Judul
Buku : Aku Ingin Menjadi Santri, Selamanya...
Penulis : H.R. Umar Faruq, Mass Kalampayan, dkk
Penerbit : CV Pustaka Ilalang Grup
Terbit : September 2014
Tebal
Buku : 135 halaman
ISBN : 979-25-8825-7-1
Bangsa
Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kehidupan kaum santri. Di banyak tempat di
tanah air, para santri menjadi pelopor perjuangan pergerakan kemerdekaan negeri
tercinta ini. Kekuatan perjuangan melawan penjajah, banyak yang digerakkan oleh
para kyai dan santri-santrinya. Dan model pendidikan pesantren ini, tetap
lestari, bahkan kini mengalami perkembangan pesat.
Ketika
dulu, santri digambarkan sebagai pemuda kampung dengan sarung dan peci lusuhnya,
maka kini pesantren-pesantren eksis dengan kesan lusuh juga kampungan yang
sudah jarang terdengar. Tidak ada lagi kesan kampungan. Mereka menunjukkan
prestasi seperti halnya para pelajar lain.
Pondok
Pesantren Langitan memperlihatkan prestasi dalam dunia literasi. Mereka
menerbitkan sebuah buku antologi yang ditulis oleh para pengelola
perpustakaannya. Komunitas perpustakaan ini memicu gairah menulis para anggota
dan memfasilitasinya dengan menampung ide-ide kreatif yang berbentuk karya
tulis.
Antologi
ini memuat 17 cerita seputar kehidupan santri. Judulnya sendiri cukup
menggelitik, “Aku Ingin Menjadi Santri, Selamanya...” Bukankah kehidupan santri
seolah terkungkung di dalam pondok, tapi bagaimana bisa membuat seseorang
berucap ingin menjadi santri selamanya? Jawaban atas pertanyaan itu terurai
dalam tutur jujur para santri yang terangkum dalam karya antologi ini.
Masalah
tidak betah merupakan masalah yang biasa dialami santri. Ada istilah ‘boyong’
yang maknanya adalah keluar dari pesantren, pindah sekolah. Kerap keinginan boyong menggoda dan membuat galau. Kehidupan
di luar pesantren sepertinya lebih mengasyikkan dan menjanjikan. Hal ini
dialami Fahmi, tokoh utama dalam cerita ‘Ilingo Niat Mondokmu’ yang ditulis
oleh Ashif. Fahmi melihat kakak kelas dan teman-temannya yang sukses sekolah di
luar. Ada yang kuliah jurusan astronomi di Jepang, di Universitas Al-Azhar
Kairo Mesir, di Universitas indonesia, dan lainnya.
Sedangkan Fahmi merasa
setelah lulus Aliyah lalu mondok di pesantren, tidak berprestasi apa-apa,
bahkan katanya membaca kitab saja tidak becus. Lalu apa yang dilakukan sahabat
Fahmi di pondok, dan yang dirasakan Fahmi kemudian, sungguh menggugah kesadaran
pembaca tentang arti pentingnya niat.
Ada
juga kisah getir tentang kepergian santri untuk selamanya, saat mereka berjuang
untuk pesantren dan kelangsungan dakwah. Dalam cerita bertajuk ‘Selamat Jalan
Teman’ karya Sahal Yasin, dikisahkan tentang seorang santri bernama Farich,
yang meninggal dalam perjalanan menuju pesantren dengan naik kereta api.
Sebelumnya Farich berusaha keras menghafal kitab untuk mengikuti lomba dalam
event meeting class. Demi menjalankan
amanah sebagai utusan kelas, ia ingin tampil dengan baik saat lomba, walau
kondisi kesehatannya tengah buruk. Namun menjelang hari ‘H’ ia pergi untuk
suatu urusan dan saat perjalanan pulang, kereta api yang ditumpanginya ternyata
tidak berhenti di stasiun Lamongan. Farich nekat melompat, tapi perhitungannya
meleset. Kereta melaju terlalu cepat sehingga tubuhnya jatuh tak terselamatkan.
Lain
lagi kisah Chasbullah dalam cerita ‘Tirai-Tirai Surga’ yang ditulis oleh Mass
Kalampayan. Chasbullah mengalami pertentangan batin antara memenuhi keinginan
ibunda untuk pulang atau menjalankan amanah dakwah dari pesantren untuk
mengajar di desa lain. Akhirnya solusi didapat dari Kiai pesantrennya.
