Judul Buku : Rinai
Penulis : Sinta Yudisia
Penerbit : Gizone Books (imprint of Indiva Media Kreasi)
Terbit : Cetakan I, September 2012
Tebal Buku : 400 halaman
Ukuran : 20 cm
ISBN : 978-602-8277-65-7
Sebuah
novel mengisahkan sebuah cerita, itu biasa. Tidak demikian dengan RINAI. Ada
cerita dalam cerita, di dalamnya. Tokoh Aku didatangi seorang ibu yang membawa
buku catatan harian milik anaknya. Sang ibu berharap agar buku harian itu
ditulis menjadi sebuah kisah. Maka mewujudlah kisah Rinai.
Alur
cerita mengalir dengan beberapa flashback.
Masa lalu Rinai memiliki andil besar dalam kehidupannya. Termasuk mimpi menahun
yang terus menguntit dalam tidurnya. Tentang Ular. Mimpi inilah yang menjadi
pijakan awal kisah ini. Dan pembaca langsung dipertemukan dengan Freud. Aroma
ilmu psikologi mulai tercium, dan akan terus mewarnai novel ini.
Rinai,
mahasiswi psikologi, hidup dalam keluarga yang memegang erat keluhuran nilai-nilai
Jawa. Ibunya, Bunda Rafika, tipikal wanita Jawa yang tangguh dalam ke-nrimo-annya. Tak pernah ada perlawanan
meski mengalami tekanan dari sana-sini. Sing
waras ngalah.
Di
kampusnya, Rinai mengagumi dosen bernama Nora Efendi, seorang psikolog klinis.
Asisten lab-nya, Amaretta, kakak kelas Rinai yang tengah menempuh S2, sepertinya tak pernah bisa ‘rukun’ dengan
Rinai. Mereka tergabung dalam tim relawan HRHW (Human Relief for Humanitarian Welfare) cabang Indonesia. Sebuah
organisasi independen yang bergerak untuk meningkatkan kesejahteraan manusia,
terutama berkecimpung di wilayah konflik, korban bencana, atau daerah-daerah
yang sulit dijangkau oleh pemerintah terkait. Gaza, tujuan perjalanan kali ini.
Rinai berada di bawah pimpinan Nora, dalam tim kecil yang bertujuan mengatasi posttraumatic stress disorder, bersama
tim trauma healing lainnya, juga para
jurnalis dan praktisi medis. Perjalanan di Gaza inilah, yang menjadi jantung
novel ini.
Sinta
Yudisia, memang pernah mengunjungi Gaza. Maka, ia seolah tidak melewatkan satu
inci pun penglihatannya tentang kondisi Gaza untuk dihadirkan kepada pembaca.
Detil setting sangat rinci hingga ke hal-hal kecil. Tidak hanya bermain apik
dalam setting tempat, penulis juga menampilkan karakter tokoh-tokohnya melalui
penggambaran fisik dan emosi yang lengkap.
Kondisi
Gaza sebagai wilayah konflik ternyata tidak porak poranda dalam semua aspek.
Mereka tetap berkegiatan senormal yang mereka bisa. Apa yang menyebabkan daya
tahan demikian besar dari warga Gaza? Mengapa tingkat depresi kecil, sangat minim
kasus skizofrenia, bahkan violence tak menjadi kebiasaan umum
masyarakat? (halaman 179) Ternyata kuncinya adalah kecintaan pada Quran. Mereka
akrab dengan huruf-huruf Quran, yang bergerak dari kanan ke kiri,
menyeimbangkan kerja otak. Mereka bahkan menghafalnya, terutama Surat At Taubah
dan Al-Anfaal. IQ anak-anak tak ada di bawah angka 100. Beberapa orang dewasa
fasih berbahasa Inggris. Mereka memiliki tingkat kecerdasan yang baik. Semua
bermuara pada keyakinan akan nilai-nilai Islam. Everything is from Allah and back to Allah (halaman 180). Shiroh
Nabawiyah dan kisah shahabat dipelajari dengan baik. Mereka belajar bagaimana survive dalam kehidupan. Masjid, Quran, belajar, berjuang, bertahan.
Itulah orbit yang dilalui terus menerus (halaman 181).
Perang
tentu menimbulkan kerusakan. Bangunan-bangunan hancur, pasokan listrik
dibatasi, dan aneka ketidaknyamanan lainnya, tidak menampilkan kemurungan.
Bahkan keramahan warga Gaza sangat menonjol. Mereka menyambut baik kedatangan
para pemberi bantuan dari negara lain. Namun bukan tersebab menerima bantuan.
Bagi warga Gaza, menjamu tamu,
menghormati tamu adalah sebagian dari keimanan (halaman 183). Betapa
nilai-nilai Islam demikian merasuk dalam keseharian mereka.
