Judul Buku : Home
Penulis : Ifa Avianty
Penerbit : Diva Press
Terbit : Cetakan I, September 2013
Tebal Buku : 388 halaman
ISBN : 978-602-255-300-7
Harga : Rp. 50.000
Baiti Jannati.
Begitulah sejatinya makna sebuah rumah. Ia adalah surga bagi penghuninya.
Karena di dalam rumah terhampar kedamaian, terbentang kebahagiaan. Kemana pun
seseorang pergi, sejauh apa ia melangkah, maka rumah adalah tempatnya kembali.
Novel “Home” karya Ifa
Avianty berkisah tentang sebuah rumah. Di dalam rumah tersebut ada Papa Kurt
yang kaku, Mama Bea yang lembut, dan ketujuh putranya. Kisah diawali dari
keinginan Papa Kurt untuk menjual rumah tersebut, yang kemudian menjadi konflik
utama novel ini.
Mama Bea tidak setuju
dengan ide suaminya untuk menjual rumah. Namun sebagai istri yang penurut, ia
berusaha mengerti alasan yang diutarakan suaminya, bahwa perawatan rumah besar
tersebut cukup menyulitkan, terutama dilihat dari segi biaya, termasuk di
dalamnya pajak rumah yang tinggi. Posisi Papa yang sangat dominan, tidak
membuatnya membawa masalah penting ini ke dalam perundingan keluarga. Tidak ada
ajakan untuk membicarakan terlebih dahulu usulan tersebut, namun Papa langsung
memutuskan. Anggota keluarga hanya menerima pemberitahuan.
Sebelum dijual, Papa
berniat membenahi rumah tersebut, mengecat ulang dan memperbaiki bagian-bagian
yang rusak. Masalahnya, ketika rumah sedang diperbaiki, di mana mereka tinggal?
Papa merasa itu bukan hal yang harus dipusingkan, toh ia memiliki 7 putra.
Namun Mama meragukan anak-anaknya mau menerima orangtuanya tinggal sementara,
mengingat hubungan Papa dengan anak-anak yang kurang hangat selama ini.
Cerita pun bergulir
dengan beberapa flashback. Dari ketujuh putra Papa Kurt-Mama Bea, yang mendapat
porsi menjadi tokoh utama adalah si sulung, Wisnu. Dimulai dari masa
kanak-kanak, remaja, hingga dewasa, bergulir cerita tentang Wisnu.
Persahabatannya dengan Truly yang berlanjut hingga ke pelaminan, hadir dalam
kisah yang unik, lucu, juga menyentuh.
Karena keluarga ini
adalah keluarga besar, maka untuk menguatkan jalan cerita, bermunculanlah
banyak nama. Selain ketujuh putra, ada juga ketujuh menantu, lalu para om dan
tante, para sepupu, dan cucu-cucu. Tentu saja tidak semua ikut ambil bagian
dalam cerita, beberapa hanya disebut namanya. Namun tak urung agak sedikit
memusingkan juga.
Dari ketujuh menantu,
yang paling dekat dengan Papa dan Mama adalah Truly, istri Wisnu. Truly-lah
yang lebih sering memberi perhatian, berupa sapa di telepon maupun datang
berkunjung. Sedangkan dari sisi finansial, kehidupan putra sulung Papa-Mama
tidak se-cemerlang adik-adiknya. Wisnu ‘hanya’ seorang kepala sekolah sebuah
SMA swasta, sedangkan Truly menjalankan bisnis katering.
Maka ketika rumah besar
itu direnovasi, Papa dan Mama lebih memilih tinggal di rumah Wisnu yang mungil.
Peran Truly semakin tampak besar untuk berusaha mengeratkan hubungan suami dan
ayah menantunya, yang selama ini tampak dingin dan canggung. Truly pun
menggalang kekuatan di antara para menantu. Ia berharap semua akan mengajak
para suami, untuk bersama-sama menentang rencana penjualan rumah tersebut.
Novel ini sungguh penuh
cinta. Ia memperlihatkan betapa cinta-lah yang menjadi perekat hubungan, menjadi
pemecah kebekuan, sehingga sebuah keluarga yang kaku dan kikuk mampu berubah
menjadi keluarga yang mesra dan hangat. Bahwa cinta, yang mengantarkan pada
pemahaman akan arti sebuah ketulusan, kasih sayang, dan kebersamaan.
Makna rumah yang ingin
disampaikan oleh novel ini tercermin dari kutipan berikut: ...terlalu banyak kenangan, sejarah, dan cinta yang terjadi di sini.
Rumah ini bukan sekedar rumah fisik, namun juga rumah hati, di mana seluruh
keluarga, termasuk keluarga besar pulang untuk me-refresh hati... (halaman
380). Maka rumah tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk berlindung dari
panas dan hujan semata, namun lebih jauh dari itu, ia adalah tempat kembali,
tempat segala cinta bermuara. Dan ketika masing-masing anggota keluarga telah
menemukan pasangannya, kemudian keluar dari rumah demi memulai hidup baru, maka
itu bukan berarti mereka benar-benar pergi dan menjauh. Karena jiwa-jiwa mereka
seyogianya tetap tertinggal untuk senantiasa kembali dan berkumpul bersama demi
merajut cinta, merekat hubungan yang terpisahkan jarak , dan mendekatkan hati.
Melalui novel ini,
penulis pun menyadarkan pembaca mengenai kehidupan pasangan lansia. Apa yang
ada di benak mereka, bagaimana perasaan dan kebutuhannya, serta kondisi fisik
dan mental yang menyertai hari-hari tua mereka. Hal ini menggugah kesadaran bahwa suatu saat,
pembaca muda akan tiba pada fase tersebut. Bila sepanjang usia muda itu masih
sanggup membahagiakan orang tua, semua harus dilakukan penuh ketulusan, karena
masa senja itu kadang hanya hadir sesaat. Bila orang tua berpulang ke
haribaanNya, akan tertinggal rasa penyesalan. Menyesal mengapa ketika masih
ada, tidak berbakti sepenuh hati.
Cara penulis bertutur
yang menggunakan PoV satu untuk tokoh-tokohnya, cukup mengasyikkan. Apalagi
dengan bahasa yang ringan, mengalir, santai, beberapa terkesan kocak,
menjadikan novel ini menyenangkan untuk dilahap hingga halaman terakhir. Walau
kadang terasa membingungkan mengingat banyaknya tokoh yang berbicara. Namun
sepertinya memang khas penulis ini yang kerap menghadirkan banyak tokoh.
Pembaca mengidentifikasi karakter melalui eksplorasi emosi dan sikap para tokoh
dalam setiap kesempatannya bertutur. Sayangnya, tidak terhindarkan karakter
yang goyang, dalam arti tidak ajeg. Namun secara keseluruhan, novel ini enak
dinikmati, disamping hikmahnya yang luhur yang terkandung di dalamnya.
#Resensi ini dimuat pada hari Selasa, 28 Januari 2014 di Annida-online
2 comments:
Jadi inget Papi sama Mami
Setelah mereka menua, semua jadi berbeda ya Mbak
iya, Mbak Esti.. baca buku ini tentang pasangan yang sudah lansia.. rasanya jadi gimana ya, agak2 nelangsa gitu deh..
Post a Comment