Judul
Buku : Cinta yang Membawaku Pulang
Penulis : Agung F. Aziz
Penerbit : Indiva Media Kreasi
Terbit : Cetakan Pertama, September 2012
Tebal
Buku : 296 halaman
Ukuran : 19 cm
ISBN : 978-602-8277-49-5
Harga : Rp. 42.000
Adakalanya
suatu peristiwa pahit yang tak terelakkan menjadi garis takdir yang harus
dijalani. Ia hadir mengubah segala yang indah. Kehidupan yang nyaman,
ayah-bunda yang penuh kasih, adik yang menyenangkan, suami sang pelindung dan penyejuk
jiwa, anak si buah hati yang menggemaskan, tiba-tiba terenggut dan raib dari
pandangan. Entah itu tersebab musibah amukan alam, seperti banjir, gempa
tsunami, dsb, atau letusan perang yang membuat negeri tercinta remuk tak jelas
bentuk.
Hal
yang disebut terakhir itulah yang menimpa Shabana Ahmas, seorang perempuan
Afghanistan yang menjadi tokoh utama dalam novel “Cinta yang Membawaku Pulang”
karya Agung F.Aziz. Shabana Ahmas yang
terlunta, melanjutkan hidupnya di tanah kelahiran yang telah koyak itu dengan
siraman kasih sayang pasangan Farrukhzad-Yasir yang dianggapnya sebagai
pengganti orangtuanya. Ibu Shabana meninggal dalam kondisi mengenaskan di kamp
pengungsian, sementara ayah, adik, suami, dan putra semata wayangnya, tercerai
berai entah di mana.
Hingga
suatu hari, tiba kabar yang menyebutkan bahwa ayah Shabana, Massoud Kamal, ternyata
bermukim di Makkah. Kabar itu menerbitkan asa yang indah. Dan harapan berjumpa
dengan sang ayah semakin membuncah ketika Shabana beroleh uang hasil penjualan
tanah ayahnya, yang cukup sebagai ongkos untuk bertolak ke Makkah.
Setibanya
di Makkah, Shabana mendapati lebih dari yang diharapkan. Tak hanya informasi
keberadaan ayahanda tercinta, namun tercium pula jejak adik, suami, dan
putranya di sana. Shabana pun gegas menghimpun repihan belahan jiwanya yang
terserak.
Bagaimana
kisah perburuan Shabana demi berjumpa dengan keluarganya? Siapkah ia dengan
banyaknya perubahan yang terjadi pada orang-orang tercintanya?
Kisah
Shabana ini dikemas apik dalam jalinan konflik yang kerap meletup tak terduga.
Penulis dengan cerdas menebar plant
harvest di mana-mana, lalu ‘dipanen’ pada saat yang tepat. Tidak ada plot hole. Alur dibangun dengan rapi. Dialog
dan narasi, berkombinasi dengan cantik. Bahasa yang digunakan kadang dihiasi
dengan kiasan yang menawan, semisal: Shabana merasa bulan seakan berdetak di dalam
dadanya. Entah bagaimana dia harus melukiskan perasaan bahagia yang
melambung-lambung (halaman 81), Sepasang
mata perempuan Pakistan itu seakan mau mencuat dari rongganya (halaman
139), Tangis kakak beradik itu pecah
menyobek langit (halaman 276).
Tokoh-tokoh
yang hadir cukup banyak, namun tidak saling berebutan muncul. Penulis ‘memberi
tugas’ kepada setiap tokohnya untuk menempati porsi yang mendukung jalan
cerita, dan bukan menguasai semaunya. Karakter masing-masing pun terdeskripsikan
dengan baik, melalui gambaran perilaku dan gesture
yang ditampilkan.
Sekarang
kita bicara setting, salah satu unsur yang membetot perhatian dari novel ini.
Tampak penulis cukup cerdik memainkannya. Ketika ide utama adalah mengangkat
kasus perang Afghanistan, namun setting Afghanistan justru tidak menonjol. Yang
mendapat porsi lebih banyak malah kota Makkah dan sekitarnya. Maka jangan
berharap novel ini akan mengajak kita menelusuri Afghanistan seperti pada novel
“The Kite Runner” karya Khaled Hosseini. Pun suasana perang tidak tercium
tajam. Hanya ada ilustrasi sekilas-sekilas, seperti pada sebuah peristiwa mencekam
yang tak mau pergi dari ingatan Sabhana, saat dua tentara mujahidin secara
bergantian menodai kehormatan ibunya dengan cara yang sangat keji, di hadapan
mata kepalanya sendiri (halaman 29-30).
