdapat dalam novel
Kesturi & Kepodang Kuning.
Kesturi
adalah bayi yang lahir dari rahim Sriyani, perempuan lugu nan sebatang kara.
Suami Sriyani bukan ayah biologis Kesturi, telah lama pergi dan tak kembali.
Ibu dan bayi itu hidup di gubuk ringkih di lereng sebuah lembah dengan sungai
berkapur membelah di tengahnya. Setiap pagi menjelang siang, dari balik
gerumbul tanaman di halaman depan gubuknya itu, keluarlah burung kepodang
kuning, lalu bergabung mendekati Kesturi yang tengah bermain-main sambil
berbaring diiringi denting demung yang dimainkan Sriyani.
Adegan
riang persahabatan itu tertangkap lensa teropong seorang peneliti, bernama
Satrio, yang langsung tertarik untuk meneliti lebih lanjut. Selanjutnya,
persahabatan pun terjalin antara Satrio dan ibu-bayi tersebut, yang kemudian
membawa mereka pada episode cukup rumit dalam kehidupan Sriyani. Gubuk Sriyani
berada dalam kawasan yang akan mengalami penggusuran demi sebuah mega proyek
pembangunan di desanya. Sedang, pengusaha yang terlibat didalamnya adalah kakak
Satrio, seorang dokter PTT di desa tersebut, dokter Rajendra.
Novel
ini tidak seperti novel biasa pada umumnya. Ia menawarkan sesuatu yang beda,
yang berkelas. Alurnya rapi, bahasanya mengalir dengan dihiasi diksi yang
menawan dan taburan metafor yang indah.
Persahabatan
manusia dengan hewan, merupakan pilihan unik karena sangat jarang dibidik
penulis. Namun tetap berada pada jalur yang logis, karena sejarah para nabi pun
mencatatnya, sebut saja Kisah Nabi Sulaiman dengan burung Hud-hud, Kisah Nabi
Yunus dengan ikan paus yang menelannya, dll. Pada bagian persahabatan ini,
penulis menyuarakan pula keprihatinannya tentang kondisi burung kepodang yang
kini semakin langka. Deskripsi burung kepodang dipaparkan detil sehingga
tampaklah keelokan fisiknya dan manja perangainya. Sebagai burung yang merupakan ciri khas
wilayah Jawa Tengah, sudah sepantasnya keberadaan burung ini lebih diperhatikan
agar terhindar dari kepunahan.
Desa
tempat tinggal Sriyani merupakan desa dengan alam yang masih perawan.
Ketenangan di desa tersebut mulai terusik ketika sebuah mega proyek dicanangkan
di sana. Dengan alasan pembangunan demi kemajuan rakyat, proyek tersebut
seperti sudah menang sebelum bertanding. Di sinilah, novel ini berbicara dalam
fungsinya sebagai media kritik sosial. Intrik-intrik dalam pemenangan tender,
diurai lugas. Terlihat nyata betapa politikus Senayan bermain penuh suka cita
karena gelimang rupiah didapat dari pelicin sang pengusaha. Ia tinggal sedikit
mengelus badan anggaran, proyek pun disetujui. Tak ketinggalan pejabat daerah,
jajaran pemkab, dan beberapa anggota dewan yang terhormat. Semua bermain culas,
berpura-pura, bersembunyi dalam propaganda atas nama rakyat. Mereka seolah
mengusung tujuan mulia demi pembangunan dalam rangka memajukan tingkat
kehidupan rakyat. Anehnya, praktik licik ini meski telah diketahui pula oleh
masyarakat, namun tetap saja dapat berjalan mulus. Bilapun terendus penyidik
lalu diseret ke meja hijau, para penguasa di atas tetap tersenyum lebar, karena
pasti ada ‘korban’ yang dijadikan pecundang.
Bagi
orang-orang yang gemar menadah muka dan cari selamat, tak berpantang untuk
melebur dalam lumpur busuk. Sebaliknya, orang yang bersuara lantang,
mengkritisi segala keganjilan, membela kepentingan rakyat yang sebenarnya,
dengan mudah langsung disingkirkan. “Benarkah ada seorang PNS di Sukatirta yang
bernama Sumini? Dia bermaksud mengacaukan program pemerintah. Harus ada
pembinaan untuknya! Kalau perlu, mutasi!” (hlmn 157). Itu yang dilakukan
pejabat kabupaten selepas audiensi dengan rakyat mengenai sosialisasi proyek
pembangunan yang tengah dicanangkan. Namun sayangnya, bagian ini tidak
ditindaklanjuti penulis, bagaimana kelanjutan nasib Sumini.
