Judul
Buku : Negeri Tanpa Nama
Penulis : Maduretna Menali, Shabrina WS, dkk
Penerbit : Ladang Pustaka
Terbit : 2013
Tebal
Buku : vi + 217 halaman
ISBN : 978-602-18231-7-0
Ini
adalah antologi cerpen 20 penulis. Dengan didominasi warna hitam dan judul
“Negeri Tanpa Nama”, covernya sudah berbicara. Terendus sesuatu yang berbeda
dari kumpulan cerpen ini. Sesuatu yang bukan cerita biasa. Ditambah dengan endorsment dari tokoh-tokoh penulis
ternama, semakin mengukuhkan bahwa buku ini menawarkan keindahan dari sebuah
karya tulis.
Ke-20
penulis buku ini adalah: Maduretna Menali, Nong
Djesse, Muhammad Rois Rinaldi, Robby Anugerah, Muhammad Qhadafi, Ahmad Ijazi H,
Reni Heriani, Putra F.D Bali Mula, Ratna Mega Sari,
Fathorroz,i Imam Solikhi, Ni Putu Fatmaha
Lindawati, Miftah Aliya Fauziah, M. Arif
Budiman, Elfa Nurul Annisa, DG. Kumarsana,
Arinny Fharahma, Shabrina WS, Dudi Irawan,
Hendra Saputra.
Diawali
dengan kata pengantar yang panjang oleh Ian Sancin, berupa ulasan mengenai isi
buku. Kalimat yang tersaji dalam kata pengantar tersebut menggunakan bahasa
puitis. Cerpen demi cerpen diulas dengan menampilkan paragraf-paragraf pilihan
dari setiap cerita. Kata pengantar ini menjadi serupa pula dengan sebuah
resensi.
Cerpen
pertama dibuka oleh karya Maduretna Menali bertajuk “Mereguk Rahim Ibunda”.
Seorang Maysaroh bertutur tentang sejarah hidupnya kepada bayi yang masih ada
di dalam rahimnya. Pada malam terakhir
hubungan mereka sebagai ibu dan anak, Maysaroh membisikkan kisahnya ke telinga
sang janin. Nanti setelah lahir, sang bayi akan berkumpul dengan ayah dan istri
ayahnya yang tak kunjung hamil setelah berpuluh tahun usia pernikahan mereka. Maysaroh hanya menampung si jabang bayi di
rahimnya sampai melahirkannya. Tugas Maysaroh akan selesai hingga di situ.
Kisah
Maysaroh penuh misteri dengan unsur klenik yang kental. Ada makhluk tak kasat
mata yang bikin merinding. Ada ibunda Maysaroh yang mengundang tanda tanya. Sosok
Ibu yang misterius. Dan kehidupan penuh kegetiran yang dialami Maysaroh. Dalam kelelahan, setiap malam aku hanya
menangis dalam kamar kecil di pojok rumah belakang, mencampurkan doa-doa dan
harapan dalam deraian air hujan, karena aku tak ingin seorang pun tahu akan
kepedihanku saat itu (halaman 18).
Hingga
ujung cerita, pembaca dibebaskan untuk mencerna maksud cerita sesuai
imajinasinya. Tidak tersirat secara eksplisit bagaimana kesudahan kisah ini.
Sebuah ending yang mendebarkan.
Bagaimana
dengan cerpen “Negeri Tanpa Nama”? Cerpen ini ditulis oleh Muhammad Qadhafi,
yang meneriakkan kritik sosial tentang
kondisi sebuah negeri. Sang tokoh utama nekat berkunjung ke sebuah pulau yang
dalam peta hanya berupa noktah kecil tanpa penjelasan. Dan tempat itu bernama ‘Tanpa
Nama’.
Setelah
mengalami kesulitan untuk tiba di sana, karena orang-orang yang ditemui dalam
perjalanan tidak ada yang mengerti keberadaan tempat itu, akhirnya seorang
pendayung yang aneh berhasil mengantarkannya ke negeri tersebut. Negeri yang
juga aneh. Rumah-rumah di sini terlihat
janggal dan saling berjauhan. Berbentuk limas-limas tak berjendela. Berpintu
segitiga. Dan bercat debu-debu yang cukup tebal. Tak satu pun terlihat pintu
yang dibuka. Sepertinya akan butuh
banyak keberuntungan untuk mendapatkan tempat menginap di sini (halaman
59).
Perjumpaan
dengan seorang penduduk, mengabarkan bagaimana rupa buruk kondisi negeri itu. Mereka melepaskan
diri, membentuk negeri sendiri, memproklamirkan kemerdekaan dengan harapan akan
mewujud menjadi negeri yang sejahtera. Namun kenyataan, jauh panggang dari api.
