Judul :
Bulan Nararya
Penulis :
Sinta Yudisia
Penerbit : Indiva
Media Kreasi
Tebal Buku : 256 halaman
Terbit :
September 2014
ISBN :
978-602-1614-33-4
Cinta,
rasanya tak mungkin tak ada dalam sebuah hubungan suami istri. Ia senantiasa
harus ada dan dirawat agar tidak layu, bahkan mati. Namun, cukupkah hanya
cinta?
Novel
“Bulan Nararya” membidik pertanyaan itu. Pasangan Rara dan Angga saling
mencintai. Namun mengapa setelah 10 tahun bersama, pernikahan mereka kandas?
Ada juga Diana dan Yudhistira yang sama-sama saling cinta, tapi tidak bisa
mengelak dari keretakan rumah tangga.
Angga
yang tampan dan populer , menjatuhkan hatinya kepada Rara. Namun sebetapa besar
cintanya, Angga tetap tak kuasa menepis isyarat cinta yang bertubi-tubi dari
para pengagumnya. Rara harus menyaksikan wanita-wanita itu menggelepar oleh
pesona Angga. Tahun demi tahun Rara memendam gulana. Angga berulang kali
meminta maaf untuk kesalahan yang menurutnya tak dia lakukan. Menurut Angga,
bukan salahnya bila para wanita itu jatuh cinta kepadanya.
Di
tengah masa kritis Rara-Angga, sahabat Rara menjadi sepasang telinga, mendengarkan
kemelut pernikahan versi Rara dan versi Angga. Namanya Moza, sesama terapis di klinik
rehabilitasi mental. Namun lama kelamaan Moza dan Angga menjalin hubungan
melebihi sahabat.
Novel
ini meraih penghargaan sebagai Juara ketiga Kategori Novel dalam ajang bergengsi, Kompetisi Tulis
Nusantara yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
Dalam novel ini tergambar setting tempat di Indonesia yang mencerminkan
keindahan nusantara. Ada kota Palu
dengan keelokan Pantai Talise, ada kemegahan Jembatan Suramadu, juga beberapa
kuliner khas nusantara. Selain itu,
ditonjolkan pula wacana penyembuhan penderita skizophrenia melalui pendekatan
budaya.
Namun
novel ini terasa lebih kuat sebagai novel psikologi. Pembaca disuguhi beragam
konflik dengan pendekatan latar psikologi. Hal ini sangat menarik karena
membuka wawasan pembaca dengan analisis yang tersampaikan melalui narasi,
deskripsi, dan dialog yang apik. Bagaimana situasi sebuah mental health center terpetakan sangat baik. Penulis yang tengah
menyelesaikan Magister Psikologi Profesi di Untag Surabaya ini, sukses meramu
aneka konflik psikologi ke dalam sebuah fiksi yang cantik.
Masalah
yang timbul saat ini, tidak terlepas dari rangkaian masa lalu. Angga yang
tampak ‘menikmati’ sanjungan dan pujian dari para wanita, memang tidak pernah
mendapatkan itu sejak kecil, akibat kepergian ibunya dengan lelaki lain. Angga
hidup dengan ayahnya yang terluka parah oleh cinta. Kemudian Yudhistira, mendapat
kasih sayang serta materi melimpah dari ibu tunggal dan kakak-kakak
perempuannya, namun terpenjara ekspresi dan minatnya. Perlindungan dan aturan
yang ketat membuat Yudhis selalu menuruti keinginan keluarga dan sulit
menentukan sikapnya sendiri. Kehadiran Diana, istri yang sangat dicintainya,
ternyata malah memperumit keadaan. Yudhis kemudian menderita skizophrenia,
dengan penggambaran bahwa ia selalu membawa desinfektan semprot dan
membersihkan segala sesuatu yang akan dipegangnya dengan menggunakan cairan
tersebut.
Ada
juga Sania, korban kekerasan oleh orangtua. Ia tiba di klinik setelah ditemukan
dinas sosial di terminal dengan koreng besar di kaki kiri, gigi depan yang
patah, dan bilur-bilur memar di punggung. Lalu, Pak Bulan, lelaki tua penghuni
penjara dan diserahkan oleh sipir penjara ke klinik bagai membuang kucing
buduk. Konon Pak Bulan sering membuat keonaran akibat ‘ketidakwarasannya’.
Rara
sendiri tidak luput dari mengalami gejala-gejala psikotik. Ia kerap mengalami
halusinasi. Dan halusinasi inilah yang membuat novel ini terasa menegangkan.
Rasanya seperti menonton film thriller Hollywood.