Proyek
pemerintah yang beraroma KKN, kerap berhadapan dengan kelompok pembela rakyat
yang dinaungi LSM. Aktivis LSM, yang dalam kisah ini adalah kelompok peduli
lingkungan, mengawal dengan ketat jalannya proses proyek tersebut. Aksi jegal
menjegal dilakukan pihak penguasa. Segala cara dihalalkan, bahkan bersifat
kriminal sekalipun.
Meski
menyajikan bagian yang serius, berupa tindak kolusi, korupsi, nepotisme yang
kental dengan muatan politis, tidak lantas menjadikan novel ini sebagai novel
yang berat. Membacanya tanpa perlu mengerutkan dahi berlipat-lipat. Ia tetap sebuah karya sastra yang indah, yang
asyik dinikmati.
Satu
lagi yang patut diacungi jempol adalah muatan lokalitas yang kental pada novel
ini. Nuansa Jawa terasa pekat dalam deskripsi yang memikat. Beberapa kata dalam
bahasa Jawa, hadir dalam porsi pas, dan disertai terjemahnya yang sangat
membantu. Tokoh Sriyani yang Jawa tulen, benar-benar mewakili tipikal gadis
Jawa yang lugu. Bagaimana ia bisa teperdaya hingga berbadan dua, merupakan
gambaran kepolosannya yang mengundang iba.
Dengan
segala kelebihan novel ini, kiranya peribahasa Tak Ada Gading yang Tak Retak tetaplah berlaku. Tokoh Dokter
Rajendra, sayangnya terasa kurang rasional untuk ukuran tingkat kecerdasan yang
dimilikinya. Sebagai seorang yang selalu merasa tertantang untuk menjadi
pemenang, sepertinya sang dokter terlalu gegabah untuk langsung terjun di dunia
bisnis. Apalagi langsung menangani proyek bernilai trilyunan rupiah. Dengan
riwayat cum laude, tentu seorang
Rajendra akan melakukan studi lapangan dengan teliti terhadap bidang yang
sangat baru yang akan digelutinya. Dan agak aneh, ia menyerah kalah sebagai
dokter, padahal profesi itu diimpikannya sejak di bangku taman kanak-kanak.
Ditambah lagi, kemudian ia harus melepaskan gadis pujaan hatinya.
Adanya
‘kebetulan’ yang biasa muncul dalam sinetron, hadir pula dalam novel ini. Ini
terjadi pada pilihan sekolah untuk studi lanjutan Satrio dan Dokter Alisa. Kebetulan
sekali, bisa sama. Terlalu mudah.
Tentang
cover, akan lebih menarik bila warnanya lebih ceria mewakili keriangan
persahabatan Kesturi dan kepodang kuning. Dan mengapa tidak ada ilustrasi
kepodang kuning? Hanya ada ranting dedaunan dengan dilatari warna sendu.
Mungkin menyiratkan bahwa ada kisah pilu di balik cerianya persahabatan itu.
Tapi tetap saja, sayang rasanya bila cover terkesan biasa.
Terlepas
dari itu, novel ini sangat membumi. Adegan demi adegan yang ditampilkan,
merupakan potret kehidupan yang nyata, yang diharapkan bisa lebih mengasah
empati dan membuka wawasan terhadap kondisi sosial masyarakat yang terjadi di
tengah kita.
6 comments:
Mantap mamah, Ridho juga meresensi http://ridhodanbukunya.wordpress.com/2013/12/02/persekongkolan-merusak-kelestarian-alam/
dari kekurangannya novel ini keren :)
resensi Ridho dimuat di media nggak? aku mah terpental.. hehe..
setiap resensinya bu Linda slalu bikin pengen beli ahehe... kemarin bikin resensi ttg Rinai nggk? saya udah beli :D
Bukannya Ayub beli Rinai karena baca resensiku, ya? hehe..
Ga bakal nyesel deh beli Rinai.. :)
Sy juga suka novel yeni yg ini, lbh membumi :-)
Mbak Lyta, novel Mbak Yeni yg lain melangit ya? :)
Post a Comment