Dan tentu saja anak istrinya selama itu
hanya bisa makan dengan cara menyumpalkan kain basah ke dalam mulut mereka,
mengalirkan air mata ke sana, dan mengisap-isap asinnya (halaman 61).
Tokoh
utama yang tanpa nama itu pun disuguhkan pemandangan lain yang lebih mengerikan
tentang negeri itu. Sebuah perumpamaan tragis yang menggambarkan penderitaan
rakyat di bawah kekejaman penguasa.
Cerpen
lain yang membidik potret sosial sebuah fenomena nyata di sebuah wilayah di
timur Pulau Jawa, ditulis Shabrina Ws dengan judul “Titipan”. Penduduk desa
dengan tingkat kemiskinan akut, didera kondisi gizi buruk. Warganya banyak yang
mengalami keterbelakangan mental. Tidak
hanya keluargaku. Di desaku ini,
lebih dari lima puluh orang mengalami hal yang sama. Ada yang sejak kecil, ada
yang umur puluhan tahun, ada yang begitu menikah menjadi tidak waras, ada juga
yang mengalami ketika sudah tua. Benar-benar penyakit menakutkan, tidak bisa
diperkirakan kapan datangnya. Sebagian orang percaya ini adalah kutukan. Tapi
ada orang pendatang mengatakan sebab perkawinan sedarah. Ada juga yang
mengatakan karena kurang gizi. Aku tak tahu mana yang benar (halaman 176).
Kondisi
memprihatinkan ini dikemas dalam cerita yang menyentuh dan menggugah kesadaran
tentang betapa kompleksnya permasalahan di negeri tercinta ini. Apa yang sudah
dilakukan pemerintah dan pihak terkait lain dalam menanganinya? Apakah para
petinggi mengetahui persis kondisi tersebut? Sungguh, bila tidak membaca cerpen
ini, saya pun tidak tahu bahwa hal demikian terjadi di tanah air kita.
Kumpulan
cerpen ini memuat cerpen-cerpen dengan tingkat diksi yang tinggi. Majas yang
elok. Metaphora yang tajam. Kadang dibutuhkan waktu untuk mencernanya. Meski
tema yang diusung tak ubahnya cerpen yang ada selama ini, namun pengolahan
kalimat dengan bumbu kata yang terpilih, menjadikan cerpen-cerpen ini bukan
cerpen sambil lalu. Dan keragaman tema menjadikan buku ini kaya makna.
Bukan
berarti pembaca akan mengerutkan kening sepanjang membaca cerpen-cerpen ini.
Sebaliknya, ada rasa keindahan yang menelusup, ada amuk marah yang terbebat
dalam halusnya kalimat, ada geli yang menggelitik, ada senyum yang seketika
tersungging, juga rindu yang mengharu biru. Maka, bersiaplah tenggelam dalam
keindahannya. Selamat menikmati.
15 comments:
Wiih..keren sepertinya, ya. Pingin punya :D
Walaupun, saya suka bingung meresensi kumcer, dibanding novel hehe...
Ternyata, penulis buku ini, satupun tak ada yang saya tau, kecuali mba Shabrina, wkwkwkk...
saya juga taunya cuma mbak shabrina dan temannya mbak shabrina mbak menali tapi gak kenal juga. cuma tau aja.
wow, keren kayanya nih kump. cerpennya, ada unsur sastranya dan lokalitasnya :)
Iya sama kayak Eqi aku juga gak tau nama2 penulisnya kecuali mbak Shabrina WS :) kuper bgt ya. *jenggut rambut dlm kerudung
Hadiiir, siapa yang nyebut-nyebut nama saya? :D
@EWs
Baru denger nama penerbitnya. Bisa dpt bukunya di toko buku gak tuh?
Ecky, sejujurnya sih aku juga kenalnya sama Mbak Shab doang.. :)
Mbak Melani, aku mah kalo kumcer diambil beberapa cerpen yg menark untuk diketengahkan.. entahlah yg benernya kayak gimana.. itu cuma kira-kira aku aja.. :)
Mbak Anik, toss.. aku juga idem.. hehe..
Mbak Lyta, iya ini nyastra dan unsur lokalitasnya kuat..
Lina.. haha.. nggak usah jenggut rambut.. banyak temennya kok.. :)
anonym itu sapa yaa.. :)
Mbak Ela, kayaknya ada kok di tobuk.. Itu penerbitnya di Jogja kalo nggak salah..
Terimakasih sudah meresensi salah satu buku saya.. Salam kenal..
Post a Comment