Powered by Blogger.
RSS

Menimbang Cinta Saat Menjeda





Judul Buku                  :  Menjeda
Penulis                         :  Adya Pramudita
Penerbit                       :  PT Grasindo
Terbit                           :  Cetakan I, Januari 2014
Tebal Buku                  :  vi + 266 halaman
ISBN                           :  978-602-251-328-5
Harga                          :  Rp. 49.000

Hidup adalah seni memilih. Aneka pilihan berkelindan dalam hidup, dan ia menentukan jalan kehidupan yang akan ditempuh, dalam sisa waktu yang ada. Demikian pun cinta. Adakalanya ia membenturkan pada lebih dari satu pilihan. Cinta lampau yang mengendap dalam memori, kerap enggan beranjak pergi, dan memengaruhi jalan cinta yang sedang dijalani. Namun, hanya satu cinta yang berhak dipilih, apakah cinta dari masa lalu yang terus bertalu, atau cinta yang hadir kemudian.

Konflik antara dua pilihan cinta tersebut menapasi kisah bertajuk “Menjeda” yang terbungkus dalam romance yang manis. Seorang perempuan yang mahir menggambar, Keira, terlahir dalam keluarga mapan finansial yang timpang. Ibu yang terlalu dominan, sementara posisi ayah begitu lemah. Seluruh anggota keluarga harus tunduk patuh pada segala ucap Ibu yang bermakna sebagai titah yang tidak boleh dibantah.

Keira berbeda dengan Rania, kakaknya, yang penurut. Ia suka memberontak. Termasuk ketika persahabatannya dengan Giras, terusik. Ibunya melarang keras Keira berhubungan dengan Giras yang jauh berbeda kasta secara ekonomi. Hingga akhirnya Keira dipindahkan sekolahnya ketika kelakuannya dianggap sudah melebihi batas kewajaran, melanggar peraturan Ibu secara frontal, dan melewati ambang batas kesabaran Ibu.

Keira remaja tergugu pilu memandang Giras yang melepasnya dengan tatapan berkabut. Perpisahan di awal kelas 1 SMA itu, memisahkan keduanya, namun nama Giras tetap tersimpan rapi di hati Keira.

Di sekolah yang baru di kota, Keira berubah menjadi gadis pemurung. Adalah Radja, sahabat setia yang berhasil mengubahnya kembali menjadi gadis ceria, setelah gambar sketsa Keira yang mewujud dalam komik berseri, dipajang di mading. Kepercayaan diri Keira tumbuh seiring persahabatannya yang kian mengental dengan Radja.

Masa kuliah, mereka berpisah. Radja ke Roma, sedang Keira di Bandung. Sayangnya, kuliah Keira tidak bisa berlanjut, karena faktor biaya. Ayahnya tidak lagi sanggup membiayai tersebab kehidupan rumahtangganya yang berantakan, bercerai dari istri, diikuti kariernya yang terjegal.

Keira terseok melanjutkan hidup sebagai guru menggambar. Pada saat itu, Radja pulang sejenak ke Indonesia. Selain menengok keluarga, ia berjibaku mencari Keira lalu bersimpati pada kemelut hidup yang dialami sahabatnya itu. Keira akhirnya mengikuti ajakan Radja untuk ikut dengannya mengadu nasib di Roma, Italia. Selama di Roma, bayang Giras terus menguntit benak Keira.

Kepada siapakah kemudian Keira menjatuhkan pilihan? Apakah rasa-nya pada Giras benar-benar the true love atau sekedar euphoria nostalgi masa lalu? Lalu bagaimana ia menempatkan Radja dalam hatinya? Hanya sebagai dewa penolongkah atau merupakan muara cintanya?

Kisah ini mengalun dengan beberapa flashback. Karakter para tokoh diperkenalkan melalui serangkaian kejadian dan dialog yang dibangun. Usaha penulis untuk Show, Don’t Tell patut diacungi jempol. Penggambaran Ibu yang otoriter dan ayah yang tak bergigi, cukup konsisten. Justru pada Keira, mengalami lompatan emosi yang berubah-ubah. Sebagai gadis pemberontak yang periang kemudian berbalik menjadi penyendiri yang selalu muram, kemudian kembali menjadi ceria. Sayangnya, lompatan ini terkesan terlalu cepat, sehingga agak kurang logis. Sementara Radja, tampak ajeg sebagai lelaki dewasa yang memiliki pengertian sangat tinggi, serta kemampuan mengelola emosi yang sangat terkendali.

Ada banyak tempat yang menjadi latar kisah ini. Sebuah desa di Bogor, lalu kota Bogornya sendiri, Jakarta, Depok, hingga Roma-Italia, semua terdeskripsikan dengan baik. Tak ketinggalan detil serta ornamennya yang disuguhkan apik. Hasil riset yang dipadu dengan imajinasi, cukup bekerja dengan baik.

