Judul : I
Love My Boss
Penulis :
Alberthiene Endah
Penerbit : Gramedia
Pustaka Utama
Tebal Buku : 344 halaman
Terbit :
2006
ISBN :
979-22-1941-2
Blurb:
Salahkah
bila sekretaris naksir bosnya sendiri? Semua orang menyikapi itu dengan
pandangan menghina. Tapi apa salahnya, jika keadaan itu ditinjau dari cinta
sepasang manusia (tanpa embel-embel bos dan sekretaris)?
Setahun
bekerja di perusahaan event organizer, Karina Dewi tak bisa mengelak dari
pesona bosnya, Rene Natalegawa. Pria muda yang sukses, cerdas, tampan,
karismatik.. dan sedang dalam proses perceraian dengan istri yang selama ini
menjadi ‘hantu’ baginya.
Celakanya,
sang istri, Mariska, mendadak menelepon Karina dan memintanya menjadi
‘mata-mata’ untuk meneropong tingkah polah Rene, dan membantu Mariska
mendekatkan lagi hubungannya dengan Rene. Mana cinta yang akan keluar jadi
pemenang? Cinta tulus sekretaris atau cinta posesif istri?
Review:
Ini
novel lawas, terbitan 2006. Tapi membacanya di tahun 2014, tetap asyik dan
nggak terasa out of date. Saya beli novel ini di acara Gramedia Fair. Novel
karya penulis kondang dengan harga miring, gimana nggak ngiler..? hehe.. Secara
saya belom pernah baca novel karya Mbak AE.
Ternyata
emang nggak nyesel beli novel ini. Asyik banget. Saya betul-betul nggak bisa
berhenti dari halaman awal hingga akhir, bahkan sampe menerobos jam tidur.
Bela-belain deh, abis ini novel membuat saya terkerangkeng dan nggak bisa
lepas.
Ini
novel ringan yang menyenangkan. Bahasanya segar, ngalir, nggak ribet, nggak
main diksi yang susah-susah. Dengan latar Jakarta, bahasanya terasa ngepop dan
khas anak Jakarta. Saya jadi teringat temen saya, Mugniar, yang pernah
mengeluhkan model bahasa beraroma ibukota. Katanya, kan pembaca tuh tersebar
dari Sabang sampai Merauke, nggak semuanya bisa ngerti. Engh.. saya nggak tahu
deh kalo dikaitkan sama segmen pembaca yang beragam. Yang jelas, buat saya mah
nge-klik banget model yang kayak begini. Ifa Avianty juga suka-suka bercirikan
khas bahasa anak Jakarta, kan? Dan novelnya asyik toh?
Jangan
berpikir bahasanya yang bahasa model prokem. Tapi maksud saya, gaya becanda dan
humor-humornya itu lho. Misal, ada bagian ketika perusahaan EO itu mau bikin
acara dengan mengundang artis KD, Ruth Sahanaya, dan diva-diva lainnya. Terus,
gagal karena budget yang kritis. Muncullah dialog: Dapet salam dari KD, Uthe, Anggun, sama artis mancanegara! (halaman
131). Nah, itu kan ungkapan kekesalan, bukan dalam arti sebenarnya.
Settingnya juga Jakarta, bangsanya Sogo, Plaza Senayan, Mangga Dua, dan sejenisnya. Nggak ada deskripsi detilnya, dianggap tahu aja kali ya.. Termasuk ketika menyebut-nyebut PS, nggak dijelasin kalau itu Plaza Senayan dan bukannya Play Station.. hihi..
Ok,
sekarang kita masuk ke isi cerita, ya. Seperti yang disebutkan di blurb, ini
kisah seorang sekretaris cantik yang tak berdaya oleh pesona bosnya sendiri. Namanya
Karina Dewi. Tapi dia harus menutup rapat perasaan itu karena statusnya sebagai
sekretaris. Bahkan sahabat-sahabatnya sesama sekretaris, Diandra dan Lucia, tak
mencium gelagat sama sekali.
Sesungguhnya
Karin tersiksa dengan situasi seperti itu. Memendam perasaan dalam-dalam sambil
dihantui perasaan bersalah. Bahwa sekretaris dilarang jatuh cinta sama bos
sendiri. Tapi Karin nggak bisa berhenti mencintai Rene, dengan segala
keganjilan perilakunya.
Penulis
novel ini, Alberthiene Endah, seorang pencerita ulung. Saya seakan merasuk ke dalam
cerita. Bisa merasakan bagaimana Karin tertekan, oleh perasaannya sendiri, oleh
perangai Rene yang membingungkan, oleh tuntutan kerja, oleh teror keluh kesah
Mariska-istri Rene, juga oleh sekitarnya. Tapi Karin tidak bisa membaginya
kepada siapapun.
Novel
ini membuat saya tersenyum, terbahak, tersebal-sebal, bahkan rasanya ikut terhipnotis
oleh pesona Rene. Di bagian yang mengharu biru, hati saya ikut nelangsa. Dan di
bagian yang bikin gemes, saya jadi gregetan sendiri. Mbak AE ini pinter banget
mengaduk emosi.