Chasbullah mengajar dulu di hari pertama, selanjutnya akan dicari guru
pengganti, sehingga Chasbullah dapat memenuhi keinginan ibunda tercinta untuk
pulang. Namun takdir berkata lain. Pada hari pertama mengajar, ia jatuh dari
motor yang dikendarainya, dan nyawanya tak tertolong. Ia syahid dalam jihad di
jalan dakwah.
Kisah-kisah
lain ada yang mengundang senyum, ada pula yang membawa haru. Kisah santri yang
ditilang polisi, santri yang awalnya berkubang dosa lalu menemukan kedamaian di
dalam pesantren, serta kisah-kisah santri yang semula merasa tidak yakin
dengan jalan hidupnya di masa depan
namun berkat kesungguhannya lalu menuai sukses pada jalan cita-citanya.
Kisah-kisah tersebut menggugah semangat dan menyulut motivasi pembaca untuk
yakin pada langkah yang ditempuh serta menjalani dengan ikhlas. Kesungguhan
usaha yang diiringi doa akan membuahkan hasil. Dan yang penting, ukuran
keberhasilan bukan dilihat dari nilai nominal materi, namun dari keberkahannya.
Maka
tidak heran bila tebersit keinginan untuk menjadi santri selamanya. Pada kisah
utama yang ditulis oleh H.R. Umar Faruq, dipaparkan betapa menjadi santri tidak
menghalangi keinginan untuk sama berprestasi dengan non-santri.
Kesulitan-kesulitan yang dihadapi, cobaan-cobaan yang menerpa, akan
mendewasakan dan menjadikan seorang santri menjadi muslim yang tangguh dan
mandiri. Penulis menuturkan kehidupan ekonominya yang sangat sederhana. Tapi
dengan barokah mencari ilmu, ada saja uang untuk dikirim ke pondok sebagai
biaya hidupnya.
Image
santri yang sepertinya tidak bergengsi, sudah bergeser. Banyak alumni-alumni
pesantren yang berhasil mengukir prestasi. Fasilitas pesantren yang lengkap
sangat memungkinkan untuk para santri mengembangkan potensinya.
Di pesantren kami dilengkapi dengan
fasilitas-fasilitas layaknya pendidikan tinggi, bahkan saya rasa pesantren
lebih lengkap. Perpustakaan (buku, kitab, multi media), media (elektronik dan
cetak), lab (bahasa dan sains), ekstrakurikuler (segala wadah pengembangan
potensi ada), pelatihan, seminar, dan lainnya (halaman 124).
Kami (santri) di pesantren
dibebaskan untuk mengembangkan potensi apa saja dengan fasilitas lengkap,
kreativitas di pesantren terus dipacu dalam beberapa kompetisi yang digelar (halaman
125).
Menjadi
santri, hakikatnya bukan hanya saat berada di dalam pesantren. Setelah keluar
dari pesantren, nilai-nilai kesantrian sejatinya harus tetap melekat. Begitu pun muslim yang tidak mengecap bangku
pesantren, dengan membaca buku ini akan lebih merenungi makna menjadi muslim
yang sesungguhnya. Menyadari bagaimana menjaga hubungan yang baik antara
dirinya dan Allah, juga dengan sesama manusia dan lingkungannya. Selamat membaca!
#Resensi ini dimuat di media wasathon.com pada hari Kamis, tanggal 13 November 2014
Oh iya, ada endors dari aku di cover belakang buku ini..^_^
7 comments:
Mbak antologii ini kisah nyata? Setting dan penulisnya real ya? Wah jadi penasaran..Meskipun ada kisah yang tragis dan menyedihkan, sekarng kan mondok udah jadi pilhan yg lumrah. .
Buku ini ditulis oleh beberapa teman perpustakaan pondok pesantren Langitan yang rata-rata berumur belasan tahun, ditulis menurut cerita mereka sendiri yang dialami di pondok. Antologi yang berangkat dari kisah nyata mereka selama nyantri... :)
wah resensi mbak Linda langganan muat di media online :) menarik nih kayanya kisah anak santri, dari pengalaman nyata soalnya :)
Mbak Lyta, kalau di media cetak mah lebih susah.. hehe.. jadinya di media online aja.. :)
Mantap mba... Salam santri
www.pritowindiarto.blogspot.com
Menggugah selera untuk membaca nih resensinya Mbak :)
Mau nanya. Bagaimana cara menerbitkan bukunya
Post a Comment