Pada
bagian lain, penulis menggiring halus pembaca pada pelajaran cinta tanah air. Mereka
berjuang keras demi berkibarnya bendera di tanah sendiri. Sementara kita, di
negeri merdeka ini, kerap abai pada nilai sejarah berkibarnya bendera pusaka. Dan
lihatlah warga Palestina yang harus tabah bertransaksi dengan shekel, mata uang Israel. Sedangkan
kita, leluasa menggunakan rupiah, mata uang kita sendiri.
Pelajaran
cinta berikutnya tentang keluarga. Sosok Hazem, anak lelaki berusia 12 tahun,
mendampingi penuh cinta sang kakak yang mengalami bisu tuli akibat trauma
perang. Ia menjadi kepala keluarga dalam usia semuda itu, dalam kondisi
kehilangan sebelah kaki. Lalu ada Nirmeen, gadis secantik bidadari, mengajar di
sebuah sekolah dasar. Ia bertutur,
kehidupan kami sedikit lebih cepat dari kehidupan lain dari belahan bumi lain (halaman
360). Mereka harus siaga dengan segala resiko terburuk. Semua dilakukan ikhlas,
karena cinta.
Tidak
ketinggalan, penulis menyuguhkan kisah cinta romantis yang syahdu. Sebuah
perasaan indah yang terselip dalam perjalanan ini. Ada denyar hati yang sangat halus
antara Rinai dan Montaser, seorang pemandu. Tokoh Montaser digambarkan penulis
terasa begitu nyata. Sosok pemuda berusia 25 tahun dengan kontur wajah yang
mengagumkan serta berkepribadian menawan. Cukuplah
Gaza memiliki penjaga seperti Montaser. Pemuda terhormat yang menjaga
pandangan. Menghiasi diri dengan hafalan Quran. Membaktikan diri bagi negara,
setia pada kebenaran dan kemuliaan (halaman 376). Perasaan kedua insan tak
terucap kata, tapi sinyalnya lembut terasa.
Pada
bagian lain, hadir pula intrik dan friksi dalam satuan tim relawan tersebut.
Pergulatan idealisme dan tuntutan operasional penelitian. Tindakan manipulatif
tak terhindarkan. Membuat jengah Rinai yang masih hijau dalam proyek besar ini.
Lalu menyeret Rinai dalam petualangan mendebarkan. Bertindak tanpa persetujuan
tim. Hingga dirinya berada di tengah baku tembak yang menegangkan. Inilah
satu-satunya adegan yang memperlihatkan bahwa mereka berada di medan konflik
yang rawan letusan tembakan dan mesiu. Jadi jangan berharap novel ini banyak
menghadirkan bagian yang membuat napas tertahan, karena terkepung dalam
serangan keji Israel yang datang tiba-tiba.
Dengan ketebalan 400 halaman, novel
ini memang berbicara banyak.
Heroisme, religi, psikologi, tafsir mimpi, romance, tradisi Jawa, kritik
sosial, dan nilai-nilai
kemanusiaan yang dalam. Sungguh bukan novel biasa dari penerbit biasa. Grup
Indiva, konsisten menghadirkan novel-novel berupa karya bermutu, yang
bernapaskan Islam. Plot yang kuat, dengan penokohan yang berkarakter. Jalan
cerita menarik dengan ide yang bukan kebanyakan. Tak sekadar menghibur, di
dalamnya terdapat pemikiran-pemikiran cerdas nan bernas. Sebut saja beberapa
novel, seperti: De Winst, Da Conspiracao,
My Avilla, Livor Mortis, Rose, Tarapuccino, Jasmine, dll. Meski dalam novel
Rinai ini, terdapat typo yang cukup banyak,
namun tertutupi oleh bagusnya isi cerita. Hanya, tentu saja, kesalahan ini
jangan sampai terulang lagi. Dalam kesalahan cetak kali ini, untuk kata
‘seiring’ beberapa kali tercetak ‘seiiring’. Contoh lain: ‘senatiasa’
seharusnya ‘senantiasa’ (halaman 172), ‘meimbulkan’ seharusnya ‘menimbulkan’
(halaman 181), ‘situaasi’ seharusnya ‘situasi’ (halaman 188), dan beberapa lagi
yang lain. Yang juga membuat agak tidak
nyaman adalah, catatan kaki ditaruh di bagian belakang, dan bukannya di bawah
halaman. Padahal banyak sekali kata-kata yang disertai catatan kaki, terutama
istilah-istilah psikologi.
Terlepas
dari itu, Penerbit Indiva, tampaknya berusaha mengusung idealisme bahwa karya
yang baik bukan berarti harus selalu mengikuti pasar. Karya bermutu, bila
dikemas baik, tetap akan menarik minat pembaca. Karena sesungguhnya, pembaca
pun merindukan buku-buku yang bukan karya biasa yang kebanyakan beredar tanpa
memerhatikan bobot isi. Tinggal menunggu waktu, Indiva akan semakin berkibar
dikenal sebagai penerbit bermutu yang menerbitkan karya-karya berkelas.
0 comments:
Post a Comment