Sebagaimana
novel romance, kisah cinta Karin dibuat dalam plot yang meliuk-liuk. Tapi nggak
berasa bertele-tele. Ada banyak hal yang tak terduga. Karena saya membaca novel
ini nggak berusaha menebak-nebak, tapi ikut meleburkan diri dalam alur cerita.
Jadi ketika Karin tertipu, ya saya ikutan tertipu juga.. haha..
Selain
menghibur, novel ini membuat saya merenung. Kehidupan ibukota yang penuh
tekanan bisa memunculkan suatu gaya hidup yang bikin geleng-geleng kepala.
Bos-bos muda, para eksekutif keren dengan segala pesonanya, sibuk dengan irama
kerja yang menyedot waktu. Di sela kesibukan itu, ada celah-celah yang mereka
ciptakan untuk sebuah kesenangan semu. Di sisi lain, istri-istri mereka tak
kalah sibuk dengan gempita gaya borju yang terus menghembus di dalam
komunitasnya. Lalu untuk membunuh sepi yang tercipta dalam hati, para istri itu
tidak sedikit yang sama gilanya dengan kelakuan suami mereka. Cowok-cowok
berondong sasarannya. Dan menurut salah seorang endorser yang berprofesi
sebagai psikolog, realita yang dikhayalkan novel ini cukup banyak mewarnai
ruang konsultasi psikolog di kota besar.
Tentang
pekerjaan sekretaris, deskripsinya cukup menarik. Sebab, pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan kesetiaan, ketekunan, dan
keteguhan. Sekretaris bukan show manager yang selalu dihidupkan gempita
pekerjaannya yang kreatif. Bukan pula stylist yang selalu bergairah mereka-reka
ide. Pekerjaan sekretaris adalah pekerjaan penjaga. Ritme kerjanya menjemukan.
Di seluruh dunia, pekerjaan sekretaris sama. Pekerjaan ribet yang tak
mendatangkn pencapaian apa-apa kecuali surat-menyurat lancar, bos puas, semua
urusan beres, laporan mulus. Satu-satunya kesempatan memilih adalah memilih
jenis perusahaan yang ia cintai. Sehingga ia bisa bekerja dengan penuh komitmen
(halaman 23).
“Hubungan kerja yang sangat dekat
antara pimpinan dan sekretarisnya, kerap menyisakan ruang-ruang yang menyentuh
perasaan pribadi. Ruang itu bisa berisi rasa simpati, pengertian, rasa
persamaan, dan banyak lagi. Pendeknya ada sisi-sisi pribadi yang akhirnya
tergali dan tumbuh subur di luar pekerjaan resmi yang mengikat keduanya.
Sesuatu yang sangat manusiawi. Contohnya gue. Irshad itu bos gila. Edan.
Psikopat. Gue rasa, di luar gue, semua sekretaris bisa sakit lever kalau kerja
buat Irshad.” Lucia tersenyum kecil .“ Tapi waktu akhirnya mengajarkan gue siapa
diri Irshad yang sebenarnya (halaman 159).
Buat
yang penasaran sama novel ini, kayaknya nggak bisa lagi dapetin di tobuk
manapun, mengingat tahun terbitnya yang delapan tahun lalu. Pada tahun
terbitnya, 2006, novel ini mengalami cetak ulang dalam waktu empat bulan.
Terbukti, memang novel ini disukai. Begitu pun saya, yang baru membacanya pada
tahun 2014.
Oh
ya, endingnya rada-rada ngegantung. Bagaimana nasib Rene, Mariska, Artha,
Wieke...? hmm.. pembaca dipersilakan menyimpulkan sendiri. Yang jelas, Karin
telah mengalami pendewasaan sikap. Kayaknya itu yang lebih penting yang ingin
disampaikan Mbak AE.
8 comments:
Aku juga belum pernah baca bukunya mbak EA. mengingat jam terbang menulis beliau yang udah keren banget, kayaknya, meski dia menulis novel metro pop bersetting jakarta seperti ini, tetap seru ya. Seseru membaca resensi ini :D
Seruu :D
Sayang udah lama terbit, jadi nggak bisa dapat lagi di tokbuk..
Albertiene memang penulis pelopor Metropop. Aku udah baca yang Jodoh Monica. Wah asiknya bisa ke Gramedia Fair, pasti borong deeh... T_T
Ecky.. hihi.. salah.. bukan EA tapi AE.. :D
iya ini novelnya seru.. aku suka..
Mbak Melani.. iyaa ini dah lama banget..
kalo kita deketan mah aku pinjemin deh bukunya.. :)
Mbak Ela, aku baru tau kalo Mbak AE ini pelopor metropop.. hehe.. kupeng..
yang Jodoh Monica itu seru juga nggak?
Gaya nulis mbak AE mank ngasyikin , review mbak juga asyik :-) tp sekarang mbak AE fokusnya ke nulis biography kayanya
Aku juga blm pernah baca buku AE...kebanykan buku bagus sampai bingung mau baca yang mana. Nggak ada stereotipe sekretaris nakal ya dibuku ini..hmmm aku pengn punya bukunya AE ...mupeng pngen tahu style-nya.
Ressensinya panjang euy :)
Post a Comment