Boleh
jadi penulis pernah menunaikan ibadah haji atau umroh di tanah suci, atau
mungkin pernah tinggal di sana, maka setting Makkah dipilihnya untuk lebih
dominan ketimbang Afghanistan. Karena, lagi-lagi mungkin, penulis belum pernah menginjakkan
kaki di tanah Afghanistan, sehingga merasa cukup riskan bila menyoroti wilayah
ini sebagai setting utama. Penggarapan setting dengan hanya mengandalkan
googling akan jauh berbeda hasilnya dibanding dengan merasakan sendiri
berinteraksi serta menghirup udara di tempat yang bersangkutan.
Suasana
Makkah yang pekat dengan unsur ritual, dituturkan dengan takzim. Pembaca dibuat
terhanyut dalam kemegahan Kabah serta Masjidilharamnya, Masjid Nabawi, dan
tempat-tempat suci lainnya, dalam kesyahduan ritual haji. Tak ketinggalan
suasana hiruk pikuk para pengemis dan pedagang di sekitar Makkah. Berbagai
titik area yang bersinggungan dengan sejarah Rasulullah, disampaikan menyentuh
penuh keagungan. Kesemuanya terpampang dalam deskripsi yang cukup detil.
Karena
yang menjiwai sekujur kisah ini adalah perjalanan Shabana di Makkah, maka setting
Makkah yang mendominasi, menjadi tidak janggal. Sementara setting Afghanistan
sebagai pokok cerita ini bermula, hanya muncul di awal, dan tepercik ke dalam
beberapa bab di tengah dan akhir, sebagai penguat. Setting Afghanistan, tidak
hanya hadir sebagai latar tempat, namun juga dalam informasi mengenai bentuk
tradisi dan kebiasaan yang dianut. Salah satu yang menarik adalah, di
Afghanistan ternyata yang dilabeli sebagai pemilik sikap cengeng bukan
perempuan, tetapi laki-laki. Perempuan justru merupakan sosok yang kuat.
Seperti yang diucapkan Shabana kepada adiknya,
Kau tidak boleh bicara seperti
itu, Maryam. Jadilah perempuan kuat. Kau tidak boleh cengeng menghadapi
kenyataan hidup. Sebab, cengeng adalah sikap laki-laki (halaman 292).
Mungkin itu sebabnya, Shabana yang didera oleh cobaan bertubi-tubi, tidak serta
merta menjadi wanita pemurung. Sesekali ia tampak ceria dan terlihat luwes
bercanda.
Dengan
segala kelebihannya, pepatah ‘tak ada gading yang tak retak’ berlaku jua pada
novel ini. Dengan setting luar negeri yang diampunya, penulis sedikit abai pada
penjelasan mengenai beberapa sapaan yang berlaku di negeri Afghanistan. Mungkin
penulis berpikir bahwa pembaca bisa saja mudah mengira-ngira, dan boleh jadi
sebagian pembaca pun merasa tidak masalah dengan berbagai sapaan asing: khanum, khali, kaka, agha, dan
lain-lain. Namun alangkah baiknya bila disertai dengan penjelasan yang bisa
dipahami. Jikapun tidak melalui catatan kaki, dapat juga disampaikan dalam
narasi. Seperti penjelasan tentang bachem
pada halaman 198, ketika Shabana merasa senang dipanggil bachem oleh Aafia. Sayangnya, penjelasan itu pun tidak begitu
terang.
Beberapa
typo masih ditemui, meski tidak terlalu signifikan, sehingga tidak begitu
mengganggu. Walau demikian, tentu akan lebih nyaman bila membaca sebuah buku
yang bersih dari typo.
Cover
buku ini Shabana sekali. Ilustrasi perempuan cantik dengan gurat khas Timur
Tengah, dihiasi bunga-bunga, dalam nuansa warna pastel yang lembut. Sepertinya
akan terasa lebih Afghanistan jika ditampilkan latar negeri yang muram akibat
perang, dalam ilustrasi samar.
Sejatinya
sebuah tulisan, ia membawa pesan kebaikan di dalamnya. Novel ini tampak jelas
menyuarakan pesan perdamaian. Betapa perang berkepanjangan, konflik nan tak
bertepi, hanya menyisakan lara. Dan yang membedakan novel ini dengan “The Kite
Runner” adalah sikap yang diambil tokoh utama pada pilihan menjalani hidup masa
depannya. Shabana tidak memilih Makkah, meski negeri itu menjanjikan keamanan,
ketenangan, juga harapan. Ada alasan tak terbantahkan yang menggiringnya untuk
pulang. Di tanah kelahiran itu, ada cinta yang menantinya.
0 comments:
Post a Comment