Selain riset latar tempat, penulis juga tampaknya melakukan riset serius untuk hal-hal yang terkait dengan design, olahraga paralayang, arung jeram, panjat tebing, juga bisnis penyelenggara olahraga alam. Deskripsi cukup detil mengenai hal-hal tersebut mendukung jalan cerita sehingga terasa menyempurnakan.

Kekuatan yang menonjol dari novel ini adalah kepiawaian penulis dalam olah diksi. Kalimat-kalimat yang manis dengan kekuatan pada keindahan bahasa, bertaburan sepanjang cerita. Pilihan katanya beragam, beberapa tersirat majas.

Menjelang bagian akhir, penulis tampak mengulur emosi pembaca. Konflik yang terpusat pada pilihan Keira, antara Radja dan Giras, terkesan berputar-putar. Keira kemudian muncul sebagai sosok peragu tingkat akut. Pembaca benar-benar dibuat bingung, akan kemanakah cinta Keira berlabuh. Kejutan-kejutan hadir mewarnai, menambah bumbu rasa penasaran. Namun alur yang melambat ini, boleh jadi akan menimbulkan kegeraman pembaca pada tokoh Keira. Sesungguhnya penulis berhasil memainkan emosi, namun sayangnya, porsi tarik-ulur itu terlalu banyak, sehingga terasa agak membosankan.

Pesan dari novel ini dapat tertangkap jelas, bahwa cinta adalah perkara hati. Ada baiknya menjeda untuk melihat kecenderungan hati ke arah mana. Karena cinta dan iba kadang tipis batasnya. Ketika cinta mengemuka, maka ia bicara bahagia bagi pihak yang dicinta. Bukan sekadar memikirkan diri sendiri. Sayangnya, pola hidup yang dilakukan Keira-Radja ketika tinggal di Roma, tidak cocok dengan pola ketimuran kita. Memang benar darah Radja hanya separuh Indonesia, maka mereka hidup bersama dalam satu apartemen, bukan masalah bagi Radja dan keluarga Italia-nya. Meski di dalam apartemen itu pun keduanya memiliki teritori sendiri-sendiri dan tidak tidur dalam ranjang yang sama, namun tetap saja rasanya kurang ‘nggenah’ dilihat dari adab ketimuran kita.

Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sebagai novel debut, “Menjeda” ini menarik. Ia tidak terbata-bata. Membacanya terasa menyenangkan. Romance-nya manis dan lembut. Layak diberi bintang tiga setengah dari lima.

*) resensi ini dimuat di indoleader.comhttp://indoleader.com/index.php/resensi/1721-menimbang-cinta-saat-menjeda

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

12 comments:

Fardelyn Hacky said...

Tidak pernah kita temukan dahan padi yang patah karena terlampau berat menahan beban. Sama halnya dengan manusia yang tidak akan hancur, karena tidak mampu menjalankan takdirnya
ini kata-kata di novel mbak tuti ya mbak? awwww....sukaaaaaa

Riawani Elyta said...

Masih currently reading:-)

Linda Satibi said...

Eh, Ecky komennya sama dgn yg di fb.. hehe.. saking suka sama kalimat itu ya? kalimat-kalimat Tuti emang kadang menyihir.. :)

Linda Satibi said...

Kiriman novel ini kayaknya beriringan deh, ke mbak Lyta sama ke aku..
tapi aku mah kalau baca novel, bisa cepet, soalnya suka penasaraan.. :)

Binta Almamba said...

penasaran deh jadinya :)

Riani Desinastiti said...

Resensi buku ini bikin aku tertarik sama dua hal, buku mbak Adya Pramudita dan buku mbak Linda Satibi. :)

Linda Satibi said...

Mbak Binta, ini novelnya cakep.. :)

Adya Pramudita said...

menjeda memang bukan karya yang sempurna, tapi saya berharapa dapat menjadi pembuka perkenalan diantara saya dan pembaca :)
kini karya ini sudah menjadi milik pembaca, yang bisa dikritisi dari berbagai sudut. dan ini adalah resensi yang seakan mengulurkan tangan agar saya memperbaiki situasi adegan yg harus saya bangun dalam karya selanjutnya. terimakasih teteh :)

Unknown said...

Resensinya Mbak Linda bagus... pengen bisa bikin resensi sebagus ini :)

Linda Satibi said...

Mbak Riani... jiaaah.. buku Linda Satibi kapan yaa..? insyaAllah.. mohon doanya yaa.. sejak thn lalu sudah dicanangkan bab niat.. smoga thn ini bisa bergerak ke bab selanjutnya.. :)

Linda Satibi said...

wah.. penulisnya dateng nih..
sukses yaa Nti, Menjeda-nya..

Linda Satibi said...

Mbak Rosa.. makasiiih dah bilang resensi sy bagus.. :)
Sy masih hrs banyaaaakk blajaaarrr..

Post a Comment