Dari
beragam konflik yang ada, terlihat bahwa semua bermuara dari cinta. Cinta yang
harus diiringi dengan pengertian. Kesadaran dan kemampuan saling memahami
pasangan maupun anggota keluarga menjadi hal mutlak, setelah tumbuhnya cinta. Jika
saja Angga lebih memahami perasaan Rara, sebaliknya bila Rara pun lebih
berdamai dengan masa lalu Angga, sangat boleh jadi tidak akan sampai terjadi
perceraian. Demikian juga keluarga Yudhis dan Diana, bila saling bahu membahu
dalam cinta yang sepaket dengan pengertian, mungkin dapat menghindarkan Yudhis
dari cengkeraman skizophrenia.
Wacana
penyembuhan yang diluncurkan Rara dengan metode transpersonal, lebih
mendekatkan penderita skizophrenia dengan apa yang mereka butuhkan. Mereka
butuh didengarkan, ditemani, diajak bicara. Pengobatan farmakologi dihindarkan.
Konsekuensinya, jangka waktu keberhasilan metode ini bisa cukup panjang,
sekitar 10-15 tahun. Tapi hitungan angka bukan bersifat permanen. Dengan
ketulusan cinta dan daya memahami yang tinggi, bukan tidak mungkin penderita
skizophrenia akan lebih cepat kembali ke kehidupan normal.
Ada
banyak hikmah dan pengetahuan baru yang bisa didapat dari novel ini. Tentang
sabar, misalnya. Mempertahankan yang
diyakini benar membutuhkan ego strenght berkali lipat. Dan dengan sadar kita
akan menggunakan energi kesabaran hingga terkuras tanpa sisa. Diana harus
menggunakan kesabaran ekstra. Kesabaran pikiran, kesabaran tenaga, kesabaran
waktu. Hanya bila dia memiliki tujuan yang fokus, energi kesabaran itu dapat cepat
diperbaharui (halaman 210).
Bagaimana
Rara menghadapi seorang penderita skizophrenia, dapat juga diterapkan pada
kehidupan biasa. Untuk menenangkan emosi
seseorang, kita harus coba menangkap apa yang sedang dirasakan. Membantu
menggambarkan perasaan seperti marah dan sedih,
akan membantu secara jujur menemukan inti permasalahan. Perasaan buruk
tak harus disangkal. Mengakuinya jauh lebih baik untuk mulai memperbaiki apa
yang masih bisa diluruskan (halaman 44).
Begitu
pun kritik sosial terhadap masyarakat.
Penderita skizophrenia atau gangguan lemah mental lainnya banyak mengalami
kekalahan dalam banyak hal. Stigma, sudah pasti. Pelecehan seksual apalagi.
Suatu saat pernah ada seorang skizophrenia dibawa ke klinik dalam keadaan hamil
tua. Konon, dia digagahi orang yang tak bertanggung jawab di terminal. Manakah
yang lebih gila, orang yang memang rusak sarafnya atau yang mengeksploitasi
penderita skizophrenia? (halaman 189)
Novel
ini layak direkomendasikan bagi pembaca yang menyukai novel berlatar cinta namun
dengan aroma tidak biasa. Pemilihan judul pun terlihat unik. Nama Nararya, yang
merupakan nama lengkap Rara, bukan nama yang umum. Diambil dari bahasa
Sansekerta yang artinya mulia. Terkesan aneh, sulit diucapkan, namun memikat. Selamat
membaca!
#Resensi ini dimuat di media smartmomways.com tanggal 24 November 2014
10 comments:
Keren Mak, jadi pengen baca novelnya. Kebetulan lagi dekat sama orang yang saya curigai mengarah ke skizophrenia, bawaan orang itu was was mulu.
kalo gitu, perlu banget baca novel ini.. buat referensi gimana ngadepin temen deketnya yg diduga mengarah ke skizophrenia itu..
ini novelnya asyik banget..
thanx yaa, Mbak Astutiana dah mau mampir..
Sejak melihat buku ini wara wiri di timeline, aku penasaran banget sama judulnya. rupanya nama orang, hehee... unik namanya mbak.
Aku harus beli ini. Masuk wishlist-ku awal tahun depan. semoga ada rejeki :D
Wah, saya malah belum sempat bikin ulasannya hehe... benar2 nggak bakat jadi peresensi. Btw, resensinya runtut dan rapi :-)
Ecky, awal tahun depan mau balik ke Indo, ya..? jangan sampe terlewatkan deh, beli novel ini.. :)
Mbak Yeni, bukan nggak bakat atuh, tapi lagi tenggelam dalam tumpukan buku yg setebal-tebal bantal itu yaa.. :)
Makin penasaran. Ternyata isinya 'berat' hihi... terkait kesehatan mental. Yang paling mengundang penasaran adalah terapi skizophrenia dengan sentuhan budaya hmm...
Asik ya kalau kuliah di Psikologi. Penulis memang dekat dengan Psikologi karena harus menelisik psikologi "tokoh-tokohnya" :D
Mbak Melani, meski temanya berat, tapi bacanya asik kok, nggak bikin puyeng..
Mbak Ela, iya Mbak Sinta nih piawai banget mengolah bidang ilmu yg diampu-nya ke dalam jalinan novel..
